Opini

Pindah Agama dan Persoalan Makrifatullah

Status mualaf Deddy Corbuzier sempat menggemparkan jagat dunia maya. Sosok yang akrab dipanggil Om Deddy itu memutuskan menjadi mualaf setelah banyak berkontemplasi dan berdiskusi dengan sejumlah dai. Salah satunya ia belajar Islam melalui KH. Miftah Maulana Habiburrahman atau lebih dikenal dengan sapaan Gus Miftah, seorang dai dan pimpinan Pondok Pesantren Ora Aji, Sleman, Yogyakarta. Usai masuk Islam, Om Deddy mendapatkan berbagai macam tanggapan dari warganet. Baik komentar berupa pujian atau tidak sedikit yang komentar dan cuitannya mengandung cibiran atas keputusannya tersebut.

Sewaktu ditanya alasan berpindah keyakinan, ia menjawab proses mualafnya bukanlah sebuah proses yang singkat. Sebagaimana dilansir dari laman berita detiknews.com (26/6), Deddy mengaku keputusannya memeluk Islam murni atas dasar pertimbangan pribadi. “Yang pasti panggilan hati. Ketika seorang mau mualaf datangnya dari hati, datangnya dari belajar dan itu yang terjadi pada saya. Saya belajar banyak dari orang-orang yang tepat, itu saja.” Urainya di hadapan para wartawan. Ia menegaskan juga pilihannya menjadi mualaf bukan karena ingin menikah, tujuan politis, popularitas atau alasan lain yang lazim terjadi pada seorang artis atau tokoh publik.

Melihat fenomena mualafnya Om Deddy tersebut, sejatinya bagi saya bukanlah hal menarik dan layak dijadikan konsumsi publik. Namun, setiap tokoh publik memang selalu mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat. Oleh karenanya, pemberitaan apapun dari si tokoh, termasuk pindah agama tidak lepas dari sorotan khalayak ramai. Alasan status mualaf tidak selayaknya digembar-gemborkan, sebab pada dasarnya setiap agama mengandung klaim kebenaran (truth claim). Bila satu sama lain saling dipertentangkan, mungkin saja di kemudian hari dapat menimbulkan kesenjangan dan gesekan antar-pemeluk agama. Apalagi yang dipertontonkan hanyalah narasi perdebatan yang mengarah kepada bentuk kebencian, tentu ini dikhawatirkan dapat memunculkan disintegrasi antar-masayarakat.

Bagi saya pribadi, itu sebentuk praktik keagamaan, khususnya dalam segi moral dan keadilan sosial yang selayaknya terejawantahkan di era saat ini. Bukan sekadar tampilan ritual simbolik yang acapkali dipertontonkan oleh oknum politisi atau pegiat media sosial untuk mencapai simpati atau prestise oportunistis semata. Seolah-olah mereka mengerjakan beragam ritual keagamaan itu sebatas untuk menuntaskan kewajiban saja, tanpa menghayati pesan-pesan dari simbol kesalihan yang tersirat secara tuntas. Maka menurut saya, hal yang mungkin bisa menjadi pembelajaran awal bagi Om Deddy adalah selain mempelajari tata cara ritual ibadah wajib, Gus Miftah selaku mentornya juga hendaknya memperkenalkan berbagai cakupan dimensi ajaran Islam yang cukup luas itu.

Boleh jadi, status pindah agama Deddy Corbuzier merupakan berkah bagi umat Islam Indonesia, khususnya bagi kalangan tradisionalis. Gus Miftah sebagai karib sekaligus guru yang mendampingi sedari awal proses kemualafan Om Deddy merupakan gambaran dari kesuksesan dakwah kalangan pesantren. Selama ini kaum santri dinilai kurang kreatif dalam mengembangkan dakwah yang dikenal santun dengan muatan keilmuan yang cukup berbobot. Kehadiran Gus Miftah dapat menjadi angin segar bagi para santri tentang keteladanan, berikut metode penyampaian ajaran Islam yang teduh serta menenteramkan. Sehingga kekhawatiran munculnya perpecahan antar-pemeluk agama dapat dihindari. Karena sedari awal, metode yang disampaikan menjunjung tinggi asas pluralitas dan kebersamaan dalam perbedaan.

Agama, Fitrah dan Teologi Asya’irah
Sebagai makhluk yang dianugerahi keistimewaan berupa akal pikiran, manusia memiliki kecenderungan berpikir untuk membuktikan eksistensi dirinya, berikut lingkungan sekitar. Aristoteles pernah menyatakan bahwa manusia adalah hewan yang bernalar (homo est animal rationale). Melalui kesadaran bernalar itulah manusia dapat membuktikan sebagian dari realitas-realitas yang melintas di jagad raya. Berbekal kesadaran berpikir juga manusia mempunyai kecenderungan untuk meyakini hal gaib yang berada di luar batas kemampuan fungsi panca inderanya. Maka, dari sanalah manusia turut memiliki fitrah beragama sesuai dengan dasar keyakinannya. Tentunya hal itu tidak lepas dari proses pengenalan hingga perenungan mendalam terhadap hakikat ajaran agama yang diyakini mutlak kebenarannya.

Demikian para sosiolog membuktikan bahwa selain manusia memiliki naluri untuk hidup bersosial, kita juga secara fitrah adalah makhluk spiritual (homo religosus). Hal itu sebagaimana diungkap oleh Karen Amstrong, seorang penulis dan peneliti terkemuka dalam bukunya, Sejarah Tuhan. Potensi beragama inilah yang hendaknya kemudian ditindaklanjuti dengan upaya pembelajaran, pengenalan, pembinaan dan penghayatan terhadap sumber-sumber otoritatif ajaran agama. Kemudian bila melihat alasan Om Deddy, bahwa ia melalui proses panjang dalam perjalanan mualafnya, saya rasa ia patut mendapatkan apresiasi. Lantaran disadarinya, perpindahan agama bukanlah perkara mudah, seperti halnya membalik kedua telapak tangan.

Seseorang yang memutuskan menjadi mualaf (misalkan) harus siap dengan segala konsekuensi luar dan dalam. Tantangan terberatnya mungkin saja datang dari pihak keluarga atau kerabat yang menghalangi proses mualafnya. Sebagaimana kita bisa melihat awal perjalanan dakwah Nabi SAW yang acap dijegal oleh pamannya sendiri. Maka, kematangan sikap dan pengetahuan terhadap ajaran agama yang dianut mutlak diperlukan. Lalu, bila melihat sejenak lembaran-lembaran klasik teologi Islam, Om Deddy saya rasa telah melewati fase perenungan. Sehingga ia kemudian mendapatkan kemantapan hati untuk memeluk agama Islam (hidayah). Atau di dalam teologi ala mazhab Ahlusunnah wal Jamaah disebut dengan al-Nadzru fi ma’rifatillah (kontemplasi menuju pengenalan terhadap entitas Tuhan).

