
Mungkin banyak yang belum tau tentang Baiq Nuril Maknun. Beliau adalah mantan tenaga honorer perempuan di SMA Negeri 7 Mataram NTB yang dilecehkan secara seksual oleh atasannya, tapi justru dipolisikan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Baiq Nuril dilaporkan ke polisi oleh Muslim, kepala sekolah di tempatnya bekerja karena dianggap menyebarkan rekaman pembicaraan teleponnya dengan Muslim. Pada tahun 2012, Baiq Nuril merekam pembicaraan teleponnya dengan Muslim karena ia merasa dilecehkan melalui telepon. Sebab di telepon itu Muslim kerap berbicara mesum dan menceritakan hubungan badannya dengan perempuan lain yang lantas ceritanya mengarah perbincangan porno ke diri Baiq Nuril. Sebagai bentuk perlawanan, Baiq Nuril merekam pembicaraan cabul sang kepala sekolah. Rekaman itu kemudian menyebar dan berujung pada pelaporan Baiq Nuril ke Polres Mataram pada awal 2017.
Meski bukan Baiq Nuril yang menyebarluaskan, ia didakwa dengan UU ITE karena mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Nuril ditahan 2 bulan, kemudian dituntut 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta oleh jaksa penuntut umum. Namun oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram, Baiq Nuril divonis tidak bersalah dan bebas.
Jaksa penuntut umum yang tidak puas lantas mengajukan kasasi ke MA (Mahkamah Agung) pada 26 September 2018. Akhirnya, oleh MA, Baiq Nuril divonis bersalah dan dijatuhi vonis hukuman 6 bulan penjara serta denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara. Tidak terima dengan keputusan itu, Baiq Nuril menggunakan upaya hukum terakhirnya dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA. Namun, pada Jumat (5/7/2019) MA melalui juru bicaranya menyatakan bahwa PK Baiq Nuril ditolak. Artinya, MA menguatkan putusan bersalah dan pemidaan Baiq Nuril, perempuan yang melawan pelecehan seksual verbal yang dialaminya.
Sontak masyarakat banyak yang mengecam putusan Dr Sri Murwahyuni, sebagai majelis hakim MA karena memenjarakan Nuril. Bagi MA, perbuatan Nuril dianggap telah membuat keluarga besar Haji Muslim malu, karirnya sebagai kepala sekolah terhenti dan kehormatan Muslim dianggap telah dilanggar. Selain itu menurut MA, perekaman yang dilakukan Baiq Nuril terhadap Muslim melanggar hak asasi manusia. Ia juga dianggap telah melakukan perekaman illegal dan menyebarkannya.
Respon masyarakat terbelah menghadapi vonis dari MA itu. Namun mayoritas tidak setuju dan mengecam apa yang telah diputuskan oleh MA. Mayoritas menila MA telah mengesampingkan aspek keadilan buat Baiq Nuril. Padahal Baiq Nuril juga menjadi korban pelecehan seksual verbal dari sang kepala sekolah selama bertahun-tahun. Selama beberapa tahun ia tertekan dan tidak berani melawan secara frontal karena sang pelaku adalah atasannya. Ia hanya bisa merekam percakapan cabul itu sebagai bukti bahwa pelecehan verbal itu benar terjadi, dan ia bukanlah teman spesial pelaku sebagaimana gosip yang beredar di kalangan karyawan sekolah.
Sebelum Baiq Nuril, sudah ada beberapa kasus pelecehan seksual terhadap perempuan di lingkungan mereka bekerja atau beraktivitas. Sebut saja semisal Rizky Amelia yang mengalami nasib hampir sama dengan Nuril, RA justru terancam dipidanakan ketika mencoba melawan aksi pelecehan dari atasannya di BPJS. Di luar keduanya, mungkin masih banyak perempuan-perempuan yang mengalami nasib serupa, bahkan lebih parah. Jika mereka yang mencoba melawan justru nasibnya dipidanakan, sampai kapan kasus pelecehan yang modus operandinya sangat beragam itu bisa diberantas? Terkait kasus Baiq Nuril, publik kini tinggal berharap Presiden Jokowi dan pihak-pihak terkait yang sedang menganalisa kasus Baiq Nuril segera menerbitkan amnestinya.
Redaksi