FilmResensi

Sepeda dan Pergumulan Eksistensi Wadjda

Oleh: Moh Al Fayyadh

Salah satu di antara banyak film Arab yang menarik dibahas dan didiskusikan adalah film Wadjda. Ia hadir di tengah masyarakat Arab Saudi yang waktu itu terjeruji kebijakan negara dan tradisi setempat. Mereka adalah masyarakat yang hanya bisa melihat dunia dari layar televisi. Ruang mereka terbatas pada dapur dan meja makan. Film ini bukan hanya gambaran tentang keadaan masyarakat Arab, namun juga bentuk protes akan tradisi dan kebijakan yang dinilai mapan oleh masyarakat setempat dan negara.

Film garapan Haifaa al-Mansour yang rilis pada 2012 tersebut menceritakan sosok anak kecil berumur 10 tahun. Anak itu bernama Wadjda (Waad Mohammed), gadis kecil  yang lahir dipinggiran ibu kota Arab Saudi, Riyadh. Sebuah daerah yang kental akan tradisi dan budaya yang tertutup bagi perempuan. Patriarki di sana, kala itu, tidak memberi ruang bagi perempuan untuk hidup bebas dan menghirup udara segar.

Hal ini bisa kita lihat dengan jelas dari keluarga Wadjda sendiri. Ibunya, yang berprofesi sebagai guru harus diantar dan dijemput oleh sopir khusus yang setiap hari selalu setia menunggu di depan rumah. Ketika keluar, sang ibu diharuskan menutup seluruh tubuh dengan kain hitam yang hanya menyisakan ruang untuk kedua bola mata saja. Sementara itu, sang ayah sibuk bekerja dan jarang pulang ke rumah. Sepulang dari kerjanya, tak jarang ia bertengkar dengan sang istri. Wadjda menyaksikan semua itu.

Di dalam film, sang ibu diceritakan tidak pernah keluar rumah kecuali untuk mengajar dan pergi ke mal dengan cara berpakain tadi. Sementara Wadjda, sang tokoh utama, senantiasa bersekolah dan sering bermain dengan Abdullah, teman laki-laki satu-satunya. Sebenarnya interaksi laki-laki dan perempuan tidak diperbolehkan dalam tradisi masyarakat setempat. Namun Wadjda berani dan tidak sungkan untuk berinteraksi dengan Abdullah. Dari Abdullah inilah Wadjda terinspirasi untuk membeli sepeda. Ia ingin mengalahkan teman karibnya itu.

Meski di usia sepuluh tahun, pikiran dan tindakan Wadjda di sekolah selalu menerima penolakan dari gurunya. Tradisi di sekolah selalu bertentangan dengan pikiran Wadjda kecil dimana semua siswi harus memakai jilbab. Mereka hanya diperbolehkan melepas itu saat ada di dalam kelas. Mereka juga tidak diperbolehkan untuk membawa peralatan yang berbau laki-laki, seperti gelang dan kaset. Wadjda tidak mengindahkan aturan yang menurutnya aneh itu. Ia membawa gelang, untuk dijual. Ia akan membeli sepeda dengan uang hasil jualan itu.

Guru di sekolah Wadjda selalu mewanti-wanti bahwa suara perempuan adalah aurat, perempuan tidak boleh berinteraksi dengan laki-laki, menormalkan pernikahan dini, dan lain-lain. Kondisi ini tak cukup menguntungkan Wadjda. Ia selalu dipanggil ke kantor untuk didisiplinkan. Ia bahkan hampir dikeluarkan dari sekolah lantaran selalu melanggar peraturan.

Keajekan pendirian Wadjda berangkat dari impiannya untuk membeli sepeda. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan impian itu, meski ditampik oleh orang tua dan gurunya. Keteguhan hati Wadjda dimulai dari berjualan gelang, mengunjungi toko sepeda dan memesan pada pemiliknya untuk tidak dijual pada siapapun, serta mengikuti lomba hafalan al-Quran. Ia berhasil menjuarai lomba tersebut, tapi hadiah yang diimpikan Wadjda untuk membeli sepeda telah hangus disumbangkan oleh pihak sekolah ke Palestina.

