Esai
Trending

Bahts al-Masâil; Ruang Ijtihad Konteks Kekinian

Kita sama-sama mengamini bahwa zaman terus berkembang. Dari yang tersier ke inkonsistensi saat ini, pun dari yang semula khazanah klasik ke modernitas. Semua aspek kehidupan bergerak dan berkembang sesuai zamannya; mulai dari teknologi, pemikiran, ekonomi, politik, dan sosio-kultural. Disadari atau tidak, semua gerak-gerik zaman, menuntut eksistensi hukum-hukum fikih. Bukan apa-apa, bukan supaya terlihat lebih agamis atau biar tampak islami, tapi agar hukum fikih benar-benar menjadi rujukan dan solusi atas persoalan yang terjadi.

Jika kita melihat fikih secara epistimologi; di masa Nabi, maka kita akan menemui fikih pada diri Nabi Muhammad SAW. Nabi hadir sebagai satu-satunya sumber otoritas hukum. Setiap persoalan mendapatkan solusinya dengan hanya bertanya kepada beliau. Kenyataan ini menjadi wajar mengingat kesaksian al-Quran yang menyatakan; semua yang menyangkut perkataan Nabi berada di bawah naungan wahyu. Meski dalam beberapa hal, Nabi bersabda ‘Antum a’lamu bi umûri dunyâkum’. Kemudian di masa Sahabat, fikih mewujud sebagai hasil kerja olah ijtihad yang dilakukan secara spontan tanpa mengacu pada kaidah-kaidah. Karena Nabi telah melatih kepekaan terhadap mereka atas sumber-sumber otoritatif hukum (al-Quran dan Sunah). Namun seiring berjalannya waktu, problematika baru mulai bermunculan, sedangkan sang pemilik otoritas telah tiada. Ditambah lagi, kepekaan para Sahabat terhadap sumber otoritatif mulai melemah. Sebagai jalan keluar, di masa inilah ijtihad mulai mengacu pada aturan dan kaidah; yang kita kenal dengan ushul fikih, Imam Syafii hadir dengan magnum opus-nya, al-Risâlah. Sehingga hasil kerja ijtihad benar-benar dituntut menjadi oase di tengah padang pasir permasalahan.

Di titik ini, pertanyaannya adalah: di masa sekarang, apakah ruang ijtihad masih terbuka lebar? Apakah masalah-masalah kontemporer hanya mengutip jawaban yang sudah ada (dalam turâts) atau ijtihad dengan al-Quran dan Sunah? Mampukah seseorang melakukan ijtihad? Sekilas mungkin kita akan mengiyakan pertanyaan-pertanyaan di atas. Tataran paling rendah, kita akan mengingat-ingat keberadaan Dâr al-Iftâ’ di Mesir (Instansi Fatwa Mesir), Bahts al-Masâil (BM) kaum pesantren atau Majelis Tarjihnya Muhammadiyah.

Prof. Dr. Ali Jumah dalam Wa Qâla al-Imâm al-Mabâdi’ al-Udzmâ, menggambarkan metodologi fatwa. Setidaknya ada empat langkah yang mesti ditempuh oleh seorang mufti; pertama, deskripsi masalah. Di sini, seorang mufti dituntut mampu mengurai dan memahami persoalan yang dicari. Uraian dan pemahaman yang detail, yang tidak menimbulkan pertanyaan semacam; ‘bagaimana dan seperti apa’. Kedua, harmonisasi antara masalah dan hukum fikih. Seorang mufti diharapkan bisa mengategorikan persoalannya dengan bab-bab fikih. Ia menimbang-nimbang permasalahan dan kategori hukum, agar tercipta keselarasan tekstual dan kontekstual. Kemudian yang ketiga, ia mulai memperkirakan hukum yang mesti dikeluarkan atas permasalahan tersebut. Dan yang terakhir, tidak lain dan tidak bukan adalah berfatwa.

