Esai
Trending

Bahaya Laten Nikah Muda

Sejak mulai ramai propaganda nikah muda, saya sebenarnya sudah mengamati dan sedikit “tergelitik” untuk turut mengomentari. Tapi waktu itu saya masih ogah-ogahan, karena hemat saya, nikah itu merupakan urusan privasi seseorang. Entah itu soal kapan menikahnya atau dengan siapanya. Namun, ketika urusan menikah kemudian dipropagandakan seolah “harus” nikah muda, saya jadi terpantik untuk ikut urun rembuk. Terlebih lagi ketika propaganda itu mulai menjangkiti kawasan Kairo, daerah di sekitar saya tinggal, saya jadi kian terpantik untuk mengomentarinya melalui tulisan ini.

Jika merujuk pada ketentuan UU Perkawinan tahun 1974, bab II pasal 7 ayat satu, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Namun untuk konteks saat ini, pemerintah melalui BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) telah menghimbau dan merumuskan usia ideal menikah. Bahwa idealnya, calon mempelai pria berusia kisaran 25 tahun, sementara perempuannya minimal 20 tahun. Secara epidemiologi pun, minimal usia seorang perempuan untuk menikah adalah 20 tahun.

Batasan pengklasifikasian usia nikah muda barangkali debatable dan subjektif. Jika mengacu pada batasan dari BKKBN di atas, seorang perempuan yang menikah di bawah usia 20 tahun akan dikategorikan menikah muda. Setelah saya amati, semua ini berdasar tinjauan psikis, sosiologis dan medis. Jika ditilik dari sisi psikologis, remaja yang usianya di bawah 20 tahun memang masih labil, rapuh, ngambekkan dan belum dewasa. Dari kacamata sosial, Prof. Dr. Partini, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menyatakan bahwa perempuan yang menikah di usia muda lebih rentan mengalami depresi hingga bunuh diri, tersebab meningkatnya beban ekonomi dan beban mental selama berkeluarga. Sementara berdasar kesehatan reproduksi, memilih menikah muda berarti harus juga siap menghadapi kanker serviks, tersebab rahim perempuan akan siap menjadi seorang ibu pada usia mulai 20 tahun. Secara umumnya begitu, meski terkadang ada seseorang yang usianya masih belia, tapi sudah sangat siap, matang dan dewasa. Ini tentu saja di luar keumuman dan sebuah pengecualian. Tidak bisa menjadi antitesis ketentuan psikis, sosiologis dan medis tadi.

Proporsionalitas dan prioritas
Dalam syariat Islam, nikah atau pernikahan adalah suatu akad yang memuat pembolehan persetubuhan dengan menggunakan kata inkah atau tazwij (ankahtuka, zawwajtuka, dst) maupun kata terjemahannya. Pernikahan juga harus memenuhi semua syarat dan rukun yang telah ditetapkan syariat. Keterangan tentang definisi ini terdapat di banyak literasi Islam turats, maupun kontemporer. Secara hukum asal, Islam tidak mengikat status hukum nikah hanya kepada sunah semata. Syariat Islam menghukumi nikah berbeda-beda, sesuai keadaan calon mempelainya. Hukum nikah bisa menjadi fardlu, wajib, haram, makruh, sunah atau mubah. Bahkan, pernikahan disunahkan itu bagi orang yang memang sudah mupeng (muka pengin; muhtaj-taiq) dan memenuhi ketentuan-ketentuannya. Maka, perlu dipertanyakan pijakan hukum pihak-pihak yang berani menggeneralisir, mempropagandakan dan langsung menghukumi kesunahan nikah muda.

