
Dewasa ini sering kali kita mendengar ajakan kebaikan disampaikan dengan kesan marah dan arogan. Baik itu dilakukan oleh tokoh agama, maupun tokoh masyarakat. Yang cukup aktual, cara menyikapi kontroversi puisi Bu Sukmawati yang seolah tiada lain solusinya kecuali dengan memenjarakan Ibu Sukmawati. Seakan ngotot dengan keyakinan mereka, bahwa agama harus dibela dengan apapun caranya. Orang-orang yang tidak sejalan akan mudah digolongkan sebagai penista agama, pelaku bidah, khurafat, dan sesat. Yang patut disesalkan, kelompok yang suka menuduh dan cenderung arogan dalam menilai sesama muslim itu dilontarkan dari lisan para ustadz yang mengaku berlabel “sunah”. Menganggap dirinya paling nyunnah, sampai-sampai tradisi masyarakat yang berlaku sebagai bentuk akulturasi dakwah sejak awal penyebaran Islam di Nusantara pun termasuk tindakan penyelewengan agama.
Sahabat Sa’ad bin Ubadah, ketika peristiwa penaklukan Kota Makkah berujar, “Saat ini adalah waktunya pembalasan!” Mendengar ucapan itu, Rasulullah lantas menyanggahnya, “Hari ini kesempatan kita menebar kasih sayang.” Demikian di antara sifat Nabi menyikapi orang atau kelompok yang pernah menyakiti Islam dan umatnya. Tidak selalunya penistaan atau kejahatan harus dibalas dengan pembalasan serupa. Rasulullah dipenuhi rasa saling hormat dan welas asih kepada siapa saja. Sekalipun umat Islam waktu itu berhak dan punya kesempatan mengganjar dedengkot kafir Quraisy yang telah melakukan tindak diskrimanatif, bahkan persekusi terhadap mereka. Namun, Rasul sebagai pemimpin revolusioner sangat mengedepankan pendekatan persuasif dalam setiap strategi dakwahnya. Tak ayal, beberapa tokoh kafir Quraisy seketika itu justru terketuk hatinya untuk menerima risalah Muhammad SAW. Di sanalah letak keberhasilan syiar agama Islam. Tidak semena-mena menunjukkan arogansi kebenaran ajarannya.
Membincang tentang sunah, sebagian kita masih terjebak pada asumsi pemahaman tentang segala sesuatu yang pernah dicontohkan Rasulullah SAW sebagai anjuran untuk mengikuti. Memang ada benarnya, sebagai utusan langit, Rasul memiliki tanggung jawab untuk menerjemahkan maksud Tuhan dalam bentuk tutur kata, prilaku, maupun ketetapan. Akan tetapi, apakah semua yang bersumber dari Rasul lantas dibebankan kepada umatnya? Jawabannya, tidak. Sebab, tradisi-tradisi yang telah diajarkan Nabi sebagai wujud perintah dan larangan dari langit memiliki klasifikasinya tersendiri.
Lebih rinci, Dr. Abdul Jawad Khalaf, salah seorang pakar syariah dan sejarah peradaban Islam di Universitas Al-Azhar, Kairo, menjelaskan, setiap tindak tanduk Rasulullah yang tidak berkaitan dengan pensyariatan tidak dapat dikatakan sebagai uswah. Semisal gerak-gerik tubuh beliau; mulai dari cara duduk, berdiri, makan dan minum bukanlah keharusan bagi umat untuk mencontoh. Sebab, hal itu bersumber dari naluriah Rasulullah semata. Tidak berdasar risalah kenabian yang harus diikuti oleh orang Islam. Termasuk keterampilan Muhammad SAW dalam berdagang, memanah, berkuda sampai menyusun strategi perang.
Sebagai contoh, dikisahkan tatkala pertempuran Badar, Rasulullah mememerintahkan pasukan muslim untuk beristirahat di suatu tempat. Namun, sahabat Salman al-Farisi menanyakan apakah perintah itu berasal dari langit atau hasil ijtihad beliau? Rasul pun menjawab, hal itu murni pendapat dan taktik perangnya. Lantas, Salman memberikan sarannya. Dan saran dari Salman ini diamini oleh Rasulullah. Sekalipun tidak berkaitan dengan anjuran syariat, napak tilas terhadap segala bentuk gaya hidup beliau tetaplah bernilai pahala. Di sinilah bentuk ekspresi, aplikasi, sekaligus parameter totalitas kecintaan kita kepada Baginda.
Perintah dan larangan dari Rasulullah tidak serta-merta menjadi produk hukum yang bisa dipraktikkan oleh pribadi orang Islam. Generasi salaf kita jauh sebelumnya telah bersusah payah memeras “sari pati” ajaran Islam lewat otoritas dan spesifikasi keilmuan mereka. Akan rancu apabila dengungan membumikan al-Quran dan sunah kemudian tanpa melirik sedikitpun pendapat ulama terdahulu. Di samping itu, pertimbangan realitas waktu dan tempat seyogianya juga tidak luput dari perhatian seorang ustadz atau dai dalam menjawab problematika umat. Untuk konteks sekarang, memang sangat berbahaya sekali pernyataan atau jawaban dari seorang ustadz “sosmed” yang mempunyai pengikut cukup banyak. Alih-alih mencerahkan, yang ada justru menyesatkan dan menjauhkan masyarakat dari wajah Islam yang sesungguhnya. Sebagai masyarakat muslim milenial, kita juga harus pandai-pandai dalam memilih ustadz panutan.
Salah satu contohnya, sewaktu muncul pernyataan salah satu ustadz “medsos” yang dengan tegas mengharamkan perayaan hari Ibu. Ustadz yang mengharamkan hari Ibu ini ternyata hanya berdasar pada sabda Nabi tentang setiap penyerupaan terhadap kalangan non-muslim tidak diperbolehkan. Maka, umat muslim yang ikut berbahagia menyambut momen penting itu dianggap telah menyalahi syariat. Menyikapi polemik ini, salah satu ulama terkemuka Mesir memberikan jawaban berbeda. Mantan Mufti Mesir, Prof. Dr. Ali Jum’ah menyatakan, perkara yang tergolong baru dalam pandangan agama tidak semuanya tertolak. Termasuk turut serta memperingati hari Ibu yang di Mesir diperingati setiap 21 Maret itu dapat dibenarkan oleh kacamata syariat. Lantaran, fenomena lunturnya kasih sayang anak terhadap orang tua, lebih-lebih seorang ibu banyak terjadi akhir-akhir ini. Melalui spirit reaktualisasi jasa-jasa seorang ibu, niscaya justru mampu menggerakkan hati dan pikiran untuk senantiasa berbakti kepadanya.
Demikianlah, selayaknya pribadi seorang muslim tidak mudah bersikap sentimen terhadap tradisi yang berlaku. Terobsesi mencari yang (disangkanya) Sunah dengan mengabaikan kemaslahatan umat dan syariat justru itu menyalahi syariat. Agama Islam sangat mengakomodir perihal kebiasaan mayarakat sepanjang tidak bertentangan dengan syariat. Sebagaimana keteladanan Rasulullah, sosok pribadi yang agung lagi paripurna bagi seluruh umat. Hantaman dan ancaman masyarakat Arab pra-Islam tidak menyurutkan langkah beliau untuk mensyiarkan panji agama dengan penuh rasa humanis. Agaknya, teguran beliau kepada sahabat Sa’ad bin Ubadah di atas tetap relevan sampai di era digital ini. Terkhusus bagi mereka yang mudah terbawa emosi dalam menyampaikan pesan-pesan agama. Wallâhu a’lam bi al-Shawâb.