Opini
Trending

Di Balik Tagar #2019 Ganti Presiden

Tagar “2019 Ganti Presiden” hingga kini masih menjadi topik hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Setelah tagar tersebut ramai mewarnai media sosial, ia menjadi “teman ngopi” masyarakat kalangan akar rumput hingga penghuni istana. Banyak yang mendukung gerakan tagar itu, tak sedikit pula yang menolak seraya menyebutnya sebagai gerakan antipemerintahan.  

Awal Mula
Mardani Ali Sera selaku perintis tagar 2019 ganti presiden mengungkapkan bahwa, tagar ini bermula ketika ia diundang sebagai pembicara di salah satu acara tv swasta pada Maret 2018. Dimana saat itu, ia menyampaikan bahwa PKS sebagai partainya, berkeyakinan memenangkan kontestasi politik di tahun 2019, salah satunya dengan tagar 2019 Ganti Presiden sebagai identitas pergerakannya. Mardani mengakui, tagar itu mulai “dilaunching” dan menyebar di media sosial keesokan harinya.

Dalam KBBI, tagar berarti sebuah ungkapan penting yang didahului tanda pagar. Ketika disandingkan dengan 2019 ganti presiden, maka #2019GantiPresiden memiliki arti sebagai pesan penting yang politis dan bersifat propagandis. Sebab tagar ini mengandung pesan berupa ajakan kepada masyarakat agar mengganti presiden, dengan menggunakan hak politik di tahun 2019.

Awalnya, tagar 2019 Ganti Presiden merupakan gerakan yang legal, sebab ia adalah implementasi dari hak kebebasan berpendapat. Prof. Mahfud MD dalam pernyataanya di acara diskusi di salah satu tv swasta mengungkap bahwa tagar ini legal. Begitu pula dengan Fritz Edward Siregar sebagai Komisioner Bawaslu, ia mengatakan hal yang sama, tagar 2019 Ganti Presiden adalah legal. Namun, usai diresmikannya Pak Prabowo bersama Sandiaga Uno sebagai rival tunggal Pak Jokowi pada bulan Agustus 2018 kemarin, maka tagar yang tadinya dapat dipandang sebagai ekspresi kebebasan berpendapat, kini telah berubah menjadi kampanye tidak langsung. Sebagaimana yang diungkapkan Fritz Edward Siregar, bahwa pelanggaran kampanye baru dapat terjadi bila KPU telah menetapkan calon peserta pemilu. Hal inilah yang kemudian memancing perdebatan di kalangan masyarakat.

Polemik pro pemerintah dan gerakan antipemerintah bila ditelisik merupakan peristiwa kausalitas. Sebagaimana deklarasi tagar 2019 Ganti Presiden yang mendapatkan perlawanan dari sisi pendukung pemerintah. Sebab disinyalir positif mengandung ujaran provokatif dan merongrong pemerintahan sah yang tanpa legalitas. Deklarasi tagar 2019 Ganti Presiden di Medan, misalnya. Neno Warisman selaku salah satu anggota presidium di acara tersebut, dengan lantang menunjuk hidung pemerintah dengan bertanya kepada hadirin, “Mau anak ibu homo? Mau kalau anak laki-laki ibu nanti nikahnya sama laki? (bila tidak ganti presiden).” Dengan narasi semacam ini, tidak berlebihan apabila muncul perlawanan dari sisi pendukung pemerintah sebagai reaksi gerakan di atas. Selain itu, ditemukannya beberapa bukti bahwa HTI, sebagai ormas terlarang di Indonesia ikut menumpangi gerakan ini.  

Tagar di Arab Spring
Ada hal yang menarik dari fenomena gerakan tagar di Indonesia tersebut. Gerakan ini mirip dengan kampanye yang disuarakan masyarakat Arab pada awal tahun 2011. Yakni gerakan tagar yang mengawali peristiwa Arab Spring. Yang mana peristiwa ini hampir menyapu bersih seluruh dunia Arab dengan gelombang revolusinya. Tagar memiliki peran penting dalam memulai peristiwa Arab Spring yang memporak-porandakan dunia Arab. Sebut saja, peristiwa revolusi yang terjadi pada tahun 2011 di Mesir, sebagaimana yang dikutip dari buku Rasyid al-Khalidi yang berjudul Afkâr Haula Tsauratain fî Tûnis wa Misr.  Masyarakat yang turun ke jalan dengan seruan tagar al-Sya’b Yurîd Isqôthu al-Nidzam berhasil menumbangkan Presiden Husni Mubarak yang telah berkuasa selama kurang lebih 30 tahun. Seruan serupa pun berhasil menurunkan Presiden Zainal ‘Abidin di Tunisia, Muammar Qadafi di Libya, serta mengusik stabilitas Maroko, Bahrain dan Yordania. Pun seruan ini telah membuat gejolak berkepanjangan di Suriah dan Yaman.   

