Opini
Trending

Pemberontak dalam Demonstrasi KPU-Bawaslu

Pada tanggal 21 Mei 2019 dini hari, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan Ir. Joko Widodo dan KH. Ma’ruf Amin sebagai pemenang pertarungan politik 2019. Pasangan nomor 01 itu memperoleh suara 55,5 % persen dari total suara nasional. Begitu diumumkan, saya mengira itu merupakan akhir babak dari “perang dunia” kecil di Indonesia, tapi nyatanya justru malah terjadi eskalasi emosi pihak-pihak yang kalah dan merasa dicurangi.

Pada keesokan harinya, 22 Mei 2019, terjadi kericuhan pada aksi unjuk rasa di depan kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di jalan MH. Thamrin, Jakarta. Unjuk rasa diselingi dengan takbir dan orasi politik yang semula damai itu kemudian berujung bentrokan antara massa dengan polisi. Massa yang semula sudah bubar dan pulang dengan tertib tiba-tiba muncul lagi dan menyerang polisi dengan membabi-buta menggunakan batu, tongkat, petasan, hingga bom molotov. Polisi pun tak tinggal diam, setelah upaya persuasif gagal, mereka membalasnya dengan gas air mata, water canon dan menghalau massa yang kian anarkis tersebut.

Dari bentrokan yang terjadi, 6 orang demonstran dinyatakan meninggal, ratusan orang menderita luka-luka. Atas dasar belasungkawa terhadap korban unjuk rasa, Anies Baswedan selaku Gubernur Jakarta menggratiskan biaya rumah sakit, baik bagi yang memiliki kartu BPJS maupun tidak. Selain korban jiwa, kerugian materi juga tak dapat dihindarkan di beberapa titik, seperti stasiun Tanah Abang dan asrama Brimob. Dari hasil investigasi sementara, para perusuh dalam unjuk rasa tersebut adalah massa bayaran dan digerakkan. Pihak polisi mengaku telah mengantongi bukti kuat dugaan tersebut.

Selain ada yang menggerakkan, provokasi di media sosial dengan narasi kecurangan dan keislaman pun cukup meyakinkan, bahkan saya juga hampir percaya. Seolah tampak bahwa Islam dan umat Islam tertindas atas tindakan represif aparat yang kemudian seolah menjadi legitimasi fatwa jihad Ijtima Ulama. Sekarang pertanyaan saya terhadap aksi tersebut adalah apa penyebab dari kerusuhan yang terjadi itu? Bagaimana posisi mereka, sikap kita, serta posisi pemerintah atas mereka?

Narasi Politik
Pertama yang ingin saya bahas adalah kondisi perpolitikan pasca Reformasi untuk mengetahui landscape kekuasaan di Bumi Pertiwi ini. Sejak jatuhnya Presiden Suharto, Prof. Ing. B. J. Habibie selaku pemangku mandat kepresidenan membuka kran kebebasan berpolitik. Partai-partai yang telah di-fusi-kan Orde Baru mulai memisahkan diri mendeklarasikan sebagai partai independen. Dari sini, saya menilai konsep trias politis ala Montesquieu benar-benar terjalankan awal masa itu.

Dalam perjalanannya, saya jarang menemukan (suatu masa) sebuah partai benar-benar mendominasi kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) seperti era Orde Baru yang didominasi Golkar dan ABRI. Terkadang kekuasaan partai A di eksekutif, tapi di legislatif dikuasai partai B dan seterusnya. Semisal di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang notabenenya dari partai Demokrat, Ketua MPR kala itu Taufik Kiemas dari partai PDI-P. Kemudian era Presiden Joko Widodo dari partai PDI-P, saat ini di sisi legislatif dipimpin oleh Zulkifli Hasan dari PAN selaku Ketua MPR. Melalui informasi tersebut, saya meyakini bahwa dalam perumusan kebijakan tetap terdapat pertarungan yang sehat dan tidak ada hegemoni satu partai.

Nah, persoalannya sekarang adalah munculnya kubu yang menamai dirinya Gerakan Kedaulatan Rakyat (GKR) yang selalu memunculkan narasi seolah di era Jokowi ini sangat mirip dengan era Suharto. Jokowi dan partai PDI-P ditampakkan sebagai partai tunggal yang menghegemoni seluruh kebijakan negeri ini dan partai-partai yang lain tunduk di bawah perintahnya. Apalagi ditambah informasi-informasi tentang fakta kader partai PDI-P dan darah PKI yang mengalir dalam diri Jokowi, itu membuat masyarakat semakin yakin bahwa negeri ini dalam bahaya.

Memang, usai kasus penistaan agama oleh Ahok, isu agama menjadi suatu hal yang sangat sensitif dan rawan menimbulkan konflik, khususnya di tubuh Islam. Apalagi tidak lama setelahnya, Presiden Joko Widodo berani membubarkan organisasi Islam HTI dan tidak membagikan kursi kekuasaan eksekutif ke partai Islam PKS. Hal ini menambah bara api kebencian dan sentimental terhadap pemerintah terus dikobarkan di media sosial selama 4 tahun belakangan.

