Humaniora

Memulangkan Esensi Berkhidmah

Oleh: Ah. Abid Luqman

Salah satu tradisi yang sangat melekat dalam pondok pesantren ialah khidmah. Khidmah memiliki arti sikap kerelaan murid mengabdikan dirinya kepada sang guru. Melalui khidmah, santri dapat memperoleh keberkahan dalam kehidupannya. Hal tersebut selaras dengan adagium yang terpatri kuat dalam sanubari para santri,“Ilmu diperoleh dengan belajar, berkah dihasilkan dengan berkhidmah, sedangkan ilmu yang bermanfaat adalah buah dari ketaatan.” Dalam praktiknya, setiap daerah memiliki corak berkhidmah berbeda-beda, tetapi substansinya tetap sama, yaitu mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan.

Dalam praktik khidmah di lingkungan pesantren, mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk berkhidmah, biasa dipanggil dengan “abdi ndalem”. Mereka biasanya bertugas untuk memenuhi kebutuhan belajar mengajar di pondok pesantren. Selain itu, mereka bertugas memasak untuk memenuhi kebutuhan primer para santri dan melaksanakan tugas yang diamanahkan demi kelancaran aktivitas santri.

Di balik hiruk-pikuk aktivitas khidmah di pondok pesantren, saya yang berlatar belakang alumni pesantren berulang kali menemukan kejanggalan mengenai proses khidmah di dalamnya. Praktik feodalisme masih tumbuh subur di sana, hal tersebut berkaca pada relasi antara abdi ndalem dengan kiai atau anak kiai (gawagis/nawaning) yang terkadang kelewat batas. Abdi ndalem yang mengerahkan segenap jiwa dan raga untuk keberkahan ilmu, justru dieksploitasi untuk mengurusi hal-hal personalia kiai atau anak-anaknya dengan dalih nanti akan mendapat berkah.

Fenomena pergeseran substansi khidmah bisa kita lihat di sebagian pondok pesantren. Mereka para abdi ndalem terkadang ditugaskan untuk merawat anak-anak kiai, merawat perlengkapan rumah, disuruh membelikan hal-hal untuk memenuhi kebutuhan individual, dan lain sebagainya. Dalam kasus ini, abdi ndalem seolah sebagai pembantu rumah tangga, dan mereka disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkorelasi dengan ilmu pengetahuan, sehingga mengesampingkan tujuan luhur nan sangat berharga, yaitu mencari ilmu. Di lain sisi, para abdi ndalem itu sendiri yang menyibukkan dirinya untuk berkhidmah dengan mengatasnamakan mencari berkah.

Saya sendiri menyayangkan hal tersebut bisa terjadi. Untuk menjawab fenomena yang ada, saya perlu mendudukkan kembali makna dari “berkah” itu sendiri. Secara definisi, makna “berkah” menurut Syekh Raghib al-Ashfahani dalam kitab al-Mufradât fi Gharîb al-Qur’an, ialah menetapnya kebaikan yang bersifat ketuhanan pada sesuatu hal. Dalam kitab al-Furûq al-Lughawiyah, Abu Hilal al-’Askari menjelaskan bahwa di antara makna berkah adalah tumbuh dan bertambah. Dengan definisi demikian, hakikat keberkahan ilmu merupakan hasil dari kesadaran penuh untuk mengamalkan ilmu yang dimiliki, sehingga bertambah kebaikan dalam diri murid. Dengan cakupan makna berkah yang luas, tentu sebagai murid yang berproses mencari berkah harus tetap pada prinsip yang berkaitan dengan proses belajar.

KH Ahmad Bahauddin Nursalim yang akrab disapa Gus Baha’ turut menyikapi polemik pergeseran substansi khidmah. Ia menegaskan bahwa yang paling berhak untuk mengurusi kebutuhan anak adalah orang tua, bukan abdi ndalem atau para santri. Berkhidmah harus berlandaskan ilmu.

Berkaca pada problematika yang ada, semua pihak harus sadar, bahwa seorang murid datang ke pondok pesantren datang membawa segenggam niat sakral, yaitu meraup ilmu pengetahuan. Mengaji, membaca, berdiskusi, dan menulis adalah proses yang harus ditempuh oleh seorang murid. Para pengajar sebagai unsur penting dalam proses belajar, sepatutnya tahu dan memberikan porsi kepada murid untuk mewujudukan tujuan mulia santri dan mengawal niat baik santri untuk tetap pada aktivitas belajar, bukan memanfaatkan tenaga dan waktu murid untuk hal-hal yang non-produktif.

Senada dengan upaya mengembalikan substansi mencari ilmu, Syekh Salim Abu Ashi, seorang ulama Al-Azhar pakar tafsir dan usul fikih dalam beberapa kajiannya berulang kali membeberkan otokritik yang ditujukan kepada para pelajar yang datang ke majelis ilmu dengan orientasi mendapatkan berkah atau ijazah sanad. Beliau menegaskan bahwa proses belajar harus berorientasi memperoleh ilmu, bukan mengharap berkah atau ijazah. Walaupun ijazah termasuk hal yang penting, tetapi harus berbasis dengan ilmu (dirayah). Dalam satir yang tajam beliau mengatakan, “Saya tidak tahu-menahu di dalam ilmu pengetahuan, apa itu tabarruk (berharap berkah)!?” Autokritik ini mengandung makna bahwa ilmu adalah harga mati yang harus diperjuangkan oleh seorang murid.

Aktivitas berkhidmah, atau membantu guru, selain di pesnatren bisa juga kita jumpai dalam lingkungan Al-Azhar. Mereka yang membantu disebut sebagai ahbab, sebutan lain dari para khadam. Sebelum syekh datang, mereka menyiapkan sarana dan peralatan yang digunakan untuk siaran langsung. Ada sebagian ahbab yang menjemput dan menemani syekh menuju tempat talaqi. Biasanya mereka membawakan tas milik syekh. Di saat berlangsungnya talaqi, para ahbab membacakan isi kitab, lalu syekh menjelaskan apa yang dibacakan ahbab. Juga terdapat sebagian ahbab yang mendokumentasikan momen kajian dan merangkum materi yang disampaikan syekh. Setelah kajian, para ahbab akan menandai batas bacaan (maqra’) yang terakhir dibaca oleh syekh.

Selain tugas pada saat kajian, para ahbab juga bertugas untuk mengurusi akun media sosial masyayikh, seperti menyebar pamflet jadwal kajian, proses mengedit video pendek dawuh-dawuh masyayikh. Dengan demikian, khalayak luas dapat leluasa mengakses info-info yang berkaitan dengan kajian masyayikhPraktik khidmah yang seperti ini menunjukkan bahwa khidmah dalam lingkup Al-Azhar benar-benar dalam koridornya, yaitu loyalitas kepada ilmu pengetahuan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Verified by MonsterInsights