Editorial

Jokowi Harus Belajar dari Kekalahan Sadio Mane di Final Piala Afrika

Jumat malam, 19 Juli 2019, pukul 21:00 waktu Kairo, pertandingan final Piala Afrika antara kesebelasan Aljazair vs Senegal digelar di Stadion Internasional Kairo. Hasilnya, Riyad Mahrez dan kawan-kawan berhasil mengantarkan aljazaiar sebagai juara piala Afrika edisi tahun 2019. Penyerang Aljazair, Baghdad Bounedjah mencetak satu-satunya gol yang tercipta di pertandingan puncak itu.

Pada pertandingan itu, penulis mendukung kesebelasan Senegal, dengan alasan bahwa di sana ada Sadio Mane, pemain andalan Liverpool, klub yang penulis sukai. Sakit memang melihat tim yang didukung kalah. Tapi dari kekalahan tersebut, ada pelajaran yang dapat dipetik; bahwa sehebat apapun pemain sepak bola, jika tidak didukung pemain hebat lainnya, dia akan terlihat seperti pemain biasa. Barangkali yang menonton pertandingan final malam itu, akan sependapat dengan hal tersebut.

Sadio Mane, pemain yang sekarang dibandrol dengan harga 200 juta pound itu (sekitar Rp. 3,7 triliun) di pertandingan Final Piala Afrika tidak terlihat seperti saat bermain di Liverpool. Dalam pertandingan itu, ia kesulitan bergerak menerobos pertahanan lawan, sebagaimana saat bermain di Liverpool. Padahal, jika bermaian bersama The Reds (julukan Liverpool), ia sangat lihai dalam mengobrak-abrik pertahanan lawan. Meski dalam laga final itu beberapa kali dia menunjukan skill khas pemain kelas dunia, tapi ia tetap saja kesulitan mencari ruang dan menciptakan peluang.

Mungkin itu bisa dimaklumi, sebab saat di Liverpool, ia didukung oleh pemain-pemain dengan skill yahud kelas dunia. Mulai pemain bertahan seperti Virgil van Dijk, Joel Matip, gelandang Andrew Robertson dan Naby Keita, hingga penyerang Mohamed Salah dan Roberto Firmino. Sedangkan saat bermain bersama Senegal, ia tidak mendapat dukungan pemain yang selevel dengan rekan-rekannya di Liverpool. Sementara sepak bola adalah permainan tim, yang acap menjadi penentu hasil pertandingan adalah faktor kerja sama tim. Dan faktor itu bisa terwujud jika para pemainnya memiliki skill dan kualitas tinggi. Dari sini, bisa diketahui rahasia klub-klub besar Eropa bisa merajai Liga Champions.

Faktor penentu dalam pertandingan sepakbola kurang lebih sama dengan faktor penentu keberhasilan sebuah pemerintahan. Presiden yang pintar, disukai dan dipilih rakyat akan kesulitan menjalankan jabatannya dengan baik jika skill para partner kerjanya (menteri-menterinya) kurang kompeten. Presiden dalam mengelola negara membutuhkan kabinet yang didukung oleh menteri-menteri yang berkualitas, amanah dan mudah diajak kolaborasi. Bahkan walau presidennya sekelas Umar bin Khatab RA, misalnya, jika menteri-menterinya tak berkualitas, niscaya pemerintahannya akan buruk. Apa lagi jika menterinya hasil kolusi, alih-alih manfaat dan kemajuan didapat, justru yang banyak hanya mafsadat. Sebab teamwork negara memang kayak orang main bola.

Oleh karenanya, para pendukung Pak Jokowi jangan gembira dulu, bisa jadi kalau beliau salah mendapat partner di pemerintahannya, nasib beliau bakalan kayak Sadio Mane di Piala Afrika kemarin. Biar nasibnya enggak kayak Si Mane, beliau dalam memilih dan menyusun jajaran kabinetnya harus benar-benar para “pemain” yang skill-nya kelas dunia dan sesuai kebutuhan tim. Jangan sampai hanya demi mengakomodir “kepentingan” timses dan partai pendukung, para “pemain” yang akan bermain di kementerian adalah pemain titipan atau pemain ecek-ecek. Jangan pula demi “nuruti” syarat rekonsiliasi dari pihak tertentu yang proporsinya harus 55-45, Pak Jokowi lantas asal comot pemain untuk masuk di kementerian yang akan bertanding selama lima tahun ke depan.

 

Redaksi

Cek Juga
Close
Back to top button