
Belum lama ini, Hasil Munas NU (tentang rekomendasi penghapusan kata kafir) membuat sebagian orang “kepanasan” dan kambuh latahnya. Sebagian ada yang latah tiba-tiba menjadi naif. Ada yang latah tiba-tiba menjadi pakar tasrifan bahlul. Bahkan, sampai ada yang membuat tasrifan baru atas lafadz “Kafara” menjadi “Kafara Yukaffiru Kufran”. Ada pula ustadz yang menganggap beda makna lafadz “al-Kafir” dengan “Kuffar”. Semakin naif, ketika isu itu digoreng sedemikian rupa untuk menurunkan Citra NU di mata publik. Ujungnya, ternyata kemudian digunakan untuk menaikan elektabilitas paslon presiden dan ormas-ormas atau partai tertentu. Padahal, NU jelas tidak mengambil langkah politik-praktis, apalagi berniat mempolitisasi. Ketika saya menyusuri respon dari komunitas non-muslim, ternyata tidak separah dalam kalangan Islam sendiri. Sebagian besar dari mereka justru sangat mengapresiasi dan mendukung rekomendasi tersebut. Misalnya PGI (kristen), Budha, dan Hindu, sebagaimana diberitakan oleh Tempo.com. Dari sini, timbul pertanyaan saya, siapa yang sebenarnya kebakaran jenggot dan memainkan isunya menjadi sedemikian hebohnya?
Keputusan-keputusan NU sejak era Gus Dur (sebagai reformis NU Garis Lucu-Modern) memang membawa trobosan-trobosan progresif-kontroversial di permukaan. Akan tetapi, cukup banyak pula orang yang salah menyikapinya. Seperti hasil Munas belum lama ini, dijadikan bahan mencaci maki, bahkan meliberal-syiahkan NU. Kang Said Aqil itu Syiah, Muqshit Ghozali Liberal, dan seterusnya. Padahal khilafiah sebenarnya sudah sangat lumrah di tubuh NU. Orang-orang kembali membuka kitab-kitab klasik, beradu opini dan analisa, tetapi tidak keluar dari konteks ilmiah. Kesepakatan untuk mengganti diksi Kafir menjadi non-muslim, sudah argumentatif berdasarkan kitab-kitab klasik dan kontemporer. Penggantian itu bersifat rekomendasi, belum terlegitimasi undang-undang. Yang kedua, perubahan diksi kafir itu berlaku hanya pada konteks muamalah, non-muslim dianggap sebagai penduduk negara yang mempunyai hak sama (Muwathinun). Tetapi dalam konteks teologis, kafir tetap berlaku.
Respon dalam tubuh NU sendiri juga positif. Hal ini yang saya rasa unik dari NU, ada NU Garis Lurus, Garis Lucu, bahkan mungkin yang baru, NU Garis Bengkok. Sebagai Nahdliyin, saya menganggap hal itu wajar terjadi di tubuh NU (karena sebagian orang masih suka kagetan) yang membuat perkembangan di dalamnya senantiasa progresif. Sejak era Gus Dur, NU terpecah menjadi dua haluan: Arus Islam Moderat Baru—meminjam bahasa Mas Mohammad al-Fayyadl, dan Islam Moderat Salaf. Hasil Munas NU kemarin merupakan hasil pandangan-pandangan IMB (Islam Moderat Baru) pimpinan KH Said Aqil Syiraj dan ketua LBM pusat, Abdul Muqshit Ghozali. Gagasan IMB berdasarkan pada pemahaman bahwa Indonesia adalah Dar al-Salam, bukan Dar- Islam yang masih dipegang oleh IMS (Islam Moderat Salaf). Berbeda dengan IMB, mereka tetap berjibaku untuk tetap memberlakukan bahasa muslim dan kafir di Indonesia sebagai Dar Islam. Kedua haluan ini juga berbeda pandangan dalam melihat ilat dari penyebutan kafir, apakah diukur dengan as-Salam atau al-Harb. Ala kuli hal, kegaduhan di dalam NU adalah hal yang biasa, NU secara kultural baik-baik saja. Meski saya menyayangkan sebagian IMS yang terlalu frontal dalam mengkritik KH Said Aqil beserta rombongan IMB-nya.
Qodiyah Takfiri dan Tantangan Abad 21
Sudah maklum bagi saya, ketika halauan IMB dalam NU terus memberikan trobosan dalam menjawab berbagai tantangan abad 21, dengan berdasar “Wa al-Akhdu bi al-jadid al-Ashlah”. Fenomena terorisme di dunia beberapa dekade terakhir, jelas berakar dari kecenderungan ektremis-radikalis seseorang. Qodiyah takfiri yang dulu ada pada Khawarij, tumbuh kembali di abad 21 atas nama khilafah, ideologi al-Hakimiyah, serta menjadi dasar-dasar terselubung dari terorisme di dunia. Tragedi kemanusiaan bom bunuh diri yang sudah membuat tangis berdarah-darah, tak bisa diatasi di Timur Tengah. Bahkan, ISIS diam-diam sudah memiliki banyak cabang di banyak negara, lebih-lebih kawasan Timur Tengah. Misalnya tragedi bom Paris, Surabaya, hingga bom di Giza Mesir. Darah kafir bagi mereka halal dibunuh, entah kafir sungguhan, atau muslim yang tidak sepaham dengan mereka. Membunuh kafir ini bagi mereka adalah jihad, bunuh diri akan mendapat jaminan surga beserta bidadarinya. Dari sini, saya rasa bahaya laten orang yang suka bilang “kopar-kapir” (baca-mudah mengafirkan) sudah tak terbantahkan lagi.
Bahaya laten Takfiri inilah yang kemudian menjadi tantangan NU, dan tanggung jawab Ahlusunah secara umum di abad 21. NU sebagai perwakilan mayoritas Suni di Indonesia saya rasa sudah tepat mengambil keputusan dalam hasil Munas kemarin. Tantangan Islam di abad 21 adalah bagaimana menghadirkan wajah Islam toleran dan damai. Islam harusnya turut menyongsong perdamaian dunia, serta menyelesaikan tragedi-tragedi kemanusiaan—seperti konflik Palestina, Rohingya, dan muslim Uighur di China. Hal ini juga yang termasuk tengah diperjuangkan oleh Grand Syekh al-Azhar, Syekh Ahmad Thayib dalam kegigihannya menyebarkan dakwah serta penyebaran Islam moderat ala al-Azhar di seluruh dunia.
Di dalam buku Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, Syekh Thayib sangat menekankan peran Ahlusunah untuk menjawab persoalan kemanusiaan modern. Moderatisme Ahlusunah yang tidak mengafirkan siapapun, selama masih dalam ahlu al-Kiblah sangat berperan dalam menekan arus radikalisme-ektremis. Dari situ, saya rasa Ukhuwah Wathaniyah merupakan misi besar NU yang tersirat dari hasil Munas, untuk mengganti lafadz kafir menjadi non-muslim. Sama seperti al-Azhar, tujuan NU adalah untuk menekan akar dari radikalisme; yaitu Takfiri, yang kemudian akan bisa menyongsong Indonesia yang damai dan lebih toleran di masa depan.
Peran NU kemudian diharapkan tidak hanya untuk Indonesia, akan tetapi untuk seluruh umat Islam di dunia demi menyongsong peradaban Islam yang damai dan toleran. Sebagaimana harapan Syekh Thayib terhadap eksistensi Ahlusunah, “Ahlusunnah wal Jama’ah tidak hanya hadir untuk menjaga persatuan umat dari perpecahan, serta menjaga tradisi dan pemikiran di dalamnya, bahkan ia juga menjadi akar yang membangkitkan peradaban umat Islam di masa depan.” Semoga!
Esai ini telah terbit di Jawa Pos, Radar Bromo, pada Ahad, 31 Maret 2019.