
Oleh: Wilhanul Haq
Bulan suci Ramadlan telah tiba dan melewati minggu pertama, umat muslim di seluruh penjuru dunia menyambutnya dengan suka cita. Begitu juga umat Islam di Indonesia, meski mungkin masih kelelahan usai pesta demokrasi yang menguras pikiran, tenaga, bahkan sampai menumbalkan jiwa raga. Di poin terakhir inilah yang membuat saya lantas prihatin. Hingga terpikir dalam benak saya, apakah pemilu masih pantas disebut “pesta” demokrasi, jika sampai menimbulkan cukup banyak korban jiwa? Masihkah pantas disebut pesta, jika pada akhirnya tidak memberikan kesenangan dan persatuan bangsa? Apalagi jika justru menghasilkan polarisasi, perpecahan, hingga perseteruan?
Dari data terbaru KPU, 10 Mei 2019, jumlah korban meninggal dunia dari penyelenggara pemilu 2019 mencapai 469 orang. Jumlah angka yang tidak bisa dibilang sedikit. Setelah ditelisik lebih lanjut, para petugas yang meninggal ini terdiri dari remaja, orang tua, dan usia senja. Sebagian besar memang di rentang usia 50 hingga 70 tahun. Mereka mayoritas turut melibatkan diri secara sukarela, bahkan tanpa asuransi apapun dari pemerintah. Sekadar demi menyukseskan hajat bangsa tahun ini. Sangat disayangkan jika sampai harus mengorbankan jiwa, apalagi jika sampai pengorbanannya nanti sia-sia belaka.
Penyebab utama yang sudah dikonfirmasi dari pemaparan Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek adalah adanya gangguan kardiovaskular (pembuluh darah dan jantung). Urutan kedua ialah gangguan pernapasan. Kemudian kecelakaan kerja dan faktor terakhir adalah adanya riwayat penyakit seperti diabetes melitus, gagal ginjal dan liver.
Dari uraian data tersebut, sudah sangat selayaknya Pemerintah mengevaluasi agar hal itu tidak terulang di pemilu yang akan datang. Pemerintah juga harus lebih peka dan perhatian, bila perlu memberikan jaminan atas dedikasi setiap warganya, tanpa harus menunggu adanya tuntutan masyarakat. Hal ini agar tidak ada suara-suara sumbang di masyarakat. Saat ini, Pemerintah melalui Kemenkes memang sudah sepakat untuk membentuk tim independen yang terdiri dari Kemenkes dan Asosiasi Ilmu Pendidikan Dokter UI untuk melakukan otopsi verbal terhadap petugas yang meninggal. Namun langkah yang diambil ini terkesan terlambat, sehingga sempat menimbulkan persepsi yang liar di masyarakat. Seperti munculnya berita hoaks yang menyebut bahwa seorang petugas penyelenggara pemilu yang meninggal ternyata diracun. Belakangan setelah beberapa media melakukan verifikasi, berita tersebut ternyata hoaks belaka.
Entah apa yang memotivasi si pembuat berita itu pertama kali, hingga akhirnya berita itu viral di media sosial. Pernahkah kita berpikir bagaimana perasaan keluarga korban melihat kematian saudaranya dipolitisasi demi (misalnya) kepentingan segelintir orang yang mendambakan kekuasaan? Padahal ia membaktikan dirinya jadi petugas penyelenggara pemilu itu karena memang tulus ingin berkontribusi pada hajatan bangsanya. Jikalau tujuannya agar Pemerintah lebih perhatian dengan banyaknya jatuh korban, tentunya bisa dengan cara yang lain, tidak dengan cara menebar hoaks dan fitnah yang justru menyakiti keluarga korban. Dalam QS al-Nur 19 pun sudah diperingatkan, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji (hoaks) itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan akhirat.”
