Membaca Indonesia dari Kacamata Sosiologi Ibnu Khaldun

Sejak memasuki abad pencerahaan (17-18 M), agama dan modernitas bergelut di Eropa untuk memperebutkan otoritas kebenaran. Rivalitas di abad tersebut kemudian berhasil dimenangkan oleh modernitas (akal) untuk menumbangkan agama (Nasrani). Selang memasuki abad 21, perkembangan dalam Islam menunjukkan hal yang berbeda, sisi progresifitas Islam bisa melampaui arus modernitas. Sehingga dialektika terus berjalan di antara keduanya. Seperti yang dikatakan oleh Sholah Salim dalam bukunya “Jadal al-Din wa al-Hadâtsah,” pergulatan ini berlangsung antara membunuh manusia atas nama Tuhan (terorisme), atau membunuh Tuhan atas nama manusia (sekularisme).
Salah satu upaya perkembangan Islam untuk bersaing dengan modenitas adalah pembacaan kontemporer atas para pemikir Islam klasik. Sebagaimana upaya Nasr Hamid Abu Zayd dalam membaca Ibnu Arabi di situasi abad 21. Tulisan tersebut bahkan ia beri judul yang mirip dengan karangan Nietczhe, “Hâkadzâ Takallama Ibnu ‘Arabi”. Seolah-olah penulis ingin mengatakan, apa yang ditawarkan Ibnu ‘Arabi di Abad dua satu; untuk melawan arus kapitalisme yang menguasai dan menjadi “tuhan-tuhan” baru era modernitas? Nasr Hamid berangkat dari kritik atas modernitas dan abad pencerahan di Eropa. Mula-mula ia mencurigai apa yang dimaksud dengan modernitas oleh Barat? Apa itu pencerahan (Tanwîr)? Sesuai khas pemikir era 60-an ala Marxis, ia kemudian berkesimpulan bahwa modernitas adalah tangan kanan imperialisme yang melahirkan sistem kapitalisme terselubung— yang berhasil merugikan negara dunia ketiga (Asia, Afrika, Amerika Latin). Modernitas adalah agama bagi tuhan-tuhan baru; ideologi kapitalisme dalam monopoli modal dan pasar. Sampai-sampai keadaan ini tepat seperti yang diramalkan oleh Francis Fukuyama, tentang akhir dari sejarah (The End of History). Bahwa tidak ada lagi masa depan manusia kecuali masuk pada ‘surga’ kapitalisme dan bersenang-senang atas kebebasan ‘demokrasi’ di bawah naungan Amerika.
Ibnu ‘Arabi dengan Wahdat al-Wujudnya atau Wahdat al-Adyân-nya bagi Nasr Hamid akan bisa menampilkan sisi lain dari spiritualitas Islam yang masih segar dan relevan untuk melampaui ideologi kapitalisme. Pembacaan Nasr Hamid tersebut, membuat saya ingin membaca Ibnu Khaldun pada abad 21, tetapi pada konteks Indonesia. Filsafat peradaban Ibnu Khaldun, saya rasa relevan untuk kita baca pada fenomena di Indonesia akhir-akhir ini. Analisia sosiologi Islam yang ia bawa bisa kita terapkan untuk membaca sampai mana peradaban di Indonesia hari ini. Kira-kira, apakah Indonesia sudah berperadaban? Lalu peradaban tersebut dibangun atas dasar apa? Dominasi agama, politik, atau ekonomi kah?
Filsafat Peradaban Ibnu Khaldun
Pertanyaan senada dari sini bisa saya ajukan, “Apa yang bisa Ibnu Khaldun tawarkan untuk Indonesia?” Untuk memahami filsafat peradaban Ibnu Khaldun, kita perlu terlebih dahulu mengerti apa itu peradaban menurut Ibnu Khaldun. Kita tentu sudah tidak asing lagi dengan kata ‘peradaban’. Peradaban, atau dalam bahasa Arab disebut “hadhârah” sangat identik dengan kemajuan. Ibaratnya kemajuan menjadi goal –dalam terminologi ilmu logika disebut ciri khusus (al-Khassah)— dari sebuah peradaban. Misalnya ketika menyebut peradaban Iran, atau peradaban Yunani, secara langsung menunjuk pada makna sejauh mana kemajuan terjadi di negara tersebut yang ditinjau dari semua sisi; ekonomi, politik, agama dan keilmuan.
