Opini
Trending

Kala Cendekiawan Jadi Komedian

“Akan hancur Indonesia kalau dipimpin Jokowi,” begitulah pernyataan seorang wakil DPR RI, Fadli Zon, ketika berbicara di ILC bertema “Mega Versus SBY” pada 31 Juli 2018. Ketika ia melontarkan komentar, terlihat aroma amarah dan kecewa atas pemerintahan yang sedang berkuasa. Sayangnya selama sesi pernyataan, tidak terdapat data ataupun analisa ilmiah yang disodorkan untuk mendukung statement tersebut, sehingga terkesan asumtif dan subjektif.

Padahal ketika berada di forum tersebut, kapasitasnya sebagai seorang Wakil Ketua DPR RI yang berpendidikan tinggi dan diharapkan ngomongnya berdasarkan data dan analisa ilmiah. Ironi dan kontradiktif, khususnya antara pernyataan dan kondisi dirinya.

Priceless Knowledge
Merujuk pada pernyataan wakil rayat di atas, terlintas dalam pikiran saya, mengapa seorang tokoh nasional yang memiliki track record pendidikan luar negeri membuat statement yang nilainya sama dengan pernyataan rakyat awam yang tidak berpendidikan, tidak berbobot dan cenderung subjektif, bahkan ofensif. Tentunya itu menjadi ironi dan tidak sesuai ekspektasi masyarakat. Bahwa wakil rakyat merupakan sosok yang berpendidikan dan berpengalaman, yang dapat diambil manfaat dari setiap perkataan serta perbuatannya.

Tidak hanya Fadli Zon saja yang bertingkah demikian, beberapa “manusia elit” yang diamanati untuk mengurus kepentingan negara pernyataannya bisa dianggap hanya bualan belaka. Seperti pernyataan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menanggapi kenaikan harga cabai rawit di media online Detik.com tanggal  4 Januari 2017 silam, “Tanam sendiri cabai, kita tidak punya solusi ilmiah. Sangat disesalkan, ketika masyarakat ingin mengetahui penyebab melonjaknya harga pangan (khususnya cabai rawit) beserta solusi dari pemerintah, namun hanya dijawab sekenanya oleh sang menteri, seolah ia tak berdaya untuk menyelesaikannya.

Kasus lain, saat ILC di TV One tanggal 18 September 2018 dengan tema “Ijtima Ulama II dan HRS Dukung Prabowo-Sandi: Perebutan Suara Umat Islam. Dalam acara itu, kedua belah pihak, baik pro maupun kontra, berargumentasi untuk mendukung perbuatan masing-masing. Akan tetapi jika diperhatikan lebih lanjut, masing-masing argumentasi yang dilontarkan hanya pernyataan biasa yang dibumbui oleh sedikit emosi. Semisal politisi PDIP, Kampitra Ampera yang mulai naik pitam ketika disinggung permasalahan Habib Rizieq Shihab (HRS) dan bergabung ke partai pro-pemerintah, PDIP. Seluruh argumentasi yang ia bangun di awal sesi pembicaraan luluh lantak dengan emosinya yang berkobar. Padahal ia dapat mematahkan argumentasi lawan tanpa harus menampakkan emosi yang justru menjatuhkan argumentasinya.

Melalui fenomena di atas, saya melihat adanya kejanggalan identitas dan disfungsi ilmu pada diri kalangan elit berpendidikan. Kejanggalan identitas yang berarti indentitas kalangan berpendidikan yang sering dianggap sebagai “Orang yang Bersinggasana” menurut Buya Hamka dalam buku “Dari Hati ke Hati”. Mereka yang berilmu tinggi (cendekiawan) dan kehadirannya dielu-elukan masyarakat di ruang publik, kini menjadi tak ubahnya seperti komedian yang kehadirannya hanya untuk jadi bahan tertawaan masyarakat. Tersebab fungsi mereka sebagai problem solving telah hilang dari mereka.

Sedangkan disfungsi keilmuan pada diri mereka ialah dengan hilangnya pengaruh ilmu terhadap orang yang mempelajarinya atau bisa disebut sebagai pricesless knowledge. Para kalangan berpendidikan lebih mengutamakan emosinya dalam menghadapi lingkungannya, daripada dengan apa yang sudah dipelajari. Meskipun terdapat perbedaan pengendalian emosi di  setiap diri manusia, akan tetapi seyogianya bagi masyarakat terpelajar (kalangan cendekiawan) menggunaan keilmuannya untuk berdialektika dengan lingkungan sosial, khususnya kalangan yang berpendidikan ilmu humaniora dan agama.

Falsafah Ain, Lam dan Mim
Setelah menelusuri permasalahan di atas, saya ingin mengajukan konsep falsafah ain, lam dan mim dari buku “al-Turuq al-Manhajîyah” karya Dr. Musthafa Ridho al-Azhari sebagai pandangan hidup bagi kalangan berpendidikan. Huruf ain, lam dan mim merupakan huruf penyusun dari kata al-‘ilm (ilmu, pen) yang oleh Dr Musthofa Ridho al-Azhari dipisahkan menjadi tiga huruf dan diberikan menakrifkannya satu persatu. Pertama huruf ain yang bermakna al-‘izzu (kemuliaan), siapapun yang mengabdikan dirinya untuk ilmu, maka ia akan mendapat kemuliaan dari Allah dan manusia sebagaimana yang tertera dalam al-Quran surah al-Mujadalah ayat 11 “…Allah menaikkan derajat bagi orang-orang yang beriman dan berilmu dengan beberapa derajat…”. Kemuliaan yang mereka raih tidak semata penghargaan dari Allah dan masyarakat saja, namun juga dari diri mereka sendiri yaitu etika dan kemuliaan akhlak ketika bergaul dengan masyarakat sekitar.

Kedua huruf lam yang bermakna al-Lathâfah (kelembutan), ketika seorang kalangan berpendidikan berinteraksi dengan lingkungan sosial, maka ia akan berusaha mengemukakan  beberapa hipotesa untuk menyelesaikan problematika umat. Setiap hipotesa tersebut murni dari uji coba beragam teori yang mereka dapat beserta kontekstualisasinya dengan pikiran yang jernih. Kejernihan berfikir mereka dalam menganalisa itulah bentuk dari lemah-lembutnya mereka yang selalu mencoba mencari jalan yang terbaik dengan penuh pertimbangan.

Ketiga huruf mim yang bermakna al-Milku (kuasa), seorang kalangan berpendidikan dianugerahi sebagian kecil kekuasaan Allah dalam bentuk ilmu untuk menyelesaikan problematika umat. Disebut kekuasaan karena ilmu membuat pemiliknya memiliki kemampuan untuk menyelesaikan problematika yang ada. Oleh karena itu, diharapkan adanya pengabdiannya ke masyarakat setelah diberikannya “kekuasaan” tersebut.

Dari penjelasan barusan, saya berkesimpulan bahwa setiap kalangan berpendidikan yang berdialektika dengan pengetahuan dan lingkungan sosial niscaya akan memiliki kesadaran tersebut dan mempraktikkannya. Akan tetapi kebencian setelah berpihak pada satu golongan ditambah dengan memanasnya kondisi sosio-politik mengaburkan falsafah tersebut dan menurunkan derajat mereka. Sungguh naif dan ironis. Oleh karenanya, mari kembali menjadi kalangan berpendidikan murni untuk kemanusiaan, bukan untuk golongan, apalagi uang.

Back to top button