Gerakan tagar sukses menggiring opini masyarakat bahwa, pemerintahan telah gagal. Lalu dengan menumpangi emosi dan kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah di Mesir, Ikhwanul Muslimin berhasil “menggusur” Husni Mubarak dan mengangkat Muhammad Mursi ke atas tampuk kepresidenan. Sayangnya, tidak lama setelah dilantik sebagai presiden, beberapa sistem diganti secara ekstrem. Mulai dari tubuh kemiliteran hingga pendidikan. Termasuk di dalamnya berusaha mengganti sistem universitas tertua di Mesir, al-Azhar. Yang mana pada fase selanjutnya bukan maslahah yang diraih oleh masyarakat, malah menghasilkan gejolak di tubuh militer di negeri Kinanah tersebut. Hingga pada akhirnya Junta Militer menurunkan Muhammad Mursi pada tahun 2013. Pola yang semacam inilah yang mestnya tidak kita inginkan terjadi di Indonesia.

Mahfud MD dalam tanggapannya terhadap tagar 2019 Ganti Presiden mengatakan ada kemungkinan elit politik menunggangi emosi rakyat yang terus diangini tersebut. Menjadi menarik, mengingat partai tempat Mardani Ali bernaung (PKS) adalah “anak ideologi” dari Ikhwanul Muslimin (IM) Mesir, sebagaimana yang diterangkan di dalam “Ideologi Politik PKS” karya M. Imdadun Rahmat. Fakta ini menguatkan pandangan bahwa gerakan tagar yang ada bisa jadi terinspirasi dari gerakan tagar Arab Spring.

Munculnya video Mardani Ali Sera bersama Jubir HTI Ismail Yusanto turut memperkuat dugaan Pak Mahfud. Di dalam video itu, Mardani Ali Sera yang menyatakan ‘2019 ganti Presiden’ disambung kalimatnya dengan kata ‘ganti sistem’ oleh Ismail Yusanto dan dihatamkan dengan takbir. Ini tentunya “sesuatu” yang patut dicermati.

Apabila melihat hubungan IM dengan HT secara historis, Abu Mushab al-Suri seorang mantan anggota Thali’atul Muqatilah (pecahan IM) mengungkapkan di dalam “Perjalanan Gerakan Jihad”, bahwa keduanya memiliki ideologi yang sama, yaitu Negara Islam dan Khilafah. Bila IM memilih jalur politik, HT lebih kepada ranah pendidikan. Maka, bukan suatu kebetulan apabila di Indonesia “anak-anak” kedua kelompok tadi saling bahu membahu dalam mewujudkan ideologinya, ganti sistem menjadi Khilafah.

Pencegahan
Nah, dari sini saya berpendapat bahwa, pernyataan Bawaslu maupun Pak Mahfud mengenai kelegalan tagar 2019 Ganti Presiden sebagai implementasi kebebasan berpendapat saya amini. Namun, setelah ditetapkannya dua paslon oleh KPU, ditambah adanya peluang ancaman terhadap keutuhan NKRI, maka seruan #2019GantiPresiden perlu diwaspadai, bahkan (bila memang perlu) ditindak tegas oleh Negara dengan melarang penyebarannya. Sebab “arah”nya sudah cukup jelas. Hal ini juga senada dalam teori Usul Fikih yang terdapat teori saddu al-Zarâi’, upaya preventif. Yang mana, apabila memang terdapat media atau jalan yang baik, namun jalan tersebut mengantarkan kepada sebuah perbuatan keji, tercela dan berbahaya, maka wajib hukumnya meninggalkan jalan tersebut. Dalam hal ini, tagar 2019 Ganti Presiden harus kita antisipasi dan kita cekal.

Upaya pelarangan tagar ini bukan untuk penggembosan atau antidemokrasi. UU nomor 7 tahun 2017 telah menjamin hak berdemokrasi. Pada akhirnya, masyarakat yang ingin mendukung Pak Prabowo atau  ingin mengganti presiden lama, harus tetap konstitusional. Ini agar gerakan yang ada tidak mudah ditumpangi kepentingan elite politik atau kelompok tertentu. Ya, para pendukung gerakan tagar di atas dipersilakan untuk melakukan aksi kampanyenya ketika masa kampanye telah dibuka. Sebagaimana #2019GantiPresiden, #JokowiDuaPeriode pun perlu ditindak setara dengan melarang penyebarannya. Dengan begitu,  selain memperkecil peluang pihak-pihak tak bertanggung jawab menunggangi keinginan luhur masyarakat untuk hidup sejahtera, pun agar Pemilu di tahun 2019 kelak, dapat berlangsung dengan rasa suka cita, penuh persaudaraan antar anak anak bangsa. Selayaknya sebuah pesta; pesta demokrasi.

Back to top button