Opini

Kebenaran Eksistensial Pendebat dalam Praktik Politik Gagasan

Oleh: Firdaus Ulul Absor

Nilai politik gagasan seyogianya menjadi landasan yang ideal bagi setiap politikus dalam berkampanye saat Pilpres 2024 nanti. Debat Capres-Cawapres yang difasilitasi oleh KPU dan debat politik lainnya yang diikuti para loyalis parpol, tentu menjadi panggung istimewa untuk penerapan dan pemaparan politik gagasan. Disiplin ilmu debat (Âdâb al-Bahts wa al-Munâdharah) dapat menjadi parameter, apakah debat politik tersebut berjalan dengan baik atau tidak. Sayangnya, sebagian besar debat politik di Indonesia tidak berjalan sesuai kaidah ilmu debat, sehingga berimplikasi pada debat kusir saja. Untuk menoleransi kekurangan tersebut, diperlukan pisau analisis selain ilmu debat, yaitu kebenaran eksistensial milik Søren Kierkegaard. Dengannya, kita dapat melihat hal positif yang tidak dapat disentuh ilmu debat sehingga masyarakat dapat teredukasi melalui praktik politik gagasan yang baik.

Politik Gagasan dan Debat Politikus

Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc., Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia, dalam esainya yang berjudul “Politik Gagasan”, menyebutkan bahwa politik gagasan tidak lain adalah politik yang mengedepankan ide dan program yang terukur menuju Indonesia sejahtera. Dalam kontestasi Pilpres 2024, setiap elemen masyarakat, khususnya para elit partai, dituntut untuk memperhatikan ide segar dan solusi konkret atas permasalahan bangsa selama lima tahun ke depan. Lebih jauh lagi, Djayadi Hanan, akademisi Universitas Paramadina, menilai bahwa politik gagasan dapat terealisasi saat pilihan seseorang terhadap paslon tidak didasari oleh latar belakangnya. Selama ide paslon tersebut sesuai dan dianggap bagus oleh masyarakat, maka ia menjadi pilihan ideal. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa musuh utama politik gagasan adalah politik yang bersifat pragmatis seperti politik uang dan politik identitas atau primordialisme.

Di dalam buku Politik Primordialisme dalam Pemilu di Indonesia, Dr. Muhtar Haboddin sebagai akademisi dan pengamat politik, memberikan gambaran politik primordialisme secara utuh. Menurutnya, ekspresi politik primordialisme dihadirkan dalam bentuk etnisitas, politik dinasti atau politik kekerabatan, kehadiran bangsawan lokal, dan pengaktifan identitas diri masyarakat lokal. Ironinya, realitas yang sering terjadi dalam Pilpres Indonesia di masa lampau membuktikan eksistensi politik kotor tersebut. Prioritas masyarakat pada saat itu masih tertuju pada paslon yang berasal dari daerah, suku bangsa atau ras tertentu.

Di samping itu, sepertinya kita akan terlepas dari belenggu politik buruk tersebut saat menghadapi pesta demokrasi di 2024 nanti. Harapan ini dibuktikan dengan dua hasil survei yang dirilis pada 8 April dan 2 November 2022 oleh Litbang Kompas. Survei pertama menyebutkan bahwa sebanyak 86,7% dari kaum milenial dan generasi Z menyatakan bersedia untuk berpartisipasi dalam Pemilu. Hasil baik tersebut disusul dengan survei kedua yang berisi bahwa 52,1% dari generasi Z menilai baik citra parpol. Survei kedua mengindikasikan bahwa separuh generasi Z berharap kepada para politikus untuk lebih menguatkan lagi kinerja mereka serta menyuguhkan ide dan program-program yang ideal. Berangkat dari argumentasi ini, kita bisa mengeklaim bahwa budaya politik pragmatis dan primordialisme akan digantikan secara perlahan oleh budaya politik gagasan di negeri ini.

Praktik politik gagasan dapat terlihat jelas dalam beberapa fenomena, seperti panggung pidato gagasan oleh Bacapres (bakal calon presiden) dan debat politik, baik yang diikuti loyalis parpol atau Capres-Cawapres. Dalam event Rakernas XVI pada 13 Juli kemarin, Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia) menggelar pidato adu gagasan Bacapres. Ganjar, Anies dan Prabowo menyampaikan visi dan program-program yang mereka inginkan di hadapan para wali kota Indonesia.

