Opini
Trending

Menyikapi Bencana Alam

“Telah tampak kerusakan di daratan dan lautan akibat perbuatan manusia.” (QS; ar-Rum : 41)

Ayat di atas menurut saya tepat untuk direnungkan masyarakat Indonesia hari ini. Dalam ayat tersebut mengajak manusia untuk merenungkan kembali apa yang telah dilakukan selama hidupnya. Mestinya, dengan ayat tersebut bisa membuka hati masyarakat untuk kembali melihat status ‘Khalifah’ mereka di alam semesta. Agar masyarakat tidak digelayuti pertanyaan, “Bagaimana kita menyikapi bencana alam?” yang lantas memunculkan berbagai persepsi dan interpretasi.

Pada 5 Agustus lalu, tentu masih lekat dalam ingatan bagaimana keadaan warga Lombok saat diguncang gempa. Dalam satu bulan, tercatat terjadi banyak gempa berkekuatan 6-7 Skala Richter yang susul-menyusul. Ratusan korban jiwa melayang serta mengakibatkan kerusakan bangunan dan berbagai fasilitas infrastruktur. Tidak lama kemudian, pada 28 September, gempa dengan kekuatan 7 Skala Richter menimpa Palu, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 11 Oktober, gempa beserta Tsunami tersebut berhasil menelan 2.073  korban jiwa dan sebagian lain dalam proses pencarian. Seolah masih berlanjut, pada 9 Oktober kemarin, terjadi lagi gempa bermagnitudo 6,3 di wilayah Jawa Timur. Gempa ini, menelan korban tiga orang meninggal di Sumenep, membuat bangunan-bangunan rumah warga rusak parah di wilayah Situbondo. Dua wilayah tersebut memang dekat dengan pusat gempa, sebagaimana diberitakan banyak media.

Sayangnya, suasana sedih dan belasungkawa yang memenuhi hati seluruh masyarakat Indonesia, justru dikaitkan dengan isu-isu politik oleh sebagian orang tak berbelaskasihan. Sontak hal itu membuat Irwan Bajang (warga Lombok yang menjadi saksi gempa) marah seketika saat membaca komentar seseorang di medsos yang mengatakan, “Gempa ini adalah azab, salah sendiri TGB mendukung Jokowi, rasakan sekarang adzab Allah sudah datang.” Lihat selengkapnya di Mojok.co, Gempa Lombok Bukan Soal Politik Dan Agama, Ini Soal Mau Jadi Manusia Atau Tidak. Contoh yang lain, pada saat gempa terjadi lagi di Palu dan Donggala, FPI DKI Jakarta menggelar acara “Doa untuk keselamatan Bangsa” di pelataran monumen nasional (monas) pada sabtu, 29 September lalu. Sobri, sebagai ketua acara pada sambutannya, menyatakan bencana di Palu ini merupakan akibat atau balasan ‘kriminalisasi’ atas Habib Rizieq dan Gus Nur yang dijadikan tersangka.

Komentar-komentar semacam itu menurut saya lebih bersifat otak-atik ghatuk dan cocokologi yang tidak ilmiah sama sekali. Para korban bencana dari masyarakat yang harusnya membutuhkan ketenangan dalam jiwa mereka, justru harus menerima kegaduhan-kegaduhan dan politisasi bencana alam. Alih-alih menenangkan masyarakat yang terkena bencana, justru mereka semakin menimbun kesedihan masyarakat; antara sedih pada bencana yang menimpa, sedih pula pada manusia-manusia yang sudah dibutakan rasa kemanusiaannya.

Seyogianya, bencana alam memberikan kesempatan bagi umat manusia untuk bermuhasabah dan mengevaluasi diri. Apa di balik adanya bencana? Musibah ataukan cobaan? Apa tindakan yang semestinya dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini, bisa mendekatkan kita pada upaya evaluasi diri, baik pada tindakan sosial maupun individual. Pun bagaimana memandang bencana alam secara bijak dan ideal di masa modern seperti sekarang.

Penjernihan Nalar; Antara Sains dan Agama
Pertanyaan terakhir di atas, menurut saya bisa mengantarkan kita pada pemahaman yang jernih untuk melihat dan menyikapi bencana alam. Pemahaman yang proporsional antara riset sains dan pesan-pesan dalam agama, tidak bias ataupun timpang di antara salah satunya. Bencana gempa bumi, seperti yang terjadi akhir-akhir ini, menurut Ilmu Pengetahuan Alam (Geofisika) adalah gerakan yang terjadi di permukaan bumi akibat pelepasan energi dari dalam bumi secara tiba-tiba yang kemudian menciptakan gelombang seismik. Gempa Bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak Bumi (lempeng Bumi).