Yang perlu digarisbawahi dari metodologi fatwa yang dipaparkan Prof. Dr. Ali Jumah di atas, seorang mufti tidak tercipta secara instan dan apa adanya. Kepekaan terhadap teks-teks agama dan realitas, tidak muncul dengan sendirinya. Ia dibentuk dan diusahakan. Tak heran jika Dâr al-Iftâ’ berupaya mencipta hal tersebut melalui ‘sekolah fatwa’. Nah, apakah Anda masih ragu bahwa ruang ijtihad masih terbuka?

Beranjak ke Indonesia. Di Indonesia, kita semua hampir pasti mengenal Bahts al-Masâil (BM) sebagai upaya penyelesaian permasalahan-permasalahan kekinian. Tradisi BM ini menggunakan metode pencarian hukum dengan mengacu kepada pendapat-pendapat ulama klasik melalui diskusi keagamaan.

Secara spontan, mungkin kita akan beranggapan ‘sesederhana itukah BM dijalankan?’ Seakan BM bisa dilakukan dengan hanya membuka kitab kuning genre fikih, langsung bisa menentukan, ini haram, ini halal dan seterusnya. Namun, yang perlu diingat di sini, BM tidak hanya sebagai usaha ‘asal comot’ hukum dari literatur-literatur fikih. Di dalamnya, masih terdapat adu argumen, analisis dan upaya pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan. Seperti hasil BM Maudluiyah di Banjar (27 Feb-1 Mar 2019) yang merekomendasikan penghapusan kata kafir menjadi non muslim silmi (mustawthin).

Mengapa seolah ijtihad belum nampak secara gamblang? Begini. Jika kita menelisik secara detail, metodologi ushul fikih yang digunakan dalam BM (atau bahkan di Dâr al-Iftâ’) itu qiyâs bayânî (analogi eksplikatif). Jadi persoalan mengenai ashl, hukum ashl, illah; Tanqîh al-Manâth, Tahqîq al-Manâth dan Takhrîj al-Manâth serta apa-apa yang dekat dengan qiyâs, saya rasa sudah selesai di tangan peserta BM dan mufti. Sehingga analogi yang diterapkan benar-benar apple to apple. Tidak hanya qiyâs, keduanya juga menggunakan Maslahah Mursalah, Istihsân dan sebagainya. Bukankah ini sederetan metodologi dalam ijtihad?

Terkait BM, mungkin kita akan berapriori bahwa literatur-literatur fikih itu bisa jadi kurang sesuai dengan konteks keindonesiaan dan cenderung abai dengan kontekstualisasinya. Hal ini menjadi wajar karena literatur tersebut menggunakan bahasa Arab, juga eksistensinya terpaut waktu yang cukup lama dengan zaman sekarang. Akan tetapi, titik tekannya di sini adalah usaha penggalian hukum dalam BM, itu tidak main-main, tidak sesederhana yang kita bayangkan. Sebisa mungkin BM mengejawantah sebagai harmonisasi tekstual dan kontekstual, sebagai usaha teks-teks agama bersentuhan langsung dengan realita.

Dari keberadaan dua hal di atas (instansi fatwa dan Bahts al-Masâil), kita agaknya bisa sepakat bahwa ijtihad harus terus dilakukan. Upaya penerjemahan teks, yang kemudian timbul nilai-nilai agama (dan berujung nilai kemanusiaan), seyogianya terus digencarkan. Tentu kita tidak menyempitkan makna ijtihad langsung pada al-Quran dan Sunah. Ijtihad bisa diupayakan melalui literatur fikih, qiyâs, dll. Keberadaan teks-teks agama itu bisa kita hitung dengan jari, terbatas. Ia sudah final dengan wafatnya sang pemilik otoritas teks (Nabi Muhammad). Sementara masalah-masalah baru cenderung meruyak, entah bagaimana jika ruang ijtihad (belum) benar-benar final?

Back to top button