Adanya propaganda dari ormas atau komunitas Islam yang menggambarkan sedemikian rupa tentang hukum dan faedah nikah muda, turut berperan besar pada mewabahnya fenomena nikah muda. Dikesankan hukum asal dan hukum kekal dari pernikahan adalah sunah untuk nikah muda. Apalagi ketika itu dibenturkan dengan kondisi masa sekarang yang pergaulannya cenderung bebas dan kebablasan. Seolah-olah, nikah muda memang sebenar solusi dari kenakalan remaja yang ada. Dari kondisi yang semacam ini, barangkali kita harus kembali kepada hukum dan ketentuan pernikahan. Harus pula melihat proporsionalitas dan prioritas hukumnya. Bahwa pernikahan itu dianjurkan dan menjadi disunahkan bagi orang-orang yang telah membutuhkan serta memenuhi ketentuannya. Kitab turats membahasakannya, “Sunna annikah litaiqin qadirin ‘ala mu’natin.” Nikah itu disunahkan bagi orang yang taiq (bruntho; berahi tinggi) atau muhtaj lil wath-i (syahwat kepada persetubuhan) dan qadirin ‘ala mu’natin; mampu atas pembiayaan mahar, nafkah, dst. Pun ia tidak pula ada ketakutan melakukan zina seandainya tidak menikah. Nikah kemudian menjadi fardlu hukumnya bagi orang yang memenuhi ketentuan pada hukum sunah nikah, ditambah ada kayakinan seandainya ia tidak menikah, maka ia akan melakukan perbuatan zina. Karena puasa tidak mempan untuk meredam hawa nafsunya.

Lantas, bagaimana jika seseorang sudah taiq, tapi dia belum mampu atas konsekuensi pembiayaan, mahar dan seterusnya. Untuk kondisi yang semacam ini, syariat Islam telah mengakomodir dan menyediakan solusinya, sebagaimana termaktub dalam beberapa literasi Islam. Wattaiq al’ajiz ‘anil muani, fal aula lahu tarkuhu wa kasru hajatihi bisshaumi; bagi seorang yang sudah taiq tapi belum mampu atas pembiayaan, maka yang utama baginya adalah tidak menikah dulu, lalu meredam hawa nafsunya dengan berpuasa. Ini juga sebagaimana anjuran Hadits sahih dari Imam Bukhari, “Ya ma’syara assyabaabi, man istatha’a minkum al-baata falyatazawwaj, fainnahu aghaddlu lil bashari wa ahshanu lil farji, wa man lam yastathi’ fa’alaihi bisshaumi fainnahu lahu wijaun; wahai pemuda, siapa saja dari kalian telah mampu, maka hendaknya menikah, karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan siapapun yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab itu dapat mengekangnya.” (HR. Bukhari).

Sementara hukum syariat bagi orang yang belum mampu, belum begitu mupeng untuk menikah dan sekadar mengikuti tren nikah muda, maka justru dimakruhkan baginya menikah di usia muda. Sangat disayangkan jika fenomena nikah makruh inilah yang malah menjadi tren dan kini banyak dijumpai di sekitar kita. Pasangan remaja di usia belajar yang sejatinya belum begitu “butuh” nikah dan secara ekonomi belum mampu, lantas memutuskan nikah muda karena termakan propaganda nikah muda. Akibatnya, tidak sedikit remaja yang kehilangan masa keemasan belajarnya, lebih sibuk cari nafkah, sibuk bertengkar, sibuk mengurus anak, mengalami disorientasi, hingga hidupnya kacau dan pernikahannya berujung perceraian. Padahal usia remaja adalah masa paling efektif untuk belajar, hafalan sedang kuat-kuatnya, belum banyak beban hidup, ide-idenya cemerlang, kreatif dan pemikirannya progresif.

Memang ada pula yang setelah menikah hidupnya lebih tertata, terjaga dari zina, bahagia dan orientasi belajarnya tetap stabil. Tapi ini berlaku bagi mereka yang sejak sebelum menikah memang telah mempunyai kondisi finansial yang stabil. Bagi yang merasa masih muda, belum begitu taiq dan belum merasa qadir, alangkah lebih maslahat jika ia memilih memperbanyak amaliah puasa, mengefektifkan waktu belajar, sembari menabung untuk masa depannya. Agar ketika ia memasuki status hukum nikah (minimal) sunah, ia telah benar-benar siap lahir-batin dan semuanya telah terkonsep rapi. Jangan sampai karena tergiur propaganda sunah dan tren, sesuatu yang wajib bagi kita (baca- belajar) justru terbengkalai.

Back to top button