
Sebagai sebuah film dokumenter, Sexy Killer adalah film dokumenter yang cukup nakal, seksi dan padat berisi. Film ini juga bisa dikategorikan film “panas” karena dipublikasikan di detik-detik akhir jelang Pilpres 2019. Seolah sang produsen sedang mengajak pemirsanya untuk golput dan secara halus memboikot Pemilu 2019. Pemilihan waktu munculnya film Sexy Killer yang sangat mendekati hari pencoblosan agaknya cukup membantu viralnya film dokumenter ini. Selain (tentunya) karena dalam penggarapannya, film ini juga cukup rapid dan faktual. Konon, sampai banyak pihak yang melakukan nonton bareng dan mendiskusikan film karya Watchdoc tersebut. Tidak hanya di Indonesia, film Sexy Killer juga mendapat atensi besar mahasiswa-mahasiswi Indonesia yang sedang belajar di Mesir. Para aktivis mahasiswa Universitas al-Azhar, Kairo Mesir pun menggelar “Nobar dan Jagongan” membincang film Sexy Killer.
Mungkin yang membedakan dengan di Indonesia, nonton bareng di Mesir digelar usai pencoblosan pada 13 April 2019. Sehingga acara nonton yang digelar tidak menyebabkan efek golput yang signifikan. Terbukti dengan tingginya partisipasi pemilu WNI di Mesir yang mencapai 84,39%. Angka yang cukup memuaskan, jika melihat partisipasi dari pemilihan umum tahun-tahun sebelumnya.
Film yang dirilis tepat di hari pertama masa tenang kampanye Pemilu 2019 cukup berhasil menemukan momentum untuk naik dan viral. Tidak lama setelah rilis, penontonnya bahkan sudah bisa mencapai 8,5 juta penonton. Masyarakat pun cukup beragam reaksinya, tapi jika dilihat dari komentator yang meninggalkan jejak di kolom komentar, agaknya cukup banyak yang memutuskan akan memilih golput di Pemilu 2019. Dari pemaparan fakta yang ada, sang sutradara seolah memang sedang menggiring konklusi bahwa kedua calon presiden berikut tim suksesnya sama buruknya. Jadi, ngapain juga kita musti nyoblos. Tidak sedikit juga yang lantas berkomentar pesimis dan baru menyadari bahwa para elite dan pemimpin di Republik Indonesia dari kedua kubu ternyata sama bobroknya.
Di sisi lain, kehadiran film tersebut seyogianya bisa menjadi penetralisir sikap fanatik mayoritas masyarakat Indonesia terhadap pemimpin atau elite di negaranya. Sebab, salah satu kebiasaan buruk mayarakat Indonesia yaitu mudah menerima sesuatu secara mentah-mentah. Imbasnya, begitu melihat film Sexy Killer, sebagian masyarakat menghujat kedua paslon dan merasa frustasi. Karena dari beberapa bagian film, memang menyuguhkan secara jelas dan gamblang perihal keterlibatan elite politik atas kekeacauan di Indonesia.
Agaknya, dampak yang muncul di akar rumput cukup mempengaruhi para penonton untuk memilih tidak memilih alias golput. Sebagian orang yang masih belum menjatuhkan pilihan kepada salah satu paslon akhirnya justru menjadi golput, ia berpikiran bahwa dengan memilih pun akan percuma. Sebab, sejatinya ia tidak akan melakukan apa-apa terhadap kemajuan negeri. Kekecewaannya terhadap elite politik tidak dapat diselesaikan dengan cara memilih kedua pasangan yang ada. Sehingga ia pun lebih memilih untuk tidak bersuara sebagai bentuk apriori dan frustasi.
Hal semacam ini, tidak jauh berbeda dengan kasus menjelang pemilu di Amerika. Film serupa di Amerika menghegomeni banyak orang terdidik di sana hingga akhirnya memilih golput. Puncaknya, Pemilu akhirnya dimenangkan oleh Donal Trump, meski sejak awal ia sangat tidak diperhitungkan. Jika dilihat dari sudut pandang politik, film ini sejatinya sama-sama mengarah pada kampanye. Yaitu kampanye untuk golput. Namun, jika kita berpikir jernih, mestinya kita tidak akan memilih golput. Sebab dengan bersikap golput justru akan menjadikan pemenangnya jatuh pada salah satu pasangan yang berpotensi lebih buruk. Melainkan, tugas kita sebagai rakyat untuk tetap memilih di antara keduanya. Kasus ini bisa kita tarik dalam kaidah fikih, “Idza ta’aaradla al-mafsadatain quddima akhofuhuma.” Dalam artian, meninggalkan yang lebih buruk, ketika keduanya sama-sama buruk. Atau kita bisa mengedepankan kaidah “Akhafu al-dlararain” yakni mengambil opsi yang paling ringan dari dua keburukan yang ada.
Ketika kita memilih untuk golput, sama saja kita membiarkan pemimpin yang terburuk masuk dalam panggung pemerintah. Sementara jika kita mencoba turut bersuara dengan memilih pemimpin, walaupun akhirnya kepuasan mencoblos hanyalah perasaan delusif, setidaknya kita sudah berusaha memperkecil potensi dari munculnya pemimpin yang lebih buruk. Selain itu, ketika seorang pemilih tidak menggunakan hak pilihnya, akan tersisa satu suara yang tidak terpakai. Dan bisa jadi, suara yang tidak terpakai tersebut menjadi peluang terhadap oknum lain yang ingin melakukan kecurangan. Walaupun tidak ada yang terbaik di antara paslon yang ada, setidaknya kita memilih yang paling sedikit keburukannya dan paling banyak keberhasilannya. Meski para elite kita banyak yang bobrok, meskipun pengelolaan batubara masih menyisakan tragedi bagi rakyat, meskipun dari kedua paslon presiden (konon) terlibat di pusaran keburukan yang ada, keputusan untuk golput bukan keputusan tepat. Menurut saya, kita tetap harus tetap memilih dari kedua paslon yang ada. Yakni dengan memilih yang paling ringan keburukannya dari kedua paslon yang ada. Walhasil, mari kita nyoblos, siapapun yang akan menang, semoga bisa membawa Indonesia lebih baik lagi.