Opini-opini publik tersebut disebarkan secara gradual dan terus-menerus dan akhirnya mengalahkan segala macam fakta dari media massa konvensional. Kondisi tersebut biasa dijuluki dengan Post-truth di mana opini publik dapat mengalahkan sebuah fakta melalui kuantitas pendukung informasi bukan dengan kualitas informasi. Selama 4 tahun, opini publik tersebut cukup dapat meyakinkan massa yang cukup banyak, khususnya golongan sakit hati, untuk mencaci pemerintahan Jokowi. Puncaknya, kebencian dan perasaan sentimen yang ada lalu digiring untuk mendukung oposisi.

Tak bisa dimungkiri, di era Jokowi terdapat pihak-pihak yang terzalimi akibat kebijakan pembangunan Jokowi. Sebut saja (misal) Kulon Progo, Kendeng dan lain-lain yang tanahnya diambil paksa untuk pembangunan jalan tol dan bandara. Di tambah adanya pemaparan film Sexy Killers yang membeberkan “fakta” pertambangan yang merugikan rakyat sekitar Kalimantan. Akan tetapi, jika tuduhannya sampai seperti yang tertera di atas, saya rasa itu keterlaluan, termasuk menyamakan era Jokowi dengan Orde Baru.

Dari keseluruhan pernyataan di atas, saya melihat ada kesengajaan dari oposan yang membenci Jokowi, mengeksploitasi opini publik dan memanipulasi kondisi perpolitikan saat ini demi meraih panggung istana atau bahkan mengganti ideologi bangsa.

Puncak Acara
Setelah berhasil menggalang kebencian, mereka menginginkan klimaks dari seluruh perjuangan mereka yaitu Pemilu 2019 sekarang ini. Narasi-narasi kekuasaan absolut Jokowi dan PDI-P diperlihatkan seolah dapat mengatur pemilihan anggota KPU demi melanggengkan kekuasaan. Padahal sebagaimana kita tahu pada UU no. 22 tahun 2007 mengenai penyelenggaraan pemilihan umum hanya menetapkan calon anggota KPU yang sudah di-screening oleh Tim Seleksi (pasal 14) yang kemudian diajukan dan dipilih oleh anggota DPR (pasal 15).

Sejak sebelum pemilu, selama proses pemilu, hingga saat penghitungan suara, isu-isu kecurangan ditebarkan untuk melucuti legitimasi hukum KPU dan pemerintahan sekaligus. Setelah terlihat gagal dalam mempengaruhi KPU untuk melakukan pemilihan ulang atau mendiskualifikasi lawan, mereka akhirnya mengerahkan massa atas nama people power yang belakangan bermetmorfosa menjadi GKR untuk melakukan separatisme seperti tanggal yang disebutkan di atas.

Kalau gerakan ini memang berasal dari rakyat sepenuhnya, menurut saya MPR dan DPR tidak akan tinggal diam dan segera melakukan sidang istimewa untuk menjatuhkan presiden sekarang. Akan tetapi, meskipun dikritik sana-sini, pemerintahan tetap berjalan seperti biasa hingga akhir. Dari sini, saya tidak melihat adanya legitimasi untuk menganggap pemerintahan saat ini zalim sepenuhnya.

Setelah melihat bukti-bukti tersebut, saya berani berpendapat bahwa justru mereka (kaum oposan) yang dapat dikategorikan sebagai pemberontak atau dalam bahasa Islam disebut dengan bughot. Prof. Dr. Wahbah Zuhayli dalam kitab “Mausûah al-Fiqh al-Islâmi wa al-Qadlâyâ al-Mu’âshir” jilid 12 mengategorikan kejahatan bughot sebagai kejahatan yang memiliki dampak kerusakan sangat besar (akhthoru al-fasâd). Mereka berusaha meruntuhkan legitimasi pemerintahan yang sah secara syariat dengan alasan zalim sepenuhnya. Menurutnya, dalam menghadapi bughot terdapat tiga cara. Pertama, jika mereka tidak mempunyai kekuatan maka pemerintah mengajak mereka untuk kembali bersatu dalam jamaah. Kedua, jika mereka sudah memiliki kekuatan maka pemerintah memperingatkan dengan tegas untuk kembali bersama jamaah. Ketiga, jika mereka melakukan separatis yang mengganggu keamanan maka pemerintah boleh memukul mundur (dalam konteks buku, membunuh) sampai mereka mengibarkan bendera putih.

Saya rasa pemerintah sudah melakukan seluruh sikap tersebut hingga pada kondisi ketiga pada tanggal 22 Mei 2019. Meskipun tidak harus sampai membunuh karena akan dikenakan kasus HAM, menurut saya aksi tegas memang diperlukan untuk memukul mundur, demi mengurangi kerusakan lingkungan sekitar. Tanpa berpihak kepada 01 atau 02, saya menilai pemerintah telah melakukan hal yang benar untuk menjaga wibawa pemerintahan dengan bertindak tegas kepada siapa pun yang ingin mengguncangkan negeri ini. Bagi pendemo, saya ingin mengatakan silakan koreksi ulang keputusan kalian untuk melakukan aksi tersebut, saya khawatir Anda adalah korban dari ilusi yang dibuat oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk meruntuhkan negeri ini.

Back to top button