Bijak Bermedsos ala Ardelt

Menjadi bagian dari warga negara yang menjunjung tinggi demokrasi adalah keberuntungan yang luar biasa. Sebab sistem tersebut memberikan kesempatan penuh kepada rakyat untuk menyampaikan aspirasinya. Baik melalui anggota dewan perwakilan rakyat atau secara langsung. Kebebasan tersebut secara jelas tertuang dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 3. Setiap warga negara Indonesia sudah pasti menyadari hal tersebut. Saat ini, dengan adanya media sosial, ia tak hanya berfungsi sebagai media untuk mencari teman di dunia maya, tapi hampir setiap pemilik medsos memanfaatkannya sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat.
Sayangnya, riuh rendah berpendapat tidak sebanding lurus dengan norma-norma yang ada. Alih-alih memanfaatkan hal yang sudah dijamin konstitusi, malah mereka menjadi gagal paham dengan maknanya. Mereka menganggap bahwa hujatan, cacian, ujaran kebencian, atau bahkan penyerangan secara personal di ruang publik termasuk dalam lingkup kebebasan berpendapat. Mungkin secara rasional, perkara-perkara tersebut memang berada pada lingkup kebebasan berpendapat. Namun, pada hakitkatnya, jauh di lubuk hati, kita menolaknya sebagai bentuk kebebasan berpendapat. Bagaimanapun juga, makna “kebebasan” tersebut telah mengalami distorsi dan disrupsi. Ia tercerabut dari akarnya, raib dan hilang. Salah satu yang menyebabkan hal tersebut adalah alpanya mereka dari sikap bijaksana saat berkomentar di ruang publik.
Kebijaksaan atau wisdom inilah yang semestinya kudu dipupuk oleh setiap individu ketika mereka mencoba untuk menggunakan haknya dalam mengemukakan pendapat di media sosial. Agar medsos tidak tercemari oleh kata-kata kotor, provokasi atau ujaran kebencian, seyogianya warganet harus benar-benar paham dan bijak menyikapi duduk perkara dari setiap masalah yang diresponnya. Sebagai contoh, menyikapi wacana tentang penghapusan pendidikan agama di sekolah. Kabar ini bukan kali pertama mencuat di media sosial. Pada pertengahan 2015 lalu, Musdah Mulia, Politisi PDIP juga sempat melontarkan wacana kontroversial tersebut. Namun, tepat tanggal 04 Juli kemarin, Pendiri sekaligus Chairman Jababeka Group alias Setyono Djuandi Darmono kembali mengungkit perihal penghapusan tersebut usai bedah bukunya yang ke-6 dengan judul Bringing Civilizations Together di Jakarta.
Dirilis dari JPNN, Darmono mengungkapkan bahwa akibat dari dijadikannya agama sebagai alat politik adalah karena ia dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Sebab, dalam menerima mata pelajaran agama, kelas para siswa dibedakan menurut agamanya masing-masing. Sehingga, hal tersebut (bagi Darmono) membuat para siswa merasa berbeda. Meskipun kita mengamini bahwa mereka benar-benar berbeda soal keyakinan, namun, apakah sesuai jika hal tersebut lantas dijadikan alibi dari kerusuhan yang disebabkan oleh politik identitas? Bisa jadi kita (mayoritas) menolak alasan Darmono. Maka tidak mengeherankan jika wacana yang ia lontarkan tersebut banyak mendapatkan kecaman, hujatan, hingga cacian dari netizen. Namun, yang disesalkan adalah etika netizen dalam berkomentar. Sebagian besar dari mereka hanya mengedepankan emosi, serta enggan untuk sejenak mencari tahu lebih dalam perihal wacana tersebut. Jika sekadar memastikan kebenaran wacana tersebut saja enggan, bagaimana bisa mencari antitesa sebagai sedikit bentuk kebijaksaan dalam diri sebelum berkomentar?!
Butuh Kebijaksanaan
Tak dinafikan lagi jika setiap orang membutuhkan kebijaksanaan (wisdom) dalam dirinya untuk menghadapi apapun. Tak terkecuali dalam mengutarakan pendapat. Ardelt (2003) menjelaskan bahwa aspek-aspek dalam kebijaksanaan ada tiga, yaitu: cognitive, reflective, dan affective.
