
Oleh: Arya Abdul Fattah
Belum lama ini viral sebuah pernyataan sarkastis dan kontroversial dari Maheer at-Thuwailibi yang katanya seorang pendakwah alias ustadz. Sebelumnya, seorang mantan preman bernama Sugi Nur yang (konon) seorang ustadz juga menuai kontroversi lantaran banyak menebar konten-konten kebencian pada isi ceramahnya. Alih-alih mengisi majelis dakwah dengan kajian Islam, keduanya malah terlihat seperti juru kampanye, menebar kebencian, mendiskreditkan pemerintah dan mengajak umat untuk saling membenci.
Tidak heran, citra dai yang umumnya dikenal sebagai sosok alim, arif dan menyejukkan bagi umat perlahan mulai tergerus dengan hadirnya kedua nama tersebut. Belum lagi ekses setelah adanya dai muda antipemerintah yang juga menjadi viral karena ceramah-ceramah sarkastisnya dan lantas dipenjarakan karena terbukti memukuli sepasang remaja. Rasa-rasanya, mereka lebih pantas disebut ustadz abal-abal, ustadz karbitan atau bahkan mungkin sekadar ustadz juru kampanye partai politik tertentu.
Masyarakat umumnya menolak keberadaan dan cara dakwah mereka, persoalan terkait benar tidaknya metode dakwah yang digunakan pun menyeruak. Pasalnya, jika menilik beberapa video dakwah (misalnya) Sugi, cukup sering konten dakwahnya justru diprotes beberapa peserta pengajian yang kebetulan hadir di lokasi. Masyarakat pun mempertanyakan kompetensi mereka dalam berdakwah,“Bagaimana bisa seorang dai yang sudah jelas mengaku tidak berpendidikan dapat memberikan ceramah di acara dakwah?”
Miris memang jika seseorang yang tidak kapabel berdakwah, tapi bersafari ke banyak tempat untuk agenda dakwah. Padahal dalam kitab Manâhiju al-Dakwah al-Islâmiyah, dijelaskan beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang pendakwah. Di antaranya yaitu adanya metode dan harus pula memiliki ilmu. Metode sebagai neraca penilaian bagi pendakwah, tentang bagaimana proses pencarian ilmu agama dan perjuangan belajarnya, sehingga kapabel serta dapat meyakinkan masyarakat bahwa ia memang seseorang yang terpelajar. Lalu syarat ilmu sebagai penguat dari dasar metodologi, agar dapat mengetahui sejauh mana ilmu pengetahuan yang dimiliki dan sedalam apa tingkat penguasaanya.
Dari kedua faktor tersebut, terlihat betapa menjadi seorang dai memerlukan usaha yang tidak mudah. Keharusan memiliki proses belajar dan metode yang jelas, serta dikuatkan dengan modal ilmu yang dalam. Tujuannya agar seorang dai menjadi lebih siap terjun ke medan dakwahnya. Adanya dua syarat tadi juga bisa menjadi filter dan kualifikasi awal kepatutan seseorang layak dilabeli dai atau ustadz. Sebab, saat ini penyebutan dai seperti terlalu mudah didapatkan. Cukup hanya dengan berpenampilan agamis dan banyak mengutip ayat-ayat saat ada di sebuah majelis, seseorang langsung bisa disebut dai atau pendakwah. Imbasnya, kini status dai atau ustadz cukup banyak diisi oknum ustadz abal-abal yang memanfaatkan keuntungan secara sosial ketika sudah dilabeli ustadz.
Bagi seorang pendakwah, adanya kedua syarat tersebut secara tidak langsung menuntut mereka untuk lebih matang mempersiapkan dirinya. Sebab jika tidak, maka dakwah yang disampaikan mereka justru akan mengarah pada kategori gagal dakwah. Pepeling bagi pendakwah ini telah dipaparkan dalam kitab Manâhiju al-Dakwah al-Islâmiyah. Yaitu pertama, dakwah berdasarkan prasangka. Bagi pendakwah yang tidak kapabel, secara tidak sadar mereka akan banyak mengeluarkan kalimat berdasar prasangka. Berucap tanpa kaidah dan rujukan yang jelas, karena memang minimnya pengetahuan dalam modal dakwahnya. Sehingga yang terlontar pun hanyalah ujaran subjektif tanpa dasar.
Kedua, dakwah dengan meniru atau taklid buta. Menggunakan metode ini dalam berdakwah bisa berbahaya. Mengingat pemahaman dasar terkait hal yang ditiru tidak diketahui, sehingga terkesan asal-asalan dalam berdakwah. Seperti pada pengunaan dalil ‘aqli (misalnya) pada video Sugi Nur. Iamenanyakan kecondongan mayoritas hadirin tentang persetujuan terkait Islam Nusantara dengan ucapan, “Anda setuju gak sama Islam Nusantara? Ini sudah dalil namanya. Dalil ‘aqliyah, dalil kearifan lokal”. Berdasarkan suara mayoritas si pendakwah, ia lantas berasumsi bahwa itulah dalil ‘aqli. Sehingga bisa dijadikan senjata untuk menjatuhkan opini lawannya yang berseberangan.
Ketiga adalah dakwah dengan hawa nafsu (emosional). Berdakwah dengan metode ini, kiranya sangat tidak dibenarkan. Melihat posisi pendakwah di sini adalah sebagai teladan bagi jamaahnya, sehingga tidak etis jika si pendakwah mencontohkan perilaku demikian. Apalagi juga disertai dengan beragam hujatan dan makian yang acap kali ikut terucap ketika sesi dakwah berlangsung. Hal ini rupanya sering dilakukan oleh para pendakwah abal-abal tadi. Sangat mengkhawatirkan dakwah yang semacam ini. Menyikapinya, Syekh Ahmad Abdul Hamid ‘Arob menegaskan dalam kitabnya al-Islâm wa al-‘ilm, bahwa “Sesungguhnya hawa nafsu itu menyesatkan manusia dari kebenaran dan ilmu.”
Lemahnya kualitas pendakwah dan tidak adanya filtrasi pernah terjadi pada masa Syekh Musthafa al-‘Arusyi, mantan Grand Syekh al-Azhar. Timbulnya para oknum pengajar, ustadz dan ulama gadungan, membuat beliau mengambil tindakan untuk mempelopori standarisasi ulama sebagai upaya filtrasi dari besarnya ekses bahaya yang akan muncul. Hingga akhirnya banyak masyarakat beranggapan langkah tersebut sangat solutif. Namun tetap saja ada pihak yang kontra, sampai akhirnya pemerintah pun menurunkan beliau dari posisinya sebagai Grand Syekh kala itu. Untuk konteks saat ini, tindakan serius pemerintah subjektif saya sangat dibutuhkan. Misalnya dengan mendorong program kaderisasi mubaligh moderat yang pernah dilaksanakan antara MUI dan Kemenag. Atau dengan program pesantren kilat bagi anak-anak. Dari adanya atensi pemerintah yang bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, semoga ini bisa menjadi filtrasi dan antisipasi terus munculnya para dai atau ustadz abal-abal yang keberadaanya sangat meresahkan. Wallahu A’lam.