Editorial
Trending

Belajar dari Kekalahan Barcelona

Kekalahan memang menyesakkan dan menyakitkan. Malam lalu, usai menonton pertandingan Liverpool vs Barcelona, saya jadi merasakan betul rasanya menjadi pihak yang kalah dan tersakiti. Sesak di dada, pusing (tanpa cegukan) dan ngilu di sekujur badan ini. Padahal saya hanya penikmat sepak bola amatiran yang sedang belajar menikmati seni dan filosofi taktik dari masing-masing pelatih klub yang bertanding. Saya juga tak punya saham di klub Barcelona, tidak taruhan dan tidak keluar uang milyaran untuk menjadi orang yang terlibat pertandingan semalam. Saya murni sebagai mahasiswa proletar yang gila bola. Karena kebetulan saya menyukai filosofi tiki-taka atraktif ala Barcelona, jadilah saya pendukung garis keras klub dari Catalan itu. Sayang di tangan pelatih Ernesto Valverde, filosofi Barca itu berubah menjadi cenderung pragmatis, tapi tak apalah. Orang sepak bola bagi saya itu hanya intermeso di sela aktivitas ilmiah sahaya sebagai mahasiswa.

Sebagai seorang yang jarang kalah dalam berkompetisi, menerima sebuah kekalahan itu memang tidak mudah. Butuh perjuangan ekstra. Tak jua semudah membalik telor ceplok setengah matang bagi pemasak pemula. Sebuah pekerjaan yang sebenarnya mudah, tapi jika kurang sabar dan kurang dilatih ya sama jadi susahnya. Butuh kelegawaan, kesabaran dan kebesaran hati yang ekstra untuk bisa menerima sebuah kekalahan atau menerima hasil “gorengan” yang tidak sesuai keinginan. Dan konon memang sudah menjadi tabiat orang yang kalah itu akan mencari-cari alasan logis kenapa bisa kalah. Seperti umpamanya menyalahkan KPU, Bawaslu atau wasit sebagai perangkat pertandingan, menyalahkan pemain atau bahkan menyalahkan strategi kemenangan yang dianggap tak fair. Itu lumrah dan lazim disuarakan pihak yang kalah. Selagi masih konstitusional ya biarkan saja. Barangkali itu satu proses wajib seorang kesatria sebelum mengakui kekalahannya.

Ada yang patut kita contoh dari kekalahan menyakitkan Barcelona semalam, yaitu tidak adanya penggiringan opini dari kubu Barcelona bahwa pertandingan semalam harus diulang, terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, masif dan brutal. Tidak ada juga anjuran dari para petinggi Barcelona kepada supertor garis keras Barcelona untuk memboikot pertandingan atau melakukan People Power; turun ke stadion dan melakukan kerusuhan massal. Bahwa antara pilpres dan sepakbola adalah pertandingan yang beda itu jelas iya. Tapi keduanya sama-sama sebuah pertandingan yang menjunjung sportivitas. Masing-masing ada perangkat pertandingan, ada wasit, ada pengawas dan ada komite hukum di luar pertandingan yang siap menjadi solusi ketika ada kecurangan. Wabakdu, jangan sampai kita sebagai penikmat pertandingan ikut terprovokasi. Jadilah penonton pertandingan yang cerdas. Jangan sampai puasa Ramadlan kita kali ini ternodai oleh hasutan Setan Gundul yang sedang turun ke bumi dan merupa manusia-manusia di sekitaran Prabowo. Ini kata Andi Arief lho…

 

 

Redaksi

Cek Juga
Close
Back to top button