
Oleh: Abdurrahman ad-Dakhil
Majunya H. Taj Yasin Maimoen sebagai pendamping Ganjar Pranowo dalam merebut tahta Jawa Tengah disambut hangat oleh masyarakat dan kaum pesantren. Pengusungan Ibu Khofifah melawan Gus Ipul, yang keduanya sama-sama dari golongan santri juga menambah gempita pesta demokrasi di Indonesia. Kedua fenomena terkini itu dibaca sebagai menguatnya politik identitas di peta perpolitikan Indonesia.
Politik identitas berbasis Islam, sempat viral diperbincangkan semenjak Basuki Tjahja Purnama (Ahok) menggantikan Jokowi menjadi gubernur DKI Jakarta. Lalu berpuncak saat pencalonan Ahok menjadi gubernur periode kedua melawan Anies Baswedan. Namun ia tersandung kasus penistaan agama yang menimbulkan aksi 212. Muncullah suara-suara penolakan pemimpin non-muslim yang semakin hangat di dunia maya dan nyata sebagai bentuk ekspresi politik identitas.
Rangkaian bentuk politik identitas ini tak jarang menimbulkan apatisme politik dalam sikap sebagian masyarakat. Politik, dipahami oleh mereka sebagai ajang saling menjatuhkan lawan demi memperoleh kekuasaan. Politik juga akan memperalat agama untuk memperoleh kepentingan-kepentingan pribadi. Agama yang sakral malah menjadi alat menjatuhkan lawan politik demi mendapatkan kursi pemerintahan.
Keadaan semacam ini, membuat kita ingin menelaah kembali pandangan Islam atas politik. Benarkah Islam akan tercederai jika dibawa ke ranah politik? Menelaah pandangan Islam atas politik bisa kita lihat dari laku Nabi Muhammad yang sebagian besar berkaitan dengan hal-ihwal politik. Tindakan politis pertama yang dilakukan Nabi ialah menyusun Piagam Madinah. Tujuan disusunnya piagam tersebut untuk mengatur bagaimana tata cara muamalah yang tepat antara muslim dan non-muslim pada masa itu. Eksistensi Piagam Madinah merepresentasikan undang-undang ketatanegaraan yang mirip dengan sistem negara modern.
Selain dalam bentuk laku, Nabi juga pernah berpesan, “Jika keluar tiga orang untuk bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah satunya sebagai pemimpin.’’ (HR. Abu Daud). Nabi menganjurkan umatnya mengangkat pemimpin, bahkan dalam skala kelompok kecil sekalipun, dengan tujuan amar makruf nahi mungkar, melaksanakan jihad, menegakkan keadilan, menunaikan haji, mengumpulkan zakat, mengadakan shalat Ied, menolong orang yang dizalimi, dan lain-lain.
Namun hingga kini, umat Islam masih simpang siur dalam menetapkan apa sebenarnya sistem politik yang diajarkan Islam. Secara umum, ada dua pendapat ulama. Pertama, golongan yang menganggap politik dalam Islam hanya berbentuk khilafah. Kedua, golongan yang melakukan sebuah studi, lalu mereka menemukan bahwa politik dalam Islam sebenarnya bernapaskan asas demokrasi.
Dr. Abdurrozaq as-Sanhuri adalah salah satu cendekiawan muslim golongan pertama. Dalam bukunya Fiqh al-Khilâfah ia menyebutkan ada tiga pondasi politik Islam. Pertama, syariat, fikih, dan qanun. Qanun—menurut beliau, dibagi menjadi dua: qônûn ‘âm dan qônûn khôsh. Kedua, undang-undang dan qônûn ‘âm dalam fikih Islam. Ketiga, sistem pemerintahan Islam (Khilâfah). Ketiganya ini ialah pondasi politik Islam yang ia sebut dengan al-khilâfah al-shohîhah.
Al-Khilâfah al-Shahîhah ialah masa 30 tahun setelah Nabi Muhammad wafat. Jika kita hitung secara cermat, maka masa ini berhenti di kepemimpinan Sayiduna Hasan RA. Setelah masa ini—sebagaimana redaksi dari Nabi—ialah masa pemerintahan para raja (dinasti). Tatkala Imam Mahdi muncul, baru al-Khîlafah al-Shahîhah kembali berdiri tegak. Di masa kekosongan inilah—selesainya masa al-Khulâfâ’ al-Râsyidûn hingga munculnya Imam Mahdi—umat Islam diwajibkan mendirikan al-Khilâfah al-Nâqishah.
