Etalase

Buletin bedug Edisi 24

Assalamualaikum, apa kabar sobat Bedug? Semoga senantiasa sehat dan bahagia. Alhamdulillah, puji syukur kita limpahkan ke haribaan Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, Sahabat, dan para pengikut setianya. Semoga kita semua termasuk barisan umatnya yang kelak mendapatkan syafaat di hari akhir nanti.

Pada edisi sebelumnya, buletin Bedug telah menyuguhkan tema moralitas milenial. Pergeseran budaya yang disebabkan oleh candu teknologi, internet dan media sosial membuat relativitas nilai dan moral semakin rendah, sehingga nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakat mulai luntur di kalangan generasi milenial. Padahal fungsi dari internet seyogianya mempermudah masyarakat mengunduh hal-hal positif tanpa terbatas waktu dan ruang. Oleh sebab itu, term moralitas milenial menjadi “bulan-bulanan” para pemerhati pendidikan anak dan remaja di setiap opini dan karya ilmiah mereka.

Untuk edisi kali ini, Bedug berusaha mengidentifikasi paradoksal Negeri Kinanah. Hal ini merupa-kan sebentuk kegelisahan atas meningkatnya jumlah mahasiswa yang dikirim ke Mesir. Animo masyara-kat dan pelajar Indonesia atas studi di al-Azhar terus meningkat. Ekspektasi mereka begitu tinggi bahwa semakin banyak pengiriman camaba, calon ulama akan semakin bertambah pula. Sebuah investasi ilmiah yang begitu menjanjikan, kelihatannya. Ada beberapa faktor terkait hal tersebut, di antaranya: sosok alumni al-Azhar yang sukses dan mempunyai peran signifikan dalam berbagai lini kehidupan masyarakat Indonesia, pertama. Kedua, institusi al-Azhar merupakan kiblat ilmu yang dituju oleh seluruh dunia.

Namun, apakah dengan pemasukan kuantitas yang banyak itu setara dengan kualitas jebolan al-Azhar, baik secara keilmuan maupun metodologi ajar? Beberapa orang menganggap bahwa jebolan al-Azhar memiliki potensi dan keilmuanyang mumpuni, khususnya bidang agama. Sayangnya, ekspektasi yang kadung dipercayakan sedemikian hingga saat pulang di tengah masa belajar disambut begitu mulia dan digadang-gadang menemui sebuah negasi. Dinamika keilmuan dan kualitas Masisir saat ini mengafirmasi adanya disorientasi yang tengah menghambat nawacita belajar yang mulia.

Disharmoni antara ekspektasi dan realita, nawacita dan upaya merupakan hal klasik yang dihadapi Masisir sejak satu dekade terakhir. Dalam hal ini, tak jarang berbagai pihak saling menyalahkan. Tak ja-rang, Kemenag merupakan satu objek yang sering dipertanyakan bagaimana manajemen dan prosedur seleksi selama ini. Masisir, sebagai yang diutus pun rawan mengalami disorientasi setibanya mereka di Bumi al-Azhar. Secara keseluruhan, adanya fenomena nikah muda, bisnis Masisir, penyimpangan sebagi-an mereka dari manhaj al-Azhar mengafirmasi bahwa ke Timur Tengah tidak seistimewa ke Eropa dan luar negeri lainnya. Kemurah-hatian al-Azhar sering kali diremehkan. Masisir banyak yang lebih menyi-bukkan diri dengan hal-hal figuran, nirfaedah bahkan hanya leyeh-leyeh saja.

Wabakdu, atas kegelisahan yang berkelindan pada ekspektasi masyarakat dan nawacita bangsa dan bagaimana korelasinya di ranah nyata, kami berusaha mengupas paradoksal Masisir di Bumi al-Azhar. Semoga suguhan kami pada edisi kali ini dapatmenjadi intropeksi dan refleksi dalam progresivitas Masisir dan pembaca sekalian. Terakhir, kami senantiasa menanti kritik dan saran dari pembaca agar bisa terus berbenah untuk menjadi lebih baik lagi. Tabik!

 

Kru Buletin Bedug

Download PDF

Cek Juga
Close
Back to top button