
Kabar belum pulang dan hilang kontaknya dirimu semalam sontak membuat saya khawatir dan ada yang berkecamuk di pikiran. Sebab seorang Fatiha yang saya tahu itu tipikal anak salihah yang tidak neko-neko dan tidak berpotensi ‘ngabur’ dari asrama perempuan. Apalagi kawan-kawan dekatmu mulai ramai membuat ‘status’ WhatsApp atau stori akun medsos lainnya itu juga di waktu yang sudah sangat malam. Di atas jam sebelas malam. Nyaris semua yang mengenalmu menyebar berita kehilangan dan perihal belum sampainya kamu ke asrama Muqattam. Padahal kamu pamit dari rumah kawan di distrik Gamik untuk balik asrama itu sekitar jam lima sore. Secara hitungan kasar, engkau sudah harus nyampai asrama sejak sebelum adzan Maghrib berkumandang. Karena hingga malam engkau belum juga pulang, semua yang mengenalmu pun mencari, sambil terus mendoakanmu. Nomor handphone-mu mughlak alias tidak bisa dihubungi. Diam-diam, saya pun berharap kamu sedang sedikit nakal dan terkondisikan untuk menginap di rumah kawan dengan kondisi baterai handphone-mu yang habis. Sehingga memang benar-benar belum bisa sekadar untuk berbagi kabar.
Lama menunggu kabar, tak jua ada kabar gembira terkait keberadaanmu. Kami tambah khawatir dan lebih khawatir lagi. Tepat menjelang tengah malam, di sebagian grup WhatsApp justru sudah ada yang berani menggaransi bahwa engkau telah meninggal dalam kecelakaan sewaktu hendak balik ke asrama. Nyaris semua yang tau langsung syok, sedih dan menebar doa-doa belasungkawa. Saya bahkan langsung lemas, syok, sedih dan masih tidak mau percaya. Sebagian sahabat yang lain pun ada yang marah atas kabar teraktual yang beredar. Barangkali ia marah karena masih belum bisa menerima dan mencoba melawan kabar duka yang belum ada bukti nyatanya. Selagi belum ada rilis resmi dari KBRI atau pihak yang berwenang, ia masih berharap Mbak Fatiha bukan korban yang tertabrak kendaraan di area Muqattam itu. Saya sangat memahami perasaan yang semacam itu.
Menjelang pukul 2 dini hari, pihak-pihak terkait sudah memastikan saudari Fatiha meninggal dalam kecelakaan sewaktu pulang menuju asrama. Sebuah kabar yang membuat kami (keluarga Bedug) yang sedang berkoordinasi dan mendoakan engkau segera ketemu pun lemas, terpukul dan kehilangan selera santap sahur. Bagi kami keluarga Bedug, almaghfurlah Fatihatun Nahdliyyah adalah keluarga kecil di tanah perantuan ini. Kekeluargaan di lingkup Bedug media memang kami bangun dan kami pupuk sebagai landasan soliditas dan loyalitas. Kami sangat syok dan kehilangan. Begitu juga semua orang yang dekat dengan almarhumah. Kami memang bukan satu-satunya pihak yang kehilangan dan menganggap almaghfurlah sebagai keluarga. Ia aktif juga di KSW, Fatayat dan SAS Center Pcinu Mesir. Tapi setahun lebih kami bersama merawat, mengembangkan dan membesarkan Bedug dari nol hingga akhirnya bisa seperti sekarang tentu saja berkesan mendalam. Relatif singkat tapi ya sangat berkesan. Sungguh berkesan mendalam dan menyisakan perih di ruang hati terdalam. Perasaan perih ini barangkali muncul karena harus rela melepas dan ditinggalkan salah satu anggota terbaik keluarga kecil kami. Ia anggota keluarga kami yang penuh dedikasi, salihah, berintegritas tinggi dan insya Allah khusnul khatimah. Saya tahu betul betapa tinggi dedikasi dan amanah dia terhadap tanggung jawabnya. Ketika awal-awal menjadi layouter Bedug, almarhumah berinisiatif menghubungi salah satu senior untuk belajar mendalami Corel Draw dan seputar desain. Padahal tidak ada yang menyuruhnya untuk belajar privat demi untuk meningkatkan skill ‘ndesain’nya.
Terkait luhurnya kepribadian dan kebaikanmu, saya kira postingan semua sahabat yang kehilangan dirimu telah lebih dari cukup sebagai sebuah persaksian atasmu. Saya hanya mengamini dan diam-diam merasa cemburu dengan semua itu. Cemburu dalam konstruksi positif. Cemburu dengan betapa banyak orang yang kehilanganmu, betapa banyak yang perhatian kepadamu, betapa banyak yang mendoakanmu. Engkau meninggal dengan status muliamu sebagai pelajar serta meninggal di bulan Ramadlan yang mulia dan penuh maghfirah seperti sekarang. Engkau yang kabarnya juga rajin mengikuti shalat Tarawih dan dars Subuh bersama Syekh Yusri di masjid Asyraf Muqattam meninggal dalam keadaan berpuasa. Sungguh indah rangkaian aktivitas keseharianmu, hingga hari kepulanganmu. Sebagaimana persaksian para syekh di al-Azhar yang pernah saya dengar dan juga dari keterangan di kitab-kitab, status khusnul khatimah dan syahidah ahli Janah insya Allah menjadi hakmu. Sungguh indah ketentuanmu, kiranya tidak patut lagi kami berlarut dalam kehilangan dan tidak rela mengantarmu menemui Sang Kekasih Sejati di alam sana. Persaksian kakak kelasmu semalam menjadi bekal kami mengantarmu dengan perasaan yang campur aduk tidak karuan. Antara sedih, syok, kehilangan, tapi juga bahagia dengan sedikit cemburu. Bahwa jenazahmu menurut kakak kelasmu yang boleh masuk kamar jenazah itu tersenyum cantik dan menguarkan bau harum yang sulit didefinisikan. Aih, sungguh indah, Mbak. Selamat jalan ya Mbak Fatiha, butiran hangat yang jatuh meleleh membasahi pipi ini turut menjadi saksi betapa campur aduknya kami melepasmu. Kami yang mengenalmu belum begitu mendalam saja sudah begini syahdu, apalagi orang tua dan keluarga kandungmu di Indonesia sana. Hiks, perpisahan melalui kematian memang selalu menyisakan duka mendalam. Namun senyum indahmu di akhir kehidupan fana ini menjadi bekal kami harus rela melepas dan menaburkan doa kebaikan yang tak berkesudahan.