Eksistensi

Pendirian dan impian Wadjda membuatnya menjadi manusia berbeda dan autentik di antara teman-teman bahkan masyarakat setempat. Sebagai manusia yang terlempar keber-ada-annya di dalam dunia yang bersifat faktis, Wadjda terus bergumul dan mencari Ada-nya melalui kesadaran yang dibentuk oleh keterlibatan penuh pada peristiwa di lingkungan di mana ia tinggal. Dari awal cerita, kita bisa menandai bahwa seketika setelah Wadjda lahir, ia akan sudah tersituasikan di dalam realita masyarakat Arab, kewemaktuan dan kemeruangan dia dengan yang lain, serta rasa cemas akan keterlemparannya.

Pencarian akan Ada-nya Wadjda untuk menjadi manusia autentik bermula ketika dia terlibat dalam aktivitas sehari-hari. Ia selalu bertemu dan berinteraksi dengan masyarakat setempat yang selalu berpegang akan tradisinya, termasuk saat dia bermain dengan Abdullah. Pada saat itu Abdullah membawa sepeda, kemudian Wadjda merasa ganjil ketika ia dilarang bermain sepeda milik Abdullah itu. Di sana, ia perlahan menyadari bahwa selama ini dirinya terjeruji oleh masyarakat Arab sekitar. Bersepeda adalah terlarang, bagi perempuan.

Larangan tersebut telah lama mewujud di masyarakat tempat Wadjda tinggal, tanpa ada yang memprotes sebab mereka sudah larut dalam tradisi yang diturunkan dari nenek moyang. Pelumrahan akan tradisi menunjukkan bahwa masyarakat tidak sadar akan keterkungkungannya. Oleh karenanya, mereka—meminjam istilah Heidegger—menjadi das man yang akan terus melebur dalam keseharian. Mereka lupa akan keber-Ada-annya.

Wadjda, menyadari bahwa apa yang dialaminya tidak baik-baik saja. Pergumulan ia dengan Ada-nya bisa kita lihat dalam, pertama, ketika ia meleburkan diri sepenuhnya pada cara mengada masyarakat setempat dan mengikuti mode mereka. Ia asing dengan Ada-nya. Ia tidak menemukan eksistensinya. Ia terkungkung di dalam tembok patriarkis yang kadung mentradisi. Kedua, jika Wadjda memilih keluar dari alunan keseharian dan bergumul dengan Ada-nya, ia akan masuk pada momen untuk mengambil keputusan eksistensial. Momen ini terendus dari bagaimana ia memperjuangkan impian untuk bisa bersepeda di hari-hari kemudian.

Pada momen kedua ini, kecemasan perlahan muncul dari dalam tubuh Wadjda. Rasa cemas ini tidak muncul dari ruang kosong. Itu adalah perasaan yang timbuk saat tokoh mengalami aktivitas bersama orang lain. Menurut Martin Heidegger, kecemasan timbul dari totalitas disposisi dasariah seseorang yang berada di dalam dunia. Dengan kata lain, kecemasan merupakan suasana hati dasariah yang menyingkap keterlemparan dasein dan timbul dari latar belakang tersingkapnya keterlemparan itu dalam suatu momen eksistensial.

Kecemasan yang dialami Wadjda bermula ketika ia bermain sepeda dengan Abdullah. Pada waktu itu, Wadjda mengalami penyingkapan keterlemparan dirinya ketika ia melihat temannya bersepeda. Ia menanyakan eksistensinya, bergumul dengan dirinya sendiri, lantas tersadar bahwa selama ini dirinya tidak dapat bergerak bebas lebih-lebih ketika tidak diperbolehkan bermain sepeda. Kecemasan demikian menyendirikan Wadjda pada keber-Ada-annya di dalam dunia Arabnya yang tidak bisa dipertukarkan dengan orang lain, seperti halnya Abdullah.

Dalam hal ini, Wadja berhasil keluar dari kubangan tradisi dengan sepeda sebagai cara dia mengada dan pembentuk kesadaran akan ketidakbebasan untuk melakukan hal yang ia sukai. Sepeda membantu Wadjda memahami apa yang sebenarnya harus dilakukan. Wadjda berhasil mengatasi kecemasannya, meskipun ia dibenci dan diklaim sebagai anak yang tak patuh atas norma-norma yang sudah ajeg.

Patahan Wadjda dari ruang tradisi masyarakat Arab pada waktu itu telah menjaga keaslian dirinya sebagai seorang Dasein. Ia beruntung. Di usia belia, ia mampu memberontak kesadaran kolektif masyarakat akan kebenaran tradisi yang merantai. Ia, melalui kesadarannya telah menemukan sesuatu yang autentik. Wadjda berhasil meninggalkaan yang inautentik.

Back to top button
Verified by MonsterInsights