Opini
Trending

Memaknai Demokrasi Pascapemilu 2019

Pemilu serentak 2019 telah usai. Atsar yang diharapkan dari perhelatan akbar ini adalah kedewasaan anak bangsa setelah menjalani dan menelaah makna tersirat dari perayaan demokrasi lima tahunan tersebut. Baru-baru ini, 13 Juli 2019, masyarakat Indonesia diberi suguhan yang adem pascapertarungan Pemilu yang emosional dan sentimental. Yakni pertemuan antara Pak Jokwi dan Pak Prabowo di stasiun MRT Senayan. Pertemuan yang adem itu sedikit menurunkan tensi dan ketegangan yang telah berjalan setengah tahun lebih. Apalagi ditambah pernyataan “adem” kedua negarawan yang menuai banyak pujian dari masyarakat sekitar, maupun netizen di media sosial.

Dalam pidatonya Pak Jokowi mengatakan, “Tidak ada lagi yang namanya 01 dan 02. Tidak ada lagi yang namanya Cebong dan Kampret, yang ada adalah Garuda Pancasila. Marilah kita rajut sebagai saudara, mari kita hadapi kompetisi global bersama.” Pernyataan tersebut sontak disambut tepuk tangan dari masyarakat yang turut menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Pidato Pak Jokowi kemudian disambung basa-basi dan ucapan selamat dari Pak Prabowo. “Ada yang bertanya, kenapa Pak Prabowo belum ucapkan selamat kepada Pak Jokowi ketika ditetapkan sebagai Presiden periode 2019-2024? Saya katakan, saya ini, bagaimana pun ada ewuh-pakewuh atau tatakrama, jadi kalau ucap(k)an selamat, maunya langsung tatap muka. Jadi saya ucapkan selamat kepada beliau.Jadi kita ini bersahabat dan berkawan. Jika ada beberapa hal kritik-mengkritik dll, itu tuntutat politik. Jadi setelah Pilpres ini, kita adalah anak bangsa dan tetap saudara.” Sebuah pernyataan negarawan yang disambut haru dan tepuk tangan meriah. Apalagi beberapa bulan sebelumnya, keduanya bertarung hebat di kontestasi Pilpres 2019.

Ada pernyataan dari Pak Prabowo yang menjadi perhatian saya. Seperti contoh, “Ya begini nih, Pak, kalau demokrasi. Kita malah disuruh-suruh.” Pernyataan ini muncul setelah masyarakat yang hadir di lokasi meminta kepada beliau untuk berpelukan dan bersalaman kepada Pak Jokowi. Sebenarnya bukan menjadi hal yang penting bagi sebagian orang pernyataan yang nyempil tadi. Akan tetapi, saya tertarik pada pemaknaan demokrasi dalam kacamata pembelajaran sebagaimana diterangkan oleh beberapa ulama. Sekaligus berfungsi sebagai jawaban beberapa pernyataan yang mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang tidak relevan bagi Indonesia dan sangat bertolak belakang dari ajaran Islam. Makanya saya menganggap penting pembasan ini, tersebab itu bisa menjadi tolok ukur kedewasaan kita pascapemilu.

Syekh Ali Jumah dalam kitabnya, al-Bayân limâ Yusyghilu al-Adzhân, menjelaskan secara singkat korelasi antara Islam dan demokrasi. Dalam artian, beliau menaruh perhatian serius dalam sistem pemerintahan yang dianut oleh beberapa negara muslim di dunia. Di sana beliau menjelaskan, bahwasanya demokrasi itu fleksibel. Yakni, sesuai penganut agama masing-masing negara, tidak terpaku pada Islam saja. Dapat kita temui beberapa negara yang menganut sistem demokrasi, namun penduduknya bukan pemeluk agama Islam, semisal Amerika Serikat. Dari sini dapat dipahami, bahwa demokrasi bukan mutlak diterapkan di negara Islam saja.