Al-Khilâfah al-Nâqishah ialah negara yang terpaksa menjalankan sebagian sistem al-Khilâfah al-Shahîhah karena tak terpenuhinya syarat-syarat yang ditetapkan. Yaitu keharusan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Sebuah sistem politik yang menginginkan terbentuknya dunia Islam dalam satu pemimpin yang ahli berpolitik sekaligus beragama. Menurut al-Sanhuri, khilafah ini harus didirikan demi menjaga keamanan umat Islam dalam menjalankan syariat serta mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Karena tatkala syarat-syarat berdirinya al-Khilâfah al-Shahîhah tak terpenuhi, menegakkan suatu negara dengan sistem yang tak sempurna menjadi sebuah anjuran bagi umat Islam. Dengan harapan akan mengurangi mafsadah yang ditimbulkan daripada tidak ada khilafah sama sekali.
Al-dlarûrah tubîhu al-mahdzûrât: “Tatkala penegakkan al-Khîlafah al-Shahihah mustahil dilakukan karena suatu alasan atau sebab yang lain. Orang-orang muslim akan menjumpai dilema. Di satu sisi mereka diwajibkan menjalankan syariat berupa penegakan khilafah sebagaimana kita lihat. Di sisi lain mereka tak mampu mewujudkannya. Maka dalam keadan ini muncul dan berdirilah al-Khîlafah al-Nâqishah,” ujar Dr. Abdurrazaq al-Sanhuri.
Adapun golongan kedua, salah satu pelopornya ialah salah satu cendekiawan Mesir, Dr. Muhammad Husain Haikal. Beliau berpendapat bahwa di dalam sumber-sumber primer Islam memang tidak ditemukan suatu sistem tertentu dalam bernegara. Karena itu, ia menyimpulkan persoalan negara dan pemerintahan menjadi ranah ijtihad kaum muslimin. Islam, masih menurut Haikal, hanya menggariskan prinsip-prinsip dasar yang harus menjadi pedoman dalam bernegara. Persaudaraan, persamaan (egaliter), dan kebebasan—sebagaimana diterapkan dalam demokrasi, juga menjadi prinsip-prinsip bernegara dalam Islam. Setiap dari prinsip tadi berlandaskan atas prinsip tauhid yang menjadi inti ajaran Islam.
Dalam al-Imbirâthiyyah al-Islâmiyyah wa al-Amâkin al-Muqaddasah, Haikal menulis, “Secara prinsipil, Islam dan demokrasi memiliki keserasian. Keduanya mengarah pada tujuan yang sama; kebahagiaan manusia, ketenteraman, dan keselamatannya. Dan tujuan tersebut murni atas dasar manusiawi, tidak tersekat dalam batasan kaum, jenis, bahasa dan selainnya.”
Dengan demikian dalam konteks Indonesia, berbeda dengan anggapan al-Sanhuri yang menekankan pada al-Khîlafah al-Nâqishah, bagi Haikal setiap daerah yang menerapkan demokrasi—dalam arti yang hakiki— daerah itu secara tidak langsung telah menjalankan sebagian sistem politik Islam. Sebab asas yang ada pada demokrasi telah sejalan dengan yang ada pada Islam. Maka dengan ini Indonesia juga telah menjalankan sistem politik Islam.
Dengan pandangan dua tokoh di atas, menjadi jelas bahwa Islam telah menempatkan politik sebagai perangkat menuju kesejahteraan, baik dalam bentuk khilafah maupun demokrasi. Karena urgensitas politik di dalam Islam adalah untuk memakmurkan dan menyejahterakan umat Islam secara khusus dan penduduk bumi secara umum. Dengan demikian, pemahaman mendasar seperti ini akan membiaskan pemahaman kerdil masyarakat atas politik. Terutama pada skeptisme politik yang lahir akibat pemahaman yang salah atas politik identitas.