Pertama adalah cognitive atau kognitif. Aspek kognitif adalah pemahaman tentang pemaknaan hidup dan keinginan untuk mengetahui kebenaran. Dalam persoalan wacana penghapusan pendidikan agama di sekolah, maka pada aspek ini yang musti kita lakukan adalah menahan diri untuk tidak berkomentar secara sembrono sebelum mencari kebenaran akan wacana tersebut serta mencari antitesa terhadapnya.
Setelah memastikan bahwa narasi tersebut memang diungkapkan oleh Darmono, maka langkah selanjutnya dalam aspek pertama ini akan berlanjut ke ranah antitesa. Jika ada kemauan untuk menganalisa lebih jauh kabar tersebut, maka akan ditemukan banyak sekali antitesa terhadapnya. Salah satu contoh antitesa yang kuat adalah bahwa penghapusan tersebut tidak sesuai dengan apa yang tertera dalam pembukaan UUD 45 paragraf ketiga, “Atas berkat rahmat Allah,” alasan ini juga dikemukakan oleh MUI, Kemendikbud, Menag, serta para petinggi lainnya. Mereka menyatakan bahwa wacana penghapusan tersebut tidak akan terjadi sebab melanggar konstitusi. Bagaimanapun juga, keterikatan dua entitas, yakni; semangat keagamaan dan nasionalisme adalah pondasi penting kemerdekaan yang tidak mungkin terpisahkan.
Aspek selanjutnya adalah reflective atau reflektif, yakni persepsi terhadap suatu fenomena dan kejadian-kejadian dari berbagai perspektif, serta menghindari penilaian secara subjektif. Aspek ini membutuhkan terpadunya self examination, self awareness, dan self-insight. Atau lebih mudahnya, setiap diri dituntut untuk mampu mengembangkan kesadaran diri biar mampu melihat peristiwa dari sudut pandang yang berbeda-beda. Maka, dalam hal penghapusan pendidikan agama di sekolah, kita tidak hanya melihat pendapat tersebut sebagai sebuah kesalahan dan terus menerus memojokkan Darmono. Dari sudut pandang lain, kita bisa melihat bahwa narasi Darmono telah membuat kita menjadi sadar bahwa huru-hara politisasi agama sudah kian parah. Bahkan sebagai kubu mayoritas yang menentang ketika dipimpin oleh “kaum kafir”, kita terlihat angkuh dengan memperjualbelikan agama demi jabatan. Tanpa menghiraukan bagaimana perasaan minoritas ketika mereka melihat api membakar jalanan sambil diiringi kegaduhan pendemo yang meneriakkan takbir. Di sini, negara seakan-akan hanya milik kaum mayoritas.
Selain itu, dari sudut pandang yang berbeda, setidaknya kita melihat latar belakang dari Setyono Djuandi Darmono sendiri. Siapakah dia sehingga memiliki pemikiran tentang penghapusan tersebut? Selain pendiri sekaligus Chairman Jababeka Group, Darmono juga dikenal sebagai pejuang kebudayaan Indonesia. Bersamaan dengan membangun Jababeka sebagai kawasan industri terbesar di Asia Tenggara pada tahun 1989, Darmono juga memimpin berbagai program wisata dan pelestarian, termasuk situs warisan dunia UNESCO yaitu Candi Borobudur, Candi Prambanan dan Istana Ratu Boko, serta revalitisasi Kota Tua Jakarta. Meski hanya mencomot sedikit latar belakang Darmono dari Wikipedia, paling tidak sebagai seorang budayawan, agak menjadi wajar jika Darmono berwacana tentang penghapusan demi menjaga kestabilan negara.
Aspek terakhir adalah affective atau afektif. Afektif adalah ranah yang berkaitan dengan nilai dan sikap. Dalam tahap wisdom terakhir ini kita dituntun untuk bagaimana memutuskan sikap yang kita ambil setelah melalui langkah-langkah sebelumnya. Sehingga bisa dikatakan, dalam merespon wacana dari Darmono, langkah sebelum memastikan diri ikut campur berkomentar adalah perlunya diri untuk membuktikan kebenaran wacana tersebut. Dilanjutkan dengan mencari antitesa terhadapnya. Kemudian melihat wacana tersebut dari sudut pandang lain, sehingga kita bisa mempertimbangkannya. Jika sudah melalui langkah-langkah tersebut, maka tahap akhirnya adalah kita diharapkan mampu mengambil sikap dengan arif. Apakah perlu kita berkomentar dengan narasi mencemooh, menghujat atau mencerca? Jika sudah bisa bersikap bijak atau arif, diharapkan komentar-komentar sampah tidak akan lagi memenuhi media sosial kita.