Opini
Trending

Islam Bukan Agama Pedang

Agama merupakan pedoman untuk memahami hakikat hidup manusia. Terlepas dari perbedaan bentuk keyakinan dalam menjalankan syariat-syariatnya, mayoritas misi agama ialah menebarkan risalah kasih perdamaian serta kemanusiaan. Beberapa kali konfrensi antar-pemuka agama digelar untuk menerjemahkan misi agama melalui langkah-langkah konstruktif. Dengan tujuan, agar tercipta ruang perdamaian yang menjunjung nilai-nilai toleransi antar-sesama manusia di mana pun dan kapan pun. Tersebab pada dasarnya manusia adalah satu, di bawah naungan nilai-nilai kemanusiaan, yakni perdamaiaan dan persaudaraan antarsesama.

Pengejawantahan nilai-nilai tersebut tidak akan pernah lepas dari sumber ajaran masing-masing agamanya. Yang mana, agama merupakan wadah Tuhan untuk menciptakan perdamaian di muka bumi. Pun misi agama Islam sendiri, yang notabenenya menjunjung nilai toleransi, tidak akan pernah berhasil menghadirkan perdamaian jika pemeluknya tidak mampu menerjamahkan pesan agamanya. Dari sini kita sepakati, bahwa penerjemahan pesan agama yang benar merupakan hal yang penting sebagai cerminan dari sikap keberagamaan seseorang.

Walakin, belakangan ini agama didiskreditkan sebagai dalang dari segala bentuk aksi amoral yang mengatasnakaman agama. Ditelisik sesuai ajarannya, agama mana pun menyerukan pada perdamaian, tak satu pun agama di dunia ini menyerukan kekerasan. Jika demikian, satu hal yang perlu kita kaji kembali ialah cara pemeluknya memahami beberapa teks ajaran yang tercermin di setiap lakunya. Saya mengambil salah satu Hadits Rasulullah yang rawan menjadi ladang kesalahpahaman oleh sebagian umat Islam, yakni “Bu’itstu bi al-Sayfi”, yang artinya “Aku diutus dengan pedang”. Hadits tersebut dalam sanadnya dihukumi hasan oleh ulama Hadits, sedangkan matan Haditsnya dihukumi shahih dengan dikuatkan oleh beberapa Hadits yang serupa dengannya.

Dalam teksnya, Hadits di atas mengandung kerancuan makna jika tidak dirunut secara mendalam. Mengapa demikian? Tersebab Hadits tersebut seperti bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran dan Hadits lainnya yang menggambarkan welas asihnya Islam antar-sesama manusia. Atau jika seorang muslim memahaminya secara instan, tanpa adanya telaah dan kajian mendalam, secara tidak langsung akan menumbuhkan perilaku ekstrem dalam beragama. Yakni menyimpulkan, dengan tergesa-gesa, bahwa ajaran Islam disampaikan dengan cara kasar dan memaksa, bahkan dengan cara berperang sekaligus. Nah, di sini poin inti dari urgensitas seorang pemeluk agama menerjemahkan teks agamanya secara tepat.

Tak jarang pula kita menyaksikan beberapa aksi yang mengatasnamakan agama (baca:Islam) mendapat kecaman dari berbagai kalangan, baik dari kalangan umat Islam maupun non-Islam. Perilaku semacam ini justru merusak citra agama Islam, serta membuat Islam ditera sebagai agama yang identik dengan kekerasan. Peneraan itu berimbas pada daftar panjang Islamopobia di belahan dunia manapun. Tragedi semacam ini bukan sekadar isu belaka, semisal bom bunuh diri yang beberapa kurun belakangan terjadi di Indonesia dan Mesir. Pun beberapa kekacauan di Timur Tengah yang mengatasnamakan kesucian agama.

Secara implisit, makna “pedang” pada Hadits di atas tidak diartikan sebagai pedang saja. Walakin, laku-laku yang identik mengatasnamakan agama sebagai upaya penyebarannya secara keras menjadi bagian pada makna tersebut. Dalam konteksnya, Hadits tersebut menjelaskan bahwa makna tersiratnya ialah sebagai bentuk peringatan keras kepada kaum kafir Quraisy ketika Rasulullah berdakwah di Makkah. Artinya, bukan Rasulullah yang menyerang mereka dengan pedang ketika berdakwah di Makkah, bukan seperti itu. Beberapa ulama memaknai peringatan keras ini laiknya orang tua yang memperingati anaknya agar tidak nakal. Semisal seorang Ibu berkata kepada anaknya, “Nak, jangan nakal-nakal. Kalau sampeyan nakal, Ibu akan cubit sampeyan!” Peringatan dalam Hadits tersebut tidak jauh berbeda dengan peringatan yang semacam ini. Tergantung terjadi atau tidaknya cubitan Ibu tersebut kepada anaknya, ya terserah Ibunya. Akan tetapi untuk Rasulullah sendiri, peringatan dalam Hadits itu benar-benar tidak pernah terjadi untuk menggunakan pedang sebagai jalan utama berdakwah.

