Esai
Trending

Bulan Ramadlan; Bulannya Kaum Miskin

Ramadlan merupakan bulan istimewa umat Islam dari beberapa bulan Hijriah lainnya. Beberapa keistimewaan bulan Ramadlan tertera dalam kitab suci al-Quran. Di antaranya karena merupakan bulan diturunkannya al-Quran (al-Baqarah: 185), bulan dimana ada malam Lailatul Qadar (al-Qadar: 1-5) dan bulan diwajibkannya ibadah puasa (al-Baqarah: 183). Di antara beberapa keistimewaan tersebut, saya akan menyoroti perihal ibadah puasa yang menjadi ikon utama dari bulan Ramadlan.

Ibadah puasa merupakan ibadah yang cukup unik dan berbeda dari ibadah-ibadah lainnya. Dari segi muatan ritual, ia tidak memiliki gerakan-gerakan khusus sebagaimana ibadah lain seperti shalat dan haji. Ketika berpuasa, umat Islam hanya diperintahkan untuk menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami istri dari setelah imsak hingga kumandang adzan Maghrib. Sisi rentang waktu, wajib puasa hanya disyariatkan satu bulan penuh selama bulan Ramadlan yang peredarannya hanya satu tahun sekali. Tidak seperti ibadah shalat yang dituntut untuk melaksanakannya setiap hari seumur hidup. Oleh sebab itu, Ibadah puasa Ramadlan dianugerahi oleh Allah SWT pahala dan keutamaan yang besar bagi siapa pun yang melakukannya, sebagaimana Hadist Rasulullah dalam kitab Riyadus Shalihin tentang keutamaan puasa Ramadlan, “Siapa yang berpuasa di bulan Ramadlan dengan iman dan kesungguhan, maka diampuni oleh Allah seluruh dosa-dosanya (H.R. Bukhori dan Muslim).”

Adapun ayat al-Quran yang mewajibkan ibadah puasa Ramadlan tertera dalam surah al-Baqarah ayat 183, “Wahai orang-orang yang beriman telah tertulis bagimu kewajiban berpuasa sebagaimana umat-umat sebelum kamu agar kamu (seluruhnya) bertakwa.” Prof. Dr. Wahbah Zuhayli dalam kitab tafsirnya, Tafsir Munir, menafsirkan bahwa perintah puasa tersebut berlaku oleh seluruh umat Islam tanpa terkecuali, baik kaya maupun miskin. Ditambahkan, ibadah puasa memiliki karakteristik istimewa sehingga Allah menjadikan ibadah puasa Ramadlan milik-Nya seutuhnya, sebagaimana Hadist Rasulullah SAW, “Setiap amal anak Adam adalah miliknya kecuali puasa, sesungguhnya amal tersebut milikku dan aku memberi balasan dengannya.” Imam Qurthubi memberikan komentar mengenai alasan pengkhususan ibadah tersebut, salah satu alasannya karena seluruh kenikmatan dunia seperti makan, minum dan nafsu syahwat diharamkan dalam ibadah puasa.

Dari sini saya memahami bahwa pengharaman makan, minum dan nafsu syahwat saat berpuasa berujung pada sebuah simbol kelas masyarakat; yaitu kaum miskin. Istilah kaum miskin sering disimbolkan kepada orang yang tidak mampu mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Mereka berusaha mati-matian bekerja untuk menyambung hidup, akan tetapi hasil kerjanya tidak sebanding dengan pemenuhan kebutuhannya. Hal tersebut membuat mereka mengurangi konsumsinya; seperti makan, minum dan lain-lain. Jika ditilik lebih jauh, ibadah puasa (seolah) “memaksa” kita untuk bergaya hidup seperti mereka. Merasakan bagaimana menahan lapar, haus dan segala keinginan konsumtif lainnya di bawah terik matahari, selayaknya yang kaum miskin jalani setiap hari.

Tuntutan tersebut diperintahkan oleh Allah SWT kepada umat-Nya selama tiga puluh hari penuh. Bagi si miskin, puasa barangkali bukanlah suatu hal yang perlu dikagetkan, karena sudah menjadi bagian dari hidupnya. Namun bagi si kaya, terkadang puasa merupakan ibadah yang cukup memberatkan bagi mereka, karena telah menghalangi pola hidup konsumtif yang telah menjadi kebiasaan. Salah satu bentuk dari keberatan si kaya saat berpuasa adalah adanya seruan mereka untuk menutup warung-warung makan saat bulan Ramadlan. Memang hal tersebut bersifat seruan atau anjuran untuk menghormati orang berpuasa, akan tetapi bagi saya itu adalah perilaku naif. Mereka yang menuntut untuk menutup warung dengan alasan tersebut, sementara di saat yang sama mereka menunjukkan kelahapan makan di depan mata kaum miskin saat di luar bulan Ramadlan. Padahal penderitaan si kaya selama sebulan tersebut tidak sebanding dengan si miskin yang telah menderita selama hidupnya. Sebuah paradoksal yang memilukan tentunya.

Oleh karenanya, saya menyebut momentum bulan Ramadlan merupakan momen pendidikan bagi siapapun yang tercukupi hidupnya untuk merasakan penderitaan sebagaimana yang dirasakan kaum miskin. Mereka (si kaya) dilatih untuk lebih mensyukuri apa yang mereka miliki dan memiliki kepekaan untuk membantu saudara mereka yang miskin. Selain itu, bulan Ramadlan merupakan bulan persamaan kelas. Jika Karl Max menghendaki persamaan kelas dengan cara mendekonstruksi kelas sosial (borjuis dan proletar) dan menyatukan masyarakat dalam satu bendera yaitu sosialisme kaum buruh. Maka bulan Ramadlan juga mewajibkan seluruh umatnya (kaya dan miskin) untuk berpuasa dan menyatukan mereka dalam satu bendera yaitu masyarakat yang bertakwa. Dengan demikian, jurang antara si kaya dan si miskin dapat sedikit terjembatani melalui momen ibadah puasa Ramadlan.

Wabakdu, bulan Ramadlan dengan segala hiruk-pikuk ibadahnya membuat saya teringat akan doa Rasulullah SAW yang tidak semua orang berani memanjatkannya, “Ya Allah, hidupkanlah diriku dalam keadaan miskin dan matikan aku pula dalam keadaan miskin.”

Back to top button