Dari sini, peradaban oleh Ibnu Khaldun disebut dengan “’Umron”, yang pada saat itu juga berarti “urban”. Urbanisme berarti menunjuk pada sistem masyarakat perkotaan-metropolitan, yang menjadi kebalikan dari masyarakat nomadik. Ibnu Khaldun memilih diksi “’Umron” dan tidak memakai kata “Hadharah” untuk menunjuk pada makna ‘embrio’ munculnya suatu peradaban, yaitu kemajuan—sebagaimana definisi di atas. Kemudian, dalam kitab Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa peradaban itu tidak lain adalah transformasi suatu masyarakat dari taraf nomadik (Badui) menuju urban atau metropolitan (Hadhar).
Definisi itu tentu berlaku di masa Ibnu Khaldun, kisaran abad 14-15 M. Juga merupakan hasil analisis Ibnu Khaldun atas peradaban Islam di Masa lalu. Bagaimana ketika kita masuk pada abad 21? Maka konteksnya sekarang adalah berbicara sistem negara-bangsa, dimana berlaku di setiap negara sistem perpolitikan serta batasan-batasan teritorial. Peradaban dari konteks ini bisa berlaku pada suatu negara dalam batasan teritorial, ataupun pada bangsa yang mencakup berbagai negara. Juga bisa dalam bentuk peradaban yang lebih luas cakupannya ketika dibawa atas nama agama. Misalnya ketika menyebut peradaban Islam yang mencakup Islam di negara-negara timur maupun barat. Peradaban dari sini, bisa saya tejemahkan secara lebih luas; tahap final perkembangan suatu masyarakat yang meliputi identitas terluas akan nilai-nilai di dalamnya; agama, budaya, ekonomi, politik.
Dari sudut pandang ini, lantas bagaimana mengukur peradaban Indonesia? Mengukur suatu peradaban, tidak lain adalah upaya menganalisis perkembangan suatu masyarakat. Taraf nomadik, bisa diterjemahkan sebagai masyarakat pedesaan. Kemudian Taraf urban, adalah masyarakat perkotaan. Jatuh bangunnya peradaban menurut Ibnu khaldun adalah tahapan lingkar masyarakat nomadik-urban tersebut. Posisi masyarakat nomadik, tidak bisa dipahami lebih rendah dari masyarakat urban. Akan tetapi keduanya saling berkait kelindan. Meskipun demikian, Ibnu Khaldun mengamini bahwa masyarakat nomadik jauh lebih unggul daripada urban. Masyarakat nomadik ditandai dengan keperkasaan, ketangkasan, dan keagresifan; sedangkan gaya hidup urban ditandai dengan pasivitas, kejenuhan, dan kelambanan.
Realitas perkembangan masyarakat urban dan nomadik, banyak dipengaruhi faktor-faktor internal dan eksternal yang mengarah pada kemajuan atau kemunduran. Mulai dari faktor politik, ekonomi, agama, hingga faktor internal seperti; fanatisme, kepentingan-kepentingan pribadi. Dari sekian faktor ini, masyarakat (pedesaan-perkotaan) di Indonesia dewasa ini menurut saya dominan dipengaruhi oleh faktor politik, daripada faktor-faktor yang lain. Misalnya, pada momentum pemilu kemarin, yang menurut saya berhasil menutupi, menguras, hingga mempengaruhi segalanya; dunia maya-riil, akal-tenaga, hingga korban nyawa. Keadaan ini menurut saya senada seperti yang disebut Ibnu Khaldun sebagai faktor politis, “An-Nâsu ‘Ala Dîn al-Mulk” yang artinya “Sebagian manusia tergantung pada agama penguasa mereka”. Dalam arti perkembangan suatu masyarakat erat didominasi oleh hal-ihwal penguasanya (politik praktis). Bukan hanya dari pemilu kemarin, saya rasa tiap lima tahun sekali, pesta demokrasi di Indonesia akan terus membawa perkembangan masyarakat pada suatu arus-arus yang dinamis; kemajuan-kemunduran.