Selain itu, terdapat pula debat politik bertajuk Adu Kuat Para Kandidat Capres 2024 yang diselenggarakan oleh Kompas TV pada 24 Mei kemarin. Dalam momen tersebut, beberapa loyalis parpol saling berdebat dan adu pandangan untuk mendukung Capres pilihannya. Kanal-kanal TV lain pun juga gencar menggelar debat politik, khususnya TV One dengan program Catatan Demokrasi-nya. Untuk debat Capres-Cawapres 2024, KPU akan menggelarnya di antara masa resmi kampanye yang terbuka dari 28 November sampai 10 Februari 2024 nanti.

Debat politik, baik yang diikuti loyalis parpol atau Capres-Cawapres nanti, dinilai merupakan panggung terbaik untuk praktik politik gagasan. Selain penyampaian ide dan program, para peserta debat juga diberi kesempatan untuk mengomentari gagasan-gagasan lawannya. Dengan demikian, masyarakat dan khususnya generasi Z dapat teredukasi dan menyaksikan secara langsung gagasan siapa yang paling kuat untuk selanjutnya menjadi pilihan mereka.

Agar lebih objektif atas pilihan masyarakat, diperlukan alat untuk menganalisis jalannya perdebatan. Ilmu debat dan teori kebenaran eksistensial milik filsuf Søren Kierkegaard pantas digunakan untuk hal tersebut. Bila masyarakat memahami dengan baik rangkaian ide dan program-program yang tersajikan dalam sebuah debat poltik, tak terelakkan lagi bahwa kualitas politik bangsa kita mengalami peningkatan. Tersebab, pilihan mereka nantinya berlandaskan pada hal-hal yang dapat terukur dengan jelas, tidak seperti politik pragmatis dan primordialisme.

Realitas Debat Politik dalam Kacamata Ilmu Debat

Perlu disampaikan bahwa sebuah debat ideal akan terealisasi bila para pesertanya memiliki satu tujuan, yaitu mencapai kebenaran dan maslahat bersama. Disebutkan dalam al-Înâs wa al-Musâmarah ‘alâ Risâlah Âdâb al-Bahts wa al-Munâdharah, karangan Syekh Mushtafa Abdun Nabi, bahwa al-Munâdharah (baca: debat) adalah kegiatan bertukar gagasan antara dua orang atau lebih dengan memperkuat argumentasi miliknya serta melemahkan argumentasi lawan yang mana semua pihak bertujuan untuk mencari kebenaran.

Pengertian tersebut berimplikasi pada keharusan menerima kebenaran dan maslahat walaupun keduanya berasal dari pihak lawan. Tujuan mulia yang berupa mendapatkan kebenaran menafikan adanya sikap bersikukuh untuk mempertahankan ego pribadi. Sayangnya, praktik-praktik debat politik yang ada menampilkan hal sebaliknya. Mudah sekali kita temukan loyalis partai yang berdebat mengomentari gagasan lawannya dengan tidak berlandaskan pada argumentasi logis. Hal ini merupakan indikasi bahwa tujuan debat mereka bukan mencari kebenaran.

Kendati panitia penyelenggara debat politik, sebut saja KPU misalnya, bertujuan agar program tersebut menampilkan usulan kebijakan dan solusi atas permasalahan masyarakat, hal ini tidak menjamin hilangnya tujuan terselubung lain dalam diri pendebat. Menunjukkan kelebihan diri sendiri, menjatuhkan lawan, mencapai kemenangan dan yang paling utama adalah mencari elektabilitas, semua itu mudah tercermin dalam tujuan mereka. Ironi tersebut dapat saja terjadi mengingat bahwa mayoritas pendebat adalah politikus. Ada kepentingan partai mereka di balik klaim dan argumentasi yang disampaikan.

Dalam debat pertama Capres-Cawapres pada tahun 2019, banyak masyarakat yang menilai bahwa pertanyaan dan tanggapan antara para paslon bersifat normatif (tidak substansial), nilai gagasan dan kecerdasan belum terlihat jelas. Kejadian serupa juga dapat kita lihat dalam debat politik pada program Catatan Demokrasi TV One. Pada acara tersebut, alih-alih melakukan klarifikasi atas banyaknya komentar miring di tengah-tengah masyarakat dan menampilkan ide-ide segar partainya, mayoritas pendebat malah sering menyerang secara personal lawannya, Bacapres yang diusung dan partai yang manaunginya.