Dalam catatan sejarah, tidak satu pun kaum kafir Quraisy dibunuh oleh Rasulullah saat berperang. Sedangkan di lain waktu, justru Rasulullah mendoakan penduduk Thaif agar diberi hidayah ketika beliau hendak menyampaikan risalah Islam. Padahal, Rasulullah saat itu dilempari batu oleh penduduk Thaif. Bahkan, malaikat penjaga gunung pun geram dan meminta izin kepada Rasulullah untuk memberi pelajaran kepada penduduk Thaif. Namun izin tersebut ditolak secara halus oleh Rasulullah. Pertanyaan sederhananya, di manakah letak kekerasan Rasulullah ketika berdakwah, baik di Makkah maupun di Thaif?

Sedang secara terminologi, “pedang” dalam Hadits di atas memiliki makna yang berbeda. Di satu sisi, pedang pada zaman Rasulullah merupakan alat yang digunakan untuk membela diri ketika musuh menyerang kaum muslim. Artinya, pedang bukan untuk menyerang terlebih dahulu kelompok yang membangkang ataupun tidak meyakini risalah kenabian Rasulullah. Sebagaimana yang salah dipahami oleh kelompok ekstrimis dalam surah al-Baqarah ayat 190, “Wa qâtilû fî sabîlillâhi al-ladzî yuqâtilûnakum wa lâ ta’tadû”. Pada ayat ini terdapat pesan tersirat, bahwasanya dibolehkannya berperang ketika dalam keadaan diserang, bukan ketika merasa “menangan”, bukan pula saat menghadapi mereka yang berbeda keyakinan dengan.

Dalam beberapa pemahaman yang mendasar, pedang (baca: menghalalkan kekerasan dan perang) menurut kaum ekstrimis dijadikan sebagai bentuk dari jihad untuk menyebarkan pesan agama. Mereka menganggap kehidupan Rasulullah dalam menyebarkan agama melalui perang semata, tanpa adanya sisi kehidupan lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Syekh Hasan bin Farhan al-Maliky, ulama moderat dari Arab Saudi yang menyatakan bahwa orang-orang ekstrimis tenggelam pada keutamaan lautan jihad. Pada dasarnya perang yang bermotif jihad di jalan Allah merupakan jihad kecil dari sebuah jihad besar, yakni melawan hawa nafsu itu sendiri.

Menurut penelitian, karir kenabian Rasulullah kira-kira sekitar 23 tahun atau 8000 hari. Jumlah hari Rasulullah berperang hanya 80 hari, jika tanpa melibatkan persiapan dan lain sebagainya. Artinya, karir Rasulullah dalam berperang hanya satu persen dari masa kenabiannya. Ironisnya, sisa satu persen itu kerap kali membutakan pemahaman kelompok ekstrimis ketika menjadikan perang (kekerasan) sebagai satu-satunya jalan dakwah. Jika ditelisik kembali, Rasulullah berperang sesuai perintah Allah pun ketika agama Islam terdesak, bukan kehendak yang direncanakan secara masif.

Dengan demikian, sudah barang tentu Hadits di atas harus dipahami secara nalar yang benar. Ditilik dari sejarah Rasulullah maupun perilaku Salaf Saleh yang benar-benar memahami dan mengaplikasikan teks agama secara arif, tidak satu pun ditemukan literasi yang menghalalkan kekerasan sebagai jalan utama untuk berdakwah. Saya menggarisbawahi, bahwa Salaf Saleh hanya sebatas ulama yang menyerukan pada jalan kebajikan ketika berdakwah dan menghindari seruan yang bernada provokasi dengan mengatasnamakan Islam. Tersebab banyak ulama di zaman sekarang yang terputus keilmuannya dengan menghalalkan bentuk jihad yang ambigu (kekerasan maupun provokatif) sebagai jalan utama berdakwah.

Walakhir, pemahaman terhadap teks agama seyogiayanya dipahami secara tepat dan arif. Keberislaman secara universal bukan berarti bersikap keras dalam menyebarkan agama. Alih-alih ikut andil dalam menyebarkan risalah Islam, justru sikap seperti ini menambah daftar panjang sentimen non-muslim terhadap Islam. Sejatinya, keberislaman universal; menyebarkan Islam melalui akhlak mulia yang diterapkan oleh Rasulullah merupakan ajaran profetik inti. Jika hal demikian bisa dihayati oleh setiap pemeluknya, alangkah indahnya Islam di hadapan non-muslim. Ajaran yang sejatinya sarat dengan toleransi dan rahmat, bukan hanya bentuk teksnya saja, melainkan juga ada di dalam laku pemeluknya masing-masing.

Back to top button