Esai
Trending

Sisi Lain Kehadiran Islam

Banyak dari kalangan kita yang menjustifikasi bahwa ‘masa sebelum Islam’ adalah masa kebodohan, ketidakberadaban dan masa krisis dalam segala hal. Lebih-lebih al-Quran menyifatinya dengan ‘al-Jahiliyyah’. Menurut pengamatan penulis, orang-orang yang berpikiran demikian adalah mereka yang belum fokus dalam ilmu sejarah, lebih tepatnya sejarah syariat Islam. Karena dalam kenyataannya, al-Quran sendiri mengajak orang Jahiliyyah berdebat, bahkan menyuruh mereka menghadirkan satu surat yang sama dengan yang ada di al-Quran, seperti ayat Qul Fa’tû bi Sûratin Mitslihî dalam QS. Yunus ayat 38.

Dari frasa masa Jahiliyyah, kita tentu akan membayangkan bahwa ia bermakna bodoh dan dungu yang tersemat pada sekelompok orang pada masa tersebut. Sehingga tidak berlebihan, jika sebagian orang menjustifikasi seperti di atas. Ada apa dengan masa Jahiliyyah? Apa benar keberadaannya demikian? Apakah tidak ada setitik kebaikan di sana?

Sebut saja semisal kedermawanan ayah Nabi Muhammad—yang bisa dilihat dari pemberiannya kepada orang yang baru datang haji, kecerdasan bangsa Arab dalam menghafal dan kepiawaian mereka dalam membuat syair-syair adalah rangkaian sifat istimewa bangsa Arab yang tidak boleh dinafikan. Sehingga tak heran jika Dr. Jawad Ali memberi makna Jahiliyyah dalam al-Mufasshal fî al-Târikh al-Jâhiliy hanya sebatas pada ‘kelaliman’ saja, tidak sampai bermakna kerendahan IQ yang dimiliki.

“Bangsa Arab merupakan bagian dari identitas Islam.” Ungkapan Sayidina Umar ini tentunya menyiratkan banyak pemahaman. Ketika bangsa Arab menjadi bagian dari identitas agama Islam, maka ketika dilihat secara filologis, agama Islam banyak mengilhami dari kebiasaan bangsa Arab. Dr. Thaha Husein dalam al-Fitnah al-Kubrâ-nya, menginterpretasikan ungkapan sayidina Umar hanya fokus pada kekuatan militernya. Tentunya, ini merupakan interpretasi dengan pembatasan yang sangat sempit. Karena pada kenyataannya, warisan bangsa Arab kepada Islam, bisa dilihat dari beberapa aspek.

Sebelum Islam datang, terdapat sebuah pergerakan. Pergerakan ini disebut dengan Hanîfiyah, pengikutnya disebut Hunafâ’. Mereka adalah sekelompok orang Arab yang mengesakan Tuhan dan tidak menyembah berhala, mereka bukan orang Yahudi dan Nasrani. Bagi mereka, agama yang diyakini adalah agama Hanîfiyah, agama Nabi Ibrahim. Sekelompok orang Arab inilah yang dimaksud Sayidina Umar dalam ungkapannya. Yang nantinya banyak mewarisi kepada Islam. Oleh karena itu—dalam diksi saya, jika mendapati diksi bangsa Arab, maka yang dimaksud adalah bangsa Arab Hanîfiyah.

Menurut Dr. Khalil Abdul Karim, ada lima aspek yang bisa ditelisik sebagai bukti warisan bangsa Arab terhadap agama Islam. Pertama, dalam peribadatan. Semisal dalam rangkaian ibadah haji; ihram, wuquf di Arafah, tawaf di sekeliling Ka’bah sebanyak tujuh kali, sa’i antara Safa dan Marwah, dll. Kemudian Islam hadir dan mewarisi serangkaian ibadah haji tersebut, tentunya warisan ini diisi dengan nilai-nilai keislaman. Dengan menghapus bacaan talbiah yang terdapat penyukutuan pada Allah misalnya, atau larangan tawaf tanpa berpakaian.

Kedua, perihal sosial kemasyarakatan. Bangsa Arab sebelum Islam, telah melakukan terapi pengobatan bagi orang-orang sakit dengan cara ruqyah. Cara ini merupakan salah satu media orang Arab yang masih dipakai sampai sekarang, karena pada masa itu, seorang penyihir adalah seorang dokter dalam waktu yang sama. Ketiga, dalam hal pembalasan. Syekh Muhammad Ahmad Thanthawi menyatakan bahwa bangsa Arab sebelum Islam mengetahui qasâmah sekaligus mempraktikkan. Qasâmah adalah bentuk sumpah yang dilakukan lima puluh orang penduduk tempat terbunuhnya korban pembunuhan. Keempat, perihal rampasan perang. Sebelum Islam, tiap komandan mendapat seperempat hasil perang, kemudian Islam datang lalu mengubah bagian komandan menjadi seperlima. Kelima, tentang perpolitikan dengan konsep musyawarah. Tidak berlebihan jika sebuah pertanyaan dilontarkan dalam aspek terakhir ini; mengapa Nabi Muhammad tidak meninggalkan satu hadits pun yang menunjukkan penggantinya? Bagaimana nasib hukum Islam setelah Nabi? Dr. Muhammad Ahmad Khalfullah berpendapat mengenai pertanyaan tersebut bahwa syariat Islam telah memiliki instrumen dalam penentuan hukum; akal dan teks wahyu. Setiap persoalan, tentunya memiliki solusi yang berbeda sesuai waktu, tempat dan pola perkembangan pemikiran. Dengan demikian, wadah eksplorasi kita dengan metodologi ijtihad telah menemukan esensinya.

Di titik ini, kita bisa memahami sabda Nabi; Innamâ Buitstu Li Utammima Makârima al-Akhlâq dengan seluas-luasnya. Kita bisa menilik secara detail kata “Li Utammima” sebagai pemahaman yang tidak saklek. Salah satu misi diutusnya Nabi yang juga merupakan misi Islam adalah sebagai ‘penyempurna keagungan etika’. Penyempurna bermakna pelengkap, ‘yang menjadikan utuh’ dan ‘yang menjadikan sempurna’. Bisa dipastikan, jika ia sebagai pelengkap maka harus ada yang dilengkapi. Pelengkap tidak mungkin berdiri sendiri dan mandiri. Artinya, keberadaan pelengkap adalah setelah keberadaan ‘yang dilengkapi’. Begitu pula dengan Islam. Kehadirannya tidak semata-mata membawa misi mengubah segala sesuatu yang ada pada masa sebelumnya secara utuh. Ia hadir dengan misi sebagai pelengkap yang masih mengambil adat kebiasaan orang-orang sebelumnya, namun tentunya dengan menaburi bumbu-bumbu nilai keislaman.

Dengan demikian, tawaran saya terkait kehadiran Islam adalah mengenalkan ulang sinonim kata pelengkap yaitu pemoles. Sehingga ‘masa sebelum Islam’ bisa diibaratkan dengan kerangka bangunan, lalu masa Islam (dengan serangkaian syariatnya) sebagai bangunan yang lengkap dengan hiasan yang mewarnainya. Begitulah syariat-syariat tertata rapi dalam Islam. Wabakdu, di sini akan saya pertanyakan kembali; masihkah kita menjustifikasi zaman Jahiliyyah sebagaimana prolog tulisan saya di atas?

Back to top button