Dalam ilmu debat, Syekh Mushtafa menyebut permasalahan-permasalahan seperti tadi dengan sebutan perilaku mukâbarah, mu’ânadah, atau mujâdalah.¹  Ketiga perilaku tersebut lah yang sebaiknya dihindari dalam perdebatan karena akan mencederai tujuan utama debat, yakni mencari kebenaran dan maslahat. Bisa saja kita menyebut bahwa mereka yang berperilaku tiga hal tadi telah terjebak dalam narsistik. Bahkan, mereka dekat dengan perilaku kaum sofis yang menganggap bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui keterampilan yang baik dalam retorika, bukan argumentasi logis. Jangankan mendekati politik gagasan dengan ide segar dan nalar logisnya, untuk mengurus moral yang dalam hal ini adalah etika berdebat, mereka tidak becus.

Tentu, untuk meningkatkan kualitas politik gagasan melalui debat politik, para pendebat dituntut menerapkan kaidah dasar dalam berdebat. Bila tidak, bukan debat cerdas dan adu gagasan yang dihasilkan, tetapi debat kusir lah yang terjadi. Masyarakat kita tidak akan teredukasi dengan baik malalui debat kusir ini. Bahkan yang paling dikhawatirkan dari adanya tiga perilaku buruk debat di atas, masyarakat dan khususnya generasi Z akan kembali terpuruk dan pesimis. Mereka sulit melepaskan diri dari budaya politik pragmatis dan primordialisme sehingga momentum terbaik dalam dua survei Litbang Kompas di atas sangatlah sia-sia. Seharusnya, para elit partai menjadi contoh ideal untuk masyarakat dalam memulai praktik politik gagasan di negeri kita.

Debat Politik dalam Filsafat Eksistensialisme

Dalam eksistensialisme, klaim dan argumentasi yang diutarakan para pendebat tidak lantas berisi dukungan terhadap partai yang diikutinya. Kalaupun bersifat mendukung, hal tersebut tidak berarti bahwa mereka telah ditunggangi oleh kepentingan partainya. Untuk menganalisis hal ini, saya menggunakan dua ide yang ditelurkan Søren Kierkegaard: dialektika eksistensial dan kebenaran subjektif. Dua ide ini berhasil diterjemahkan dengan baik oleh Dr. Fahruddin Faiz.

Kierkegaard memandang bahwa keputusan seseorang seyogianya didasarkan pada pilihannya sendiri. Dia menyebut proses lahirnya keputusan yang demikian dengan sebutan “dialektika eksistensial”. Biasanya, jika seseorang menganut parpol tertentu dan dia menjadi perwakilan partainya untuk berdebat di satu forum, maka dia diharuskan mendukung dan bahkan mempertahankan kepentingan partainya.

Namun, dialektika eksistensial Kierkegaard berkata lain. Keputusan orang perwakilan partai di atas yang tertuang dalam klaim dan argumentasi miliknya, harus didasarkan pada pilihan subjektifnya sendiri. Ia tidak dituntut mendukung dan menjadi tunggangan kepentingan partainya. Dengan pemahaman ini, masyarakat akan teredukasi dengan tidak terburu-buru menjustifikasi buruk pada para pendebat yang bersikukuh membela Bacapres dukungannya.

Lebih jauh lagi, Kierkegaard mengeklaim bahwa sebuah kebenaran sejati itu bersifat subjektif, bukan objektif. Menurutnya, kebenaran sejati yang bersifat subjektif dapat tercermin dalam sebuah ide yang mana pemilik ide tersebut bersedia memperjuangkannya mati-matian. Kierkegaard tidak mempermasalahkan kebenaran objektif karena tidak terdapat dimensi eksistensial di dalamnya. Alasan bahwa kebenaran sejati yang perlu diperjuangkan mati-matian itu bersifat subjektif adalah karena terdapat dimensi eksistensial di dalamnya. Fahruddin memberikan contoh adanya kebenaran objektif dengan kebenaran al-Quran yang diterima oleh seluruh umat Islam. Dalam penghayatan dan pengaplikasian atas kebenaran objektif tersebut, lahirlah kebenaran subjektif yang berbeda-beda antara satu umat Islam dengan yang lainnya.

