
“Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadlan.” Inilah doa yang sering kita haturkan kepada Allah SWT seiring datangnya bulan Rajab. Bulan Rajab memiliki keistimewaan tersendiri, mulai dari disunahkannya puasa, hingga adanya peristiwa yang bersejarah bagi umat Islam. Peristiwa tersebut ialah Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Isra yaitu perjalanan horizontal beliau dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha, sedangkan Mi’raj ialah perjalanan vertikal dari Masjid al-Aqsha ke Sidratul Muntaha. Selain dari sisi perjalanan, Isra-Mi’raj juga menyuguhkan berbagai kejadian yang terjadi selama perjalanan dalam waktu semalam, yang mana membuat peristiwa ini sangat menarik untuk dikaji. Oleh karenanya, dalam tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa permasalahan yang diperdebatkan oleh umat Islam perihal Isra Mi’raj tersebut, dan apa saja kandungan makna yang ada dalam peristiwa tersebut.
Perdebatan
Dalam kitab Khutab al-Jum’ah wa al-Îdain (2015), Dr. Abdul al-Shabur Syahin menjelaskan bahwa perdebatan perihal Isra Mi’raj berkutat pada dua hal. Pertama, seputar apakah peristiwa tersebut termasuk mukjizat? Kedua, apakah Isra Mi’raj dengan ruh Nabi saja, atau dengan ruh dan jasadnya secara bersamaan? Berikut pembahasannya.
Seperti kita ketahui, mukjizat Muhammadiyah berkaitan dengan akal, berbeda dengan mukjizat para nabi sebelumnya yang berkaitan dengan jawârih (anggota badan). Sebut saja mukjizat bashariyah, seperti tongkat Nabi Musa yang dapat berubah menjadi ular, dan membelah Laut Merah. Atau mukjizat Nabi Isa yang dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati, serta menyembuhkan orang yang buta dan terkena kusta. Mukjizat sejenis ini bisa langsung menyebabkan orang-orang percaya atau ingkar terhadapnya. Sedangkan, mukjizat Nabi Muhammad SAW tidak berkaitan dengan madi (kebendaan), tetapi berkaitan dengan akal. Mukjizat Nabi Muhammad umumnya mengajak manusia untuk menyelami dunia pemikiran. Sebut saja al-Quran, yang merupakan mukjizat terbesar bagi beliau.
Oleh karenanya, ketika kita memikirkan mukjizat beliau, maka Isra Mi’raj yang dilakukan olehnya termasuk sebuah mukjizat. Karena, beliau sendirilah yang diperjalankan dari Masjid al-Haram sampai Masjid al-Aqsha. Beliau sendiri juga yang dinaikkan dari Masjid al-Aqsha ke Sidratul Muntaha, dan beliau sendiri yang melihat keagungan Allah SWT serta kebesaran alam semesta. Sementara manusia tidak dapat melihatnya sama sekali. Mereka hanya mendengar informasi dari para rasul perihal perkara-perkara gaib.
Kemudian, apakah Isra Mi’raj Nabi dengan ruh dan jasadnya secara bersamaan, atau ruhnya saja? Jawaban yang paling râjih ialah dengan ruh dan jasad beliau. Ini sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. al-Isra’ ayat 1 yang berbunyi: “Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari masjid al-Haram ke masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Dari ayat di atas tidak disebutkan dengan konteks atau kalimat “ruh hamba-Nya”, tetapi menggunakan kalimat “hamba-Nya”. Maksud ‘abd (hamba) di sini ialah Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad dilakukan dengan ruh dan jasad beliau.
Makna Isra Mi’raj
Banyak makna yang terkandung dalam peristiwa Isra Mi’raj. Di antaranya, pertama, Isra Mi’raj terjadi setelah Nabi mengajak dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat. Juga terjadi setelah beliau bersabar dalam menghadapi segala rintangan dan siksaan kaum Quraisy selama 10 tahun masa kenabiannya. Di saat seperti ini, beliau berangan-angan barangkali ia menemukan kelompok yang menolongnya. Momen peristiwa istimewa itu terjadi setelah beliau dirundung suasana hati yang sedih akibat ditinggal wafat pamannya, Abu Thalib dan istri tercintanya, Sayidah Khadijah. Selepas meninggalnya mereka berdua, beliau mendapat perlakuan yang sangat buruk dari kabilahnya, seperti dilempar batu sehingga berdarah kakinya. Perlakuan itu membuat beliau sedih dan menangis. Beliau lantas menggunakan suasana hati yang berduka tersebut untuk bermunajat kepada Allah SWT di setiap malam.