Kita tidak menafikan bahwasanya demokrasi adalah hasil pemikiran dari beberapa filsuf Barat. Perlu digarisbawahi bahwasanya, Islam tidak serta merta menolak pemikiran Barat secara mutlak. Melainkan ada filtrasi dan pembandingan yang mencoba mengolaborasi pemikiran tersebut. Sebagaimana umumnya, bahwa Islam pascawafatnya Rasulullah tidak memutlakkan sistem perintahan, yang ada hanya pelajaran syûrâ dari Rasulullah dan para khalifahnya. Kemudian setelah masa khalifah, dilanjutkan dengan sistem dinasti atau keturunan antar-khalifah yang berkuasa saat itu. Dengan demikian tidak ada yang mematenkan sistem pemerintahan dalam Islam. Fleksibilitas dan keterbukaan Islam juga tidak berarti Islam miskin tentang masalah politik, melainkan ini bentuk dari pembalajaran bahwa Islam tidak jumud dalam memahami sesuatu.

Beberapa contoh reflektif zaman Rasulullah, terkait dengan keterbukaan Islam terhadap pendapat non-muslim, ialah dengan mendengarkan pendapat Salman al-Farisi untuk membuat parit ketika perang Khandaq. Lalu ada lagi contoh yang lebih urgen, yakni para tawanan perang diminta Rasulullah untuk mengajari menulis dan pembaca para sahabat Rasul. Dari contoh yang telah disebutkan, Islam tidak membatasi adanya pemikiran di luar agamanya untuk ditelaah dan dilaksanakan. Dalam artian, pemikiran yang akan ditelaah tersebut memiliki nilai kebaikan dan tidak mengandung suatu unsur kerusakan di tubuh Islam sendiri. Pun demikian dengan demokrasi, Syekh Ali Jumah berpendapat, bahwasanya demokrasi itu baik dengan catatan dimasuki oleh unsur-unsur Islam yang mengedepankan maqâshid syari’ah-nya. Selama itu dikolaborasikan dengan Islam yang konsisten menjaga hak dan kewajiban manusia secara adil, maka itu dinilai baik.

Dari sini kita memahami, bahwasanya demokrasi bukan mengganti hukum Allah dalam bernegara. Demokrasi yang tercipta oleh sendi-sendi keislaman memunculkan warna baru untuk menentukan hukum dan kedaulatan rakyat yang salah satunya berdasarkan hasil musyawarah. Dan sebenarnya kita tidak menghilangkan musyawarah dalam sistem berdemokrasi, karena musyawarah adalah ajaran Islam dari Tuhan melalui Rasulullah. Melainkan, kita tidak menyerap sistem demokrasi Barat secara mentah-mentah, tersebab umat Islam tidak identik untuk mengikuti sesuatu tanpa adanya telaah mendalam. Jika demokrasi yang terjadi saat ini di Indonesia adalah menjaga hak-hak kemanusian (maqashid syariah), maka demokrasi tersebut telah dikolaborasi dengan nilai-nilai keislaman.

Perbandingan demokrasi Barat dengan Islam adalah, demokrasi Barat membatasi ruang adanya intervensi agama dan cenderung mengarah ke sekuler. Sedangkan, demokrasi dalam Islam lebih luwes untuk mementingkan kemaslahatan masyarakatnya, baik beragama, bersosial dan bermasyarakat. Hal ini mencerminkan bahwa Islam dan demokrasi bukanlah hal yang tidak bisa dikolaborasikan, melainkan ada bentuk ijtihad para pemuka agama terdahulu untuk mengedepankan kemaslahatan masyarakat bernegara. Termasuk Indonesia.