Meminjam ide Kierkegaard di atas, kita tidak bisa lantas mencibir para pendebat yang bersikukuh dengan klaim dan argumentasinya saat mereka mendukung Bacapres yang diusung partainya. Tidak perlu kita menyebut bahwa para pendebat tersebut menjadi tunggangan untuk kepentingan parpolnya. Tersebab, kita harus menghormati kebenaran subjektif yang dianut pendebat tersebut. Dalam konteks ini, dimensi eksistensial yang berharga terletak pada penghayatan pendebat tersebut pada kebenaran objektif yang telah diterima oleh seluruh teman satu partainya.

Namun, untuk mengedukasi masyarakat tentang praktik politik gagasan yang baik dan benar melalui filsafat eksistensialisme, kita tidak berhenti pada dua ide Kierkegaard di atas, yakni dialektika eksistensial dan kebenaran subjektif. Para pendebat bisa saja berdalih bahwa loyalitasnya pada parpol yang dianut itu berdasarkan pilihan dan kebenaran subjektifnya yang harus dihormati seluruh pihak. Padahal dengan penuh kesadaran, ia menjadikan kepentingan partainya di atas eksistensialnya sendiri. Bila hal tersebut dibiarkan, nilai edukasi dan politik gagasan bisa habis tergerus tak tersisa dalam satu debat politik.

Karena itulah, kita perlu memperhatikan tingkatan-tingkatan kebenaran eksistensial yang dituangkan Kierkegaard dalam karyanya, Fear and Trembling. Menurutnya, di antara tingkatan kebenaran eksistensial terdapat tingkatan estetik dan etik. Saat seseorang mengeklaim kebenaran eksistensialnya dengan berlandaskan pada kesenangan sementara, keuntungan pribadi atau pikiran pendek, maka kebenaran yang dianutnya masih bertingkat rendah, yaitu estetik. Lebih tinggi lagi, tingkat etik bersumber pada komitmen, tanggung jawab dan aturan moral universal tentang baik dan buruk.

Agar politik gagasan bisa bermanfaat bagi masyarakat dengan edukasi dan adu gagasannya, para pendebat perlu memperhatikan tingkatan kedua tersebut. Klaim kebenaran eksistensialnya harus tersusun melalui argumentasi yang berlandaskan aturan moral universal. Ia dituntut memiliki kesadaran penuh saat mendukung Bacapres yang diusung parpolnya. Dengan demikian, ia bertanggung jawab sepenuhnya terhadap gagasan yang ia angkat sehingga praktik politik gagasan yang baik dan benar dapat tercermin dalam Pilpres 2024 nanti.

Akhirnya, kendati debat politik yang telah ada terlihat buruk melalui kacamata ilmu debat karena beralih menjadi debat kusir, ternyata filsafat eksistensialisme memiliki pandangan lain padanya. Ia membuka mata masyarakat untuk menghargai setiap dukungan para pendebat yang tercermin dalam kebenaran eksistensialnya, sehingga masyarakat tidak terburu-buru menganggap mereka kacung politik. Bila kebenaran dalam ilmu debat dapat dikejar melalui nalar logis, maka kebenaran eksistensial dilihat dengan komitmen, tanggung jawab dan aturan moral universal dalam diri pendebat. Pemahaman ini semua menjadikan masyarakat teredukasi dan akan siap menyambut praktik politik gagasan di kontestasi Pilpres nanti.

 

¹ Mukâbarah: perdebatan dalam satu masalah untuk menunjukkan keunggulan dan keutamaan diri sendiri.
Mu’ânadah: perdebatan antara dua orang yang mana salah satunya tidak memahami maksud perkataan lawannya, sedangkan ia sendiri mengetahui bahwa perkataannya sendiri terdapat kesalahan di dalamnya.
Mujâdalah: perdebatan dengan tujuan menundukkan lawan, bukan mencari kebenaran. Lihat: al-Înâs wa al-Musâmarah, Mushtafa Abdun Nabi, Dâr al-Dliyâ’, hal. 216-217.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Verified by MonsterInsights