Indonesia dan Kritik atas Pemilu
Pemilu —sebagai ekpresi politis— di Indonesia, saya rasa akhir-akhir ini sudah terlampau dilebih-lebihkan. Perhelatan pemilu capres dan cawapres kemarin yang telah dipersiapkan sejak sekian bulan yang lalu berakhir di tangan keputusan MK—yang juga lahir atas ketidakpuasan pada KPU, membuat banyak orang lupa pada Indonesia. Mereka sekadar mengukur demokrasi Indonesia hanya pada even pemilu saja. Seperti yang masih hangat dalam memori kita kemarin, gerakan anarkisme –-sebagian menyebut makar— 22 Mei (Demo Bawaslu) yang bukan hanya miris karena nafsu politik, juga mengiris hati karena banyaknya korban nyawa berjatuhan. Saat hasil keputusan MK yang telah disampaikan, masih banyak yang mengungkit-ungkit keadilan atas nama rakyat. Bagi saya ini adalah fenomena nyata atas upaya melebih-lebihakan pemilu.
Demokrasi saya amini memiliki celah untuk terjadinya melebih-lebihkan narasi ‘atas nama rakyat’ pada pentas pemilu. Perpolitikan praktis membawa narasi tersebut, kemudian bersaing di balik kepentingan-kepentingan kosporasi maupun birokrasi. Banyak sekali terjadi perselingkuhan para penguasa dan birokrat, hingga kaum agamawan. Rakyat terus berada di ambang kebingungan dan di tengah berbagai jeratan arus janji-janji politis. Kepolosan mereka lah yang dimanfaatkan (para penguasa) untuk melebih-lebihkan dan mendewakan urusan politik, hingga kita dapati fenomena tersebut dalam arus populisme besar-besaran. Seperti populisme sayap kanan yang mengatasnamakan Islam (212). Ironisnya, di era pos-Truth sekarang, populisme merupakan senjata yang bisa memonopoli kebenaran atas nama massa dan emosi semata.
Keadaaan Indonesia yang didominasi pemilu tersebut menurut saya memasuki fase ketiga perjalanan suatu peradaban dalam kaca mata Ibnu Khaldun. Perjalanan suatu peradaban, menurut Ibnu Khaldun melalui lima tahapan; Pertama, tahapan penaklukan, menunjuk pada kondisi awal suatu negara, dimana penguasa bisa memegang solidaritas kesukuan masyarakatnya untuk membuat negara bersatu. Kedua, tahapan despotisme, saat negara sudah terbangun dan otoritas pemerintahan sepenuhnya berada di tangan penguasa. Ketiga, bersenang-senang atas stabilitas kekuasaan. Menunjuk pada kondisi penguasa menikmati keberhasilan para pendahulunya. Keempat, tahap berfoya-foya dan sikap pasif atas pembangunan. Kelima, tahap bermewah-mewahan, tahapan yang menandai lemahnya suatu negara akibat penguasa yang menghamburkan kekayaan rakyat untuk pribadinya.
Tahapan ketiga di atas, bisa saya bahasakan sebagai tahap perebutan kekuasaan atas nama kepentingan rakyat, ketika dibawa pada konteks Indonesia. Demokrasi Indonesia sekarang memang buah dari era reformasi 98 yang bisa kita banggakan; sebagai keberhasilan keluar dari otoritarianisme. Demokrasi juga merupakan keberhasilan para founding father yang perlu disyukuri. Tetapi saat ini kondisinya berbeda, pemilu yang merupakan pesta demokrasi di saat itu juga menjadi penggerus nilai-nilai peradaban; agama, budaya, hingga intelektualitas. Atas nama pemilu—kepentingan penguasa, semua bisa dikorbankan; nilai nilai agama, tradisi, hingga intelektualitas. Sekali lagi bagi saya, pemilu bukan untuk direvitalisasi lagi kedepannya, tetapi sebaliknya, perlu ada ‘devitalisasi’ pemilu beserta pemain-pemain gelapnya.
Peradaban akan chaos ketika didominasi oleh ambisi politik dan tanpa disertai nilai-nilai agama di dalamnya—cukup lah kita bisa belajar dari ending film Game Of Throne. Seperti halnya intelektualitas tanpa agama akan menjadi buta, begitu juga politik tidak bisa dibiarkan berlaku membabi buta. Ia perlu dirantai oleh intelektualitas (nalar sehat) dan agama (kebijaksanaan). Dari filsafat Ibnu Khaldun, saya ingin bertanya senada dengan pertanyaan Hasan Hanafi pada keberislaman kita hari ini, “Sampai pada titik sejarah manakah peradaban Indonesia sekarang berlabuh?”