Opini
Trending

Menyoal Cadar dan Khilafiahnya

Sempat menjadi viral, seorang lelaki meneriakkan kata teroris terhadap perempuan bercadar yang sedang menggalang dana di jalan raya. Belakangan ini, penggunaan cadar terus menuai pro-kontra. Meski begitu, penggunaan cadar justru sedang menjadi tren tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Cadar sebagai atribut muslimah bahkan saat ini menjadi sangat disoroti setelah masuk dalam substansi puisi Ibu Sukmawati.

Jika ditinjau dari segi hukum, para ulama Islam masih berbeda pendapat mengenai hukum bercadar. Ada pihak yang mewajibkan bercadar dan ada pula yang tidak mewajibkannya. Ulama yang mewajibkan bercadar mempunyai tafsir mengenai perintah Allah SWT dalam al-Quran. Mereka yang beranggapan wajib berfatwa apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan mendapat dosa dan siksa. Begitu juga ulama yang tidak mewajibkannya, mereka menganggap bahwa cadar itu sesuatu yang mubah.

Hukum Cadar
Penggunaan cadar memang masuk wilayah hurriyah syakhsyiyyah (kemerdekaan individu). Masing-masing dari pihak yang pro maupun kontra mempunyai referensi yang menurut mereka sendiri kuat. Bagi yang pro cadar, mereka merasa bebas beraktifitas, tanpa merasa resah dengan penampilannya, maupun resah dengan pandangan orang lain. Cadar juga membuatnya menjadi dinilai berdasarkan peran dan kemampuannya dalam suatu hal, bukan karena fisik dan kecantikan.

Mereka yang memakai cadar mengikuti pendapat ulama yang mewajibkannya. Misalnya, dari QS. Al-Nur, ayat 31 yang berbunyi: “Katakanlah kepada perempuan yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka.” Mereka menafsirkan bahwa Allah telah memerintahkan perempuan mukmin untuk memelihara kemaluan mereka. Memelihara kemaluan diperlukan berbagai sarana. Salah satu sarana itu adalah menutup wajah, karena itulah maka cadar diwajibkan.

Dalam ayat yang sama, Allah berfirman, “Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dada (dan leher) mereka.” Menurut tafsiran mereka, perempuan wajib menutup dada dan leher, maka menutup wajah lebih wajib, karena wajah adalah tempat kecantikan dan godaan. Bagaimana mungkin agama Islam memerintahkan perempuan menutupi dada dan lehernya, tetapi membolehkan membuka wajah?

Sementara pihak yang tidak menganggap cadar bukan kewajiban punya referensi tersendiri. Mereka memahami bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah aurat yang wajib ditutup. Dalam hal ini mereka mengikuti pendapat ulama yang tidak mewajibkan cadar. Ulama tersebut mengambil dalil dari QS. al-Nur ayat 31, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.” Tentang perhiasan yang biasa nampak ini, Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud adalah wajah dan telapak tangan. Begitupun pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abi Syaibah. Berdasarkan penafsiran para sahabat tersebut, jelas bahwa wajah dan telapak tangan wanita boleh kelihatan, sehingga bukan merupakan aurat yang wajib ditutupi.

Menanggapi soal ayat “Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dada (dan leher) mereka,” Ibnu Hazm, Ibnu Katsir dan al-Syaukani punya pandangan tersendiri. Menurut Ibn Hazm, Allah memerintahkan para perempuan menutupkan khimar (kerudung) pada belahan-belahan baju (dada dan lehernya), maka ayat ini merupakan dalil menutup aurat, leher dan dada. Justru dari sini terdapat dalil diperbolehkannya membuka wajah. Sementara menurut Ibnu Katsir dan al-Syaukani, khimar adalah penutup kepala.

Solusi
Dalam menyikapi perbedaan pendapat ulama di atas, alangkah baiknya kita menggunakan salah satu kaidah fikih.  Bunyinya: “La yunkaru al-mukhtalaf fih, wa innama yunkaru al-mujma’ ‘alaih; Sesuatu yang masih diperdebatkan tidak boleh diingkari, dan sebaliknya, kita (harus) mengingkari perkara yang (keharamannya) sudah disepakati.” Artinya, ketika hukum menggunakan cadar masih ada yang mewajibkan dan ada pula yang tidak mewajibkan, maka kita kita tidak boleh mengatakan memakai cadar itu hukumnya wajib. Begitu juga sebaliknya.

Terkait hal ini kemudian dijelaskan secara gamblang oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya; al-Asybâh wa al-Nadzâir. Beliau menjelaskan bahwa kita tidak boleh seenaknya menyalahkan ijtihad salah satu pihak dan memenangkan yang lain. Beliau mewanti-wanti, apabila terjadi hal ikhtilaf semacam tadi, kita tidak bisa menyalahkan satu pihak lain. Ada maksud tersirat dalam kaidah ini, yaitu mualif kitab ingin orang Islam tidak terpecah belah hanya karena masalah furû’iyyah (cabang dari pokok masalah). Sebaliknya, beliau ingin umat Islam saling toleran, menghargai jerih payah mujtahid.

Dalam menyikapi polemik cadar, saya ingin menawarkan kaidah fikhiah yang cukup masyhur di atas. Untuk pengaplikasian kaidah fikih ini, saya ingin mengajak masyarakat Indonesia untuk meneladani Mesir, negeri tempat saya berdomisili. Muslimah Mesir cukup banyak yang menggunakan cadar dan lebih banyak yang tidak, tetapi hal ini tidak menyurutkan toleransi antara kedua kubu. Masyarakatnya pun demikian, tidak memiliki persepsi buruk terhadap perempuan bercadar, sementara yang bercadar tidak merasa ia yang paling musimah dan kafah. Hal ini karena mereka memahami bahwa derajat keimanan muslim-muslimah, bukan berdasarkan ia memakai cadar atau tidak, tetapi berdasarkan ketakwaannya terhadap Allah SWT.

Back to top button