Islam dengan ajaran syûrâ-nya tidak menjelaskan secara mendetail bentuk pemerintahan. Pun di sini kita menyepakati bahwasanya demokrasi Barat merupakan salah satu sistem yang bersifat duniawi saja. Sedangkan Islam mengedepankan maqâshid syariah-nya sebagai jalan untuk menyejahterakan masyarakat. Contoh kecil dari perbedaan antara politik Islam dan demokrasi adalah, Islam mewajibkan kepada pemimpinnya untuk bertanggungjawab di hadapan rakyat dan Tuhannya dalam pengambilan keputusan. Sedangkan demokrasi, mewajibkan pemimpinnya untuk bertanggungjawab di hadapan rakyatnya saja. Dari sini, kita mencoba untuk menemukan titik temu yang cukup relevan di antara keduanya, yakni dijunjungnya hukum walaupun standar keduanya sangat berbeda. Pun keduanya mengedepankan asas bermusyawarah, berkeadilan, kesetaraan antar-rakyat serta memaklumi adanya perbedaan.

Perbedaan dalam berpendapat merupakan salah satu ajaran demokrasi. Seandainya tidak ada perbedaan pendapat, ya berarti manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengeksplorasi pemikirannya di depan publik. Lantas, apa bedanya kita dengan hewan, jika tidak memiliki perbedaan dalam berpikir maupun berpendapat? Ada hikmah di balik perbedaan pendapat di atas, bahwasanya Tuhan menginginkan manusia untuk saling memuliakan yang lain walaupun berbeda pendapat. Sebab sudah jamak dibahas, bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat dan sunah.

Sebagaimana yang dapat saya pahami, bahwasanya poin memaklumi adanya perbedaan adalah salah satu tolok ukur bagi masyarakat yang hidup dalam negera demokrasi. Maksudnya, sistem demokrasi yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat dan mengacu pada suara mayoritas dalam menentukan pilihan, secara tidak langsung mengajarkan untuk tidak kagetan dalam menghadapi perbedaan. Ruh demokrasi yang timbul setelah Pilpres, Pilkada ataupun Pileg menjadi model pembelajaran penting bagi anak bangsa. Bahwa dalam bermusyawarah tidak disangsikan akan menghasilkan pada putusan final dengan adanya perdebatan dan pengajuan ide. Sebagaimana yang jamak diketahui, bahwasanya pengangkatan khalifah Abu Bakr sebagai khalifah setelah Rasulullah melalui perbedaan pendapat yang cukup alot. Akan tetapi, kita dapat saksikan, bahwasanya sahabat yang berunding di sana telah mengajari umat Rasul untuk menghargai perbedaan pendapat dalam pencapaian mufakat. Tidak ada dendam sekaligus saling mengancam, karena yang ada dalam diri Sahabat adalah demi kemajuan Islam dan mengisi kekosongan pemimpin pascawafatnya Rasulullah.

Maknanya, pesta demokrasi yang telah usai setidaknya menjadi momentum pembelajaran bagi kita untuk memaknai demokrasi secara utuh, bukan sepotong-potong. Baik terkait alasan mengapa Indonesia menggunakan sistem demokrasi, peran agama dalam menyempurnakan demokrasi di Indonesia, serta pelajaran dari sistem itu sendiri. Terlepas dari pernyataan Pak Prabowo terkait demokrasi, saya berkeyakinan bahwa peserta demokrasi yang baik akan dapat memahami makna demokrasi secara utuh pascapilpres. Terlebih pesta demokrasi di Indonesia sama-sama bertujuan untuk menjadikan Indonesia lebih baik ke depannya. Perihal ada perbedaan pendapat ya dimaklumi, karena Islam sendiri menyatakan bahwa itu sunah ilahiah yang tidak bisa dimungkiri. Oleh karenanya, pemaknaan demokrasi di negara Indonesia yang mayoritas pemeluk agamanya Islam, tidak sekadar dimaknai secara sempit, bahwa demokrasi yang tercipta di Indonesia ialah murni pemikiran Barat. Tetapi demokrasi yang ada di Indonesia adalah salah satu ijtihad ulama terdahulu, sementara sistem pemerintahan merupakan bentuk ijtihad masing-masing wilayah negara. Dus, mari memahami demokrasi dengan makna yang positif!

Back to top button