Kesedihan dan kepasrahan yang begitu memuncak, membawa beliau menembus batas-batas spiritual tertentu, sehingga Allah kemudian menghadiahi beliau dengan Isra dan Mi’raj. Maka, momen Isra’ Mi’raj menjadi momen untuk menguatkan dan menentramkan kembali hati Rasulullah SAW yang gundah gulana. Puncaknya ialah ketika beliau berada di Sidratul Muntaha untuk bertemu langsung dengan Sang Khalik, Yang Mencipta segala jenis perasaan para hamba-Nya. Momen itu menjadi bukti bahwa kuasa Allah —seluruhnya— ada di sisinya. Seakan-akan atas kuasa Allah tersebut berbicara pada beliau selama perjalanannya: “Wahai Muhammad, engkau akan segera melewati berbagai kesusahan ini dengan inayah dan rahmah Kami, sebagaimana lewatnya bumi dan langit dengan kuasa dan inayah Kami.”
Kedua, Isra dan Mi’raj juga menjadi ujian bagi orang-orang mukmin, menjadi filter bagi orang-orang yang lemah imannya, sekaligus menjadi permulaan dari rangkaian menyucikan diri bagi orang Islam. Penyucian diri inilah yang menjadi tahapan awal dari indahnya hasil yang didapatkan oleh orang-orang Islam akibat beribadah tulus kepada Allah.
Imbasnya, selepas Isra Mi’raj, Nabi dan para Sahabat memulai babak baru. Bermula dari hijrah ke Madinah, lantas mereka bertemu dengan kaum Anshar, hingga akhirnya mendapatkan keluarga yang sama-sama beriman. Hijrah itu termasuk nikmat besar yang didapatkan oleh kaum muslimin. Kemudian berlanjut saat jihad melawan kaum musyrik, dan memperoleh kemenangan. Dan puncak kenikmatan yang didapatkan kaum muslim setelah Isra Mi’raj Nabi ialah peristiwa Fathu Makkah. Ini sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Maidah ayat 3 yang turun saat Haji Wada’, “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridlai Islam sebagai agamamu…” Dari peristiwa Isra dan Mi’raj ini, salah satu makna yang kita dapatkan ialah penyucian diri setiap beribadah kepada Allah SWT. Penyucian diri inilah yang selalu digaungkan, sehingga ia menjadi suatu syarat bagi orang Muslim yang ingin beribadah, bermunajat dan mendekatkan diri kepada Allah.
Ketiga, Isra Mi’raj menjadi contoh nyata penerapan demokrasi antara Sang Khalik dengan Nabi-Nya. Ini bisa kita lihat saat Nabi Muhammad SAW bernegosiasi dengan Allah untuk meminta keringanan terhadap perintah shalat sehari semalam yang diwajibkan. Negosiasi ini berasal dari usulan Nabi Musa kepada Rasulullah, beliau meminta agar umat Nabi tidak dibebankan lima puluh shalat dalam sehari semalam. Pertimbangan Nabi Musa ialah mengingat pengalaman kaumnya; kaum Yahudi yang tidak mampu mengerjakan. Walhasil, negosiasi antara Allah dan Nabi-Nya bertemu di angka lima untuk shalat sehari semalam. Lima kali shalat umat Nabi dalam sehari semalam sama dengan pahala lima puluh shalat.
Terakhir, kita bisa mengambil nasihat dari Isra Mi’raj. Kita bisa membaca di berbagai kitab tentang pelbagai kejadian yang dialami dan dilihat Nabi saat peristiwa ini. Di sana, kita juga bisa melihat gambaran tempat kita berpulang kelak setelah hari kiamat. Misalnya, saat Nabi bertanya perihal siapa para kaum yang perutnya seperti rumah yang dipenuhi banyak ular dan dapat dilihat dari luar perut mereka. Maka, jawaban Malaikat Jibril ialah mereka orang-orang yang memakan riba. Oleh karenanya, barang siapa yang beramal baik, tentu untuk dirinya sendiri dan mendapatkan balasan sesuai kebaikannya. Dan barang siapa berbuat keburukan, tentu kembalinya juga kepada dirinya. Wallahu a’lam bi al-shawâb.