BukuResensi

Dalîl al-Muslimîn ila Tafnîd Afkâr al-Mutatharrifîn; Upaya Darul Ifta Meredam Radikalisme dari Akar

Radikalisme menjadi salah satu topik perbincangan yang seru dan tidak pernah basi. Selalu ada celah untuk mengaktualkan perbincangan ihwal radikalisme. Salah satunya disebabkan paham radikalisme telah mengakar kuat di kalangan penganutnya. Pun mereka memiliki strategi dakwah yang sangat menggiurkan, terutama bagi kalangan anak muda. Oleh karenanya, membincang radikalisme dengan sekadar menyoroti ciri fisik maupun karakteristik keberislaman penganutnya, saya kira sudah tidak lagi mampu membendung paham tersebut. Seperti menyoal penolakan mereka terhadap konsep mahdzab, pengharaman ziarah kubur, tawassul, dan sebagainya.

Dalam upaya deradikalisasi, kita perlu mengidentifikasi akar-akar dari pemikiran mereka, sehingga mampu menghadirkan antitesis yang kuat untuk menyangkal pemikiran mereka. Bukan lagi pertanyaan belaka, apa dan bagaimana kalangan kita (Ahlusunnah wal Jamaah) dalam menyikapinya. Akan tetapi justru dengan memulai dari pertanyaan; bagaimana metodologi mereka dalam istinbath hukum, lalu apa sebab dan dampak dari pemahaman mereka.

Salah satu kitab baru yang mengulas tentang radikalisme dan cukup menyita perhatian adalah Dalîl al-Muslimîn ila Tafnîd Afkâr al-Mutatharrifîn. Kitab yang diterbitkan oleh Darul Ifta (Lembaga Fatwa) Mesir itu termasuk yang menjadi buruan para pengunjung bazar buku di Kairo.

Saya pun lantas membaca kitab Dalîl al-Muslimîn ila Tafnîd Afkâr al-Mutatharrifîn tersebut. Saya membaca bukannya dengan tanpa alasan. Tapi berangkat dari ketidakpuasan seusai membaca al-Mutasyaddidûn Manhajuhum wa Munâqasyah Qadhâyâhum karya Syekh Ali Jumah. Dalam kitab tersebut, Syekh Ali Jumah fokus membahas pemahaman menyimpang mereka terhadap amaliah-amaliah masyhur yang telah diafirmasi keabsahannya oleh al-Azhar. Seperti konsep tabaruk, perayaan hari kelahiran Nabi SAW, ziarah kubur dan sebagainya.

Lain halnya dengan kitab Dalîl al-Muslimîn ila Tafnîd Afkâr al-Mutatharrifîn yang tidak hanya menyoal karakteristik keberislaman kaum radikalis kemudian menyanggah pemahaman itu dengan dalil-dalil Ahlusunnah wal Jamaah. Akan tetapi di dalamnya ada pengulasan mendalam terhadap pemikiran-pemikiran kaum radikalis. Persoalan takfîr, misalnya, dimulai dengan memaparkan definisi secara terminologi dan etimologi diksi kafara, yang kemudian dibenturkkan dengan fenomena takfîr yang terjadi saat ini. Setelahnya, kitab tersebut mengulas sebab-sebab yang mendorong kemunculan kata takfîr tersebut. Di antaranya keterputusan paham kaum radikalis dari turas-turas Islam yang telah dikodifikasi oleh para ulama terdahulu. Pun ketidakpahaman mereka mengenai pembagian kafir akbar dan kafir shagir. Lalu memaparkan dampak-dampak yang timbul dari pemahaman takfîr tersebut. Barulah kemudian mengupas, serta membantah dalil-dalil  yang digunakan kaum radikalis.

Adapun metodologi yang mereka (al-Bâhitsûn bi Dar al-Ifta) tempuh adalah, pertama, menelisik syubuhât yang ada dalam berbagai problematika dan asas-asas penting. Yang mana darinya berpotensi menggiring umat muslim menjauhi kebenaran, serta memunculkan keraguan-keraguan yang berujung pada jurang radikalisme. Kedua, mengklasifikasi berbagai problematika tersebut menjadi dua: Problematika yang berujung pada penyelewengan manhaj istidlâl  yang asasi—seperti pembacaan teks al-Quran dan Hadits yang telah keluar dari jalur al-salaf al-shâlih, dan problematika yang muncul sebagai imbas dari penyelewengan manhaj istidlâl yang asasi tersebut—seperti persoalan takfîr,  terorisme dan sebagainya.