Untuk menghindari politik identitas yang timbul dari para politikus kotor, Gus Dur layak dijadikan role model. Latar belakang Gus Dur yang merupakan agamawan sekaligus cendekiawan, tidak lantas menjadikan agama dengan semena-mena sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan. Terbukti dengan kebijakan-kebijakannya yang menolak keras tindakan korupsi, meski itu dilakukan kawan sendiri. Bahkan Gus Dur secara terang-terangan memecat koleganya yang jadi menteri dan diputus bersalah. Hal ini akan menguatkan bahwa politik identitas tak selalu dipahami secara negatif.
Dari sosok Gus Dur juga kita menemukan gagasan politik kebangsaan. Menurutnya, keutuhan NKRI lebih penting daripada upaya penegakan negara baru oleh sebagian kalangan. Oleh karena itu, Gus Dur memberikan hak istimewa bagi Aceh agar mampu mengelola provinsinya sendiri dengan sistem syariat Islam. Hal itu agar Aceh tak keluar dari dekapan NKRI.
Selanjutnya, politik identitas yang dipahami secara dangkal, akan melahirkan suatu problem krusial. Yaitu permasalahan mana yang lebih penting antara identitas pemimpin atau kapabilitasnya? Apakah kita harus memilih pemimpin dari kalangan Islam saja? Ataukah lebih penting keadilan—sebagai kapabilitasnya— meskipun ia kafir?
Dâr al-Iftâ’ al-Mishriyyah mengeluarkan fatwa bahwa pemimpin dalam bentuk negara modern tidak melulu harus dari muslim berkelamin laki-laki. Perempuan, bahkan non-muslim sekalipun boleh memimpin suatu negara, baik negara Islam maupun non-Islam. Semua itu karena sistem negara modern yang tak memungkinkan seorang pemimpin berbuat sewenang-wenang. Adanya badan yudikatif dan legislatif membatasi gerak-gerik seorang pemimpin. Karenanya, seorang pemimpin negara memang memiliki hak-hak istimewa, tetapi semua itu dibatasai oleh konstitusi.
Dalam Politik Lokal dan Konflik Keagamaan yang diterbitkan CRCS UGM tahun 2015, disebutkan bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi, dengan mayoritas penduduk yang memegang teguh identitas keagamaan, kontestasi identitas keagamaan dalam panggung politik adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Namun, respon publik yang seringkali berbentuk kekerasan, mestinya bisa dihindari. Meskipun terkadang politik identitas tidak secara aktif mempromosikan kesadaran publik yang positif, tetapi minimal tidak mengancam demokrasi dalam bentuk legitimasi kekerasan dan penghinaan yang berbau SARA.
Dengan demikian sah-sah saja pemimpin menggunakan identitas Islam dalam memenangkan panggung politik. Mengatasnamakan Islam dalam kampanye-kampanye tentu bukan suatu masalah, sebab Islam juga menjunjung tinggi politik. Namun, hal ini akan bermasalah tatkala para pendukung pemimpin tertentu terlalu fanatik pada identitasnya. Sehingga membuat mereka tidak segan-segan melakukan pembunuhan karakter sekaligus melegalkan cacian berbau SARA, seperti pada aksi 212. Baik pada lawan politik maupun kepada pendukungnya.
Pada akhirnya kita akan menggunakan politik kebangsaan—sebagaimana tercermin dari sosok Gus Dur—sebagai penetralisir politik identitas. Politik kebangsaan akan tetap melegalkan politik identitas tanpa ada kemunculan isu-isu SARA di belakangnya. Apalagi hanya karena perbedaan calon politikus yang diusung lantas memutuskan ikatan kemanusiaan seperti pertemanan, bahkan ikatan perkawinan. Sungguh sangat disayangkan.
Pemimpin—sebagaimana menurut Dâr al-Iftâ’ al-Mishriyyah—dipilih berdasarkan kapabilitasnya, bukan identitasnya. Karena yang menjadi tolok ukur pemimpin adalah kapasitasnya, maka identitas politik bukanlah syarat utama. Ketangkasan, latar belakang bersih dari korupsi, kecakapan, dan seberapa besar kontribusinya bagi bangsa tentu lebih diutamakan. Semua sifat itu tidak dibatasi RAS, suku, kelamin, maupun agama. Setiap orang memungkinkan untuk memilikinya. Maka, batas-batas SARA, identitas, dan latar belakang apapun tidak akan menjadi syarat mutlak untuk memenuhi klasifikasi seorang pemimpin yang ideal.