Berlanjut ke hasil real count terbaru KPU yang untuk sementara memenangkan salah satu paslon. Kita sebagai warga negara yang baik harus tetap konstitusional. Semua ada mekanisme hukumnya. Demonstrasi atau unjuk rasa itu boleh. Menuntut investigasi adanya indikasi kecurangan pemilu juga boleh. Mahkamah Konstitusi telah siap menampung dan menindaklanjuti semua laporan kecurangan yang terjadi. Indonesia sebagai negara hukum telah mempunyai mekanisme yang jelas. Tidak perlu ikut terprovokasi ajakan-ajakan dan hasutan mobilisasi massa untuk melakukan aksi people power, aksi boikot pemilu atau mengarahkan negara pada kehancuran.
Dari sini, kita sebagai individu demokratis dituntut untuk berpikir dan dewasa menyikapi fenomena politik yang sedang terjadi. Sebagai pribadi, saya berpikir, apakah seruan itu akan muncul bilamana hasil pemilihan umum berkata lain? Kayaknya kok tidak ya. Soalnya sejak awal narasi dan penggiringan opininya sudah jelas, bahwa pemilu yang ada terjadi kecurangan masif, penyelenggara pemilunya banyak yang mati secara janggal, bahkan diracun, penyelenggaranya tidak becus, paslon yang curang harus didiskualifikasi dan pemilu 2019 harus ditolak hasilnya. Seolah narasi itu dibentuk dan disiapkan sebagai sebuah antisipasi kekalahan yang memang sudah diperkirakan. Bilakah begitu, Allahu a’lam.
Jika melihat realitas jelang pengumuman hasil penghitungan KPU 22 Mei nanti, mayoritas masyarakat sudah menerima dan mengakui hasil pemilu itu fair. Kedua paslon memang mengklaim telah terjadi kecurangan di sana-sini yang merugikan. Namun, tetap ada saja orang yang meragukan para penyelenggara. Entah siapa yang memulai, namun satu yang pasti, tentunya oknum penghasut people power itu adalah orang yang tidak meghendaki adanya kedamaian dalam masyarakat Indonesia. Ia ingin negara Indonesia hancur seperti Suriah atau Libia. Bisa jadi “setan gundul” itu memang pelakunya. Ia memang suka dengan huru-hara dan ambisi berkuasa. Di mana-mana setan memang akan bahagia ketika melihat manusia bertikai dan saling berebut kekuasaan. Tentunya, sebagai warga negara kita harus berikhtiar agar negeri kita terhindar dari kehancuran dan persatuan Indonesia yang menjadi kebanggaan kita tetap terjaga.
Beberapa waktu lalu, beredar video yang berisi seseorang kiai yang mencoba membujuk dan mengintimidasi salah seorang ulama kharismatik asal Rembang, yakni KH. Maimoen Zubair untuk memberikan fatwa penyelenggaraan pemilu telah curang. Terlepas dari fakta bahwa beliau masih kerabat, cara yang dilakukan dinilai masyarakat sangat tidak sopan. Seolah demi menghalalkan tujuan, beliau rela menerabas aturan pakem etika orang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua, apalagi kiai sepuh. Padahal selama ini pesantren sangat terkenal dari sisi etika dan moralitasnya yang tingi. Seolah menguap begitu saja ketika ada tujuan politis dan subjektifnya.
Semoga kita menjadi masyarakat cerdas yang dapat membedakan mana orang-orang egois yang berbuat licik demi mencapai ambisi pribadinya dan mana orang-orang yang tulus dalam berjuang dan berintegritas demi bangsanya. Tak perlu menembak ke segala arah, cukup introspeksi diri dan meningkatkan kepekaan kita dalam memahami perasaan orang lain. Terlebih sekarang ini sedang dalam bulan Ramadlan. Semoga Ramadlan ini bisa menjadi filter yang senantiasa dapat menyaring pikiran-pikiran buruk diri kita dan menyaring mana berita buruk atau ujaran-ujaran buruk yang harus kita hindari. Semoga Ramadlan bisa menjadi medium kita untuk lebih mewarasakan nalar pikir kita dalam menyikapi hasil pesta demokrasi 2019 nanti. Semoga!