Gempa Bumi diukur dengan menggunakan alat SeismometerMoment magnitudo adalah skala yang paling umum di mana gempa bumi terjadi untuk seluruh dunia. Skala Richter adalah skala yang dilaporkan oleh observatorium seismologi nasional yang diukur pada skala besarnya lokal 5 magnitude. Secara umum, gempa yang terjadi di akhir-akhir ini bisa dikategorikan pada gempa tektonik, yaitu gempa yang disebabkan oleh pelepasan tenaga yang terjadi karena pergeseran lempengan plat tektonik seperti layaknya gelang karet ditarik dan dilepaskan dengan tiba-tiba. Keterangan ini sebagaimana dalam Wikipedia yang merujuk pada BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika).

Setelah mengetahui gempa menurut ilmu sains, kita beranjak melihat pada prespektif Islam dalam melihat bencana alam. Dalam sejarah Islam, banjir di masa Nabi Nuh, gempa bumi dan hujan batu di masa Nabi Luth, dsb, digambarkan sebagai azab dari Tuhan. Bencana-bencana yang berupa azab ini, merupakan musibah yang menimpa kaum terdahulu akibat kedurhakaan mereka pada perintah-perintah Allah melalui nabi-Nya. Selain azab, bencana bisa juga merupakan cobaan Tuhan untuk menguji umat manusia. Sehingga totalitas keimanan mereka akan diuji melalui cobaan tersebut sebagaimana dalam al-Quran, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS: Al-Baqarah :155)

Lalu, bagaimana bencana yang terjadi di Indonesia belakangan ini? Apakah azab masih berlaku pada konteks abad dua puluh satu sekarang? Menurut saya, azab di masa modern tidak lagi diterjemahkan terhadap bencana-bencana alam saja—sebagaimana masa terdahulu. Umat Islam sekarang menghadapi cobaan dan azab yang tentu berbeda dengan zaman dahulu. Gempa yang menurut sains terjadi secara alamiah di satu sisi, bisa diterima sebagai pandangan untuk mawas diri dan kehati-hatian. Di sisi lain, sebagai umat Islam modern, gempa bisa diterjemahkan sebagai jelmaan kekuasaan Allah untuk menegur makhluk-Nya, akan tetapi dengan perspektif kesadaran modern. Bahwa umat Islam hari ini menghadapi cobaan yang berbeda; diri sendiri sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. “Kita baru saja pulang dari jihad (perang) kecil menuju jihad besar…. Jihad terbesar adalah perang melawan diri sendiri.” (HR Baihaqi dari Jabir).

Dengan demikian, komentar-komentar yang mencoba mempolitisasi kejadian alam menurut saya telah mencederai nalar jernih umat Islam hari ini dalam menyikapi bencana alam. Kemudian dari penjelasan secara sains, menjadi terbukti bahwa politisasi sains adalah penafsiran timpang yang sama sekali tidak rasional. Lebih-lebih dalam sudut pandang Islam. Menurut saya, komentar tersebut bisa menjadi ‘dosa’ tersendiri akibat penebaran kegaduhan berupa keberpihakan, provokasi, dan unsur politis pemecah belah lainnnya. Oleh sebab itu, para korban gempa beserta masyarakat Indonesia lainnya, diharapkan tidak terjerumus pada tindakan tersebut. Sudah saatnya masyarakat Indonesia menjernihkan nalar dalam melihat bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini.

Selanjutnya, apa tindakan dan sikap evaluatif yang bisa dilakukan dalam menyikapi bencana alam yang terjadi? Jawabannya menurut saya bisa dimulai dari makna ayat ar-Rum di atas, bahwa terjadinya bencana alam bisa jadi merupakan salah satu efek dari tindakan manusia itu sendiri. Hal ini bisa dimaknai pada kemaksiatan modern; ekploitasi alam, penindasan, bisa juga pada maksiat-politik sebagaimana di atas. Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia diharapkan tidak hanya bersikap sabar dan legawa saja atas musibah yang terjadi. Namun dibuktikan juga dengan memperbaiki hubungan dengan alam, serta dengan kehidupannya sendiri di hari esok secara lebih baik. Sebagaimana Imam Ghazali katakan dalam Ihya’ Ulumudin, “Pondasi agama seseorang dibangun atas tiga perkara; pengetahuan (ma’ârif), keadaan (ahwâl), dan perbuatan (af’âl)Perbuatan-perbuatan merupakan buah dari keimanan yang kuat.

 

Tulisan ini telah diterbitkan di Jawa Pos Radar Bromo, ruang publik, pada Ahad, 21 Oktober 2018.

Back to top button