Ketiga, mengkaji setiap pemikiran kaum radikalis secara komprehensif, sebagaimana yang mereka pahami. Kemudian menganalisis pengaruh-pengaruh negatif dari pemikiran mereka terhadap Islam sendiri, maupun terhadap umat manusia. Pun mengulas, serta menyangkal pemahaman mereka. Keempat, menunjukkan pemahaman yang benar mengenai problematika yang ada.

Sayangnya, kitab Dalîl al-Muslimîn ila Tafnîd Afkâr al-Mutatharrifîn ini tidak sampai membahas genealogi pemikiran radikalisme yang tersebar hingga sekarang. Berangkat dari satu fakta menarik yang saya temukan di kitab tersebut, bahwa di permulaan, kitab ini memaparkan konsep pembagian tauhid Ibnu Taimiyyah: tauhîd al-ulûhiyyah, tauhîd al-rubûbiyyah, dan tauhîd al-asmâ wa al-shifât. Yang mana, pembagian tauhid semacam ini pada akhirnya memunculkan orang-orang yang mudah mengafirkan sesama muslim. Seperti menyamakan muslim yang meminta syafaat kepada para Nabi dengan orang kafir yang menyembah berhala, bahwa keduanya sama-sama telah menyimpang dari tauhîd al-ulûhiyyah. Setelah menyajikan gambaran konsep tauhid Ibnu Taimiyyah, kitab ini menelaah dan kemudian membantahnya dengan dalil-dalil Asya’irah.

Lalu, pada kritik terhadap pemahaman takfîr, mereka (al-Bâhitsûn bi Dar al-Ifta) melontarkan kaidah al-yaqîn lâ yazâl bi al-syakk. Bahwa keislaman seseorang tidak bisa dipatahkan hanya dengan sebuah prasangka. Barangkali yang menarik adalah, bahwa mereka justru menukil pendapat Ibnu Taimiyyah untuk menguatkan antitesis mereka terhadap kaum radikalis. Yang mana, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa keimanan seseorang tidak bisa dipatahkan hanya dengan prasangka, tetapi harus berangkat dari bukti-bukti kuat tanpa ada keraguan. Di pembagian tauhid, Ibnu Taimiyyah dibantah habis-habisan, namun sebaliknya di pembahasan takfîr.

Nah, dari sini kita bisa mendapati bahwa dalam menguji sebuah persoalan, mereka (al-Bâhitsûn bi Dar al-Ifta) telah berupaya seobjektif mungkin. Mengingat bahwa Ibnu Taimiyyah adalah tokoh yang masyhur sebagai pelopor gerakan salafisme, barangkali kita sering menggeneralisir pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyyah. Seperti pemikiran Ibnu Taimiyyah seluruhnya sesat, tanpa ada yang bisa diadopsi. Hal ini selaras dengan pernyataan Syekh Ali Jumah, bahwa Ibnu Taimiyyah adalah sosok syekh yang sangat cerdas. Al-Azhar bukan bagian dari kelompok yang mengafirkan atau menilai beliau sebagai seorang fâsik. Hanya saja, al-Azhar menyalahkan sebagian dari pemikiran beliau, dan membenarkan di sebagian yang lain.

Di sisi lain, kita juga bisa menyimpulkan bahwa pemikiran-pemikiran kaum radikalis yang berkembang saat ini tidak seutuhnya mengadopsi paham Ibnu Taimiyyah. Sebab ada poin-poin pemahaman mereka yang tidak selaras dengan pemikiran Ibnu Taimiyyah. Maka, di titik inilah, sangat disayangkan kitab Dalîl al-Muslimîn ila Tafnîd Afkâr al-Mutatharrifîn ini tidak meruntut genealogi pemikiran mereka. Sehingga masih memunculkan pertanyaan; mengapa dan dari mana kaum radikalis mengadopsi pemahaman-pemahaman sesat mereka?

 

Peresensi: Tanzila Feby NA
Judul Buku: Dalîl al-Muslimîn ila Tafnîd Afkâr al-Mutatharrifîn
Penulis: Majmûah al-Bâhitsîn bi Dar al-Ifta tahta Isyrâf  Duktûr Ibrahim Najm
Penerbit: ­Dar al-Iftâk
Tebal Buku: 2 jilid 760 halaman

Back to top button
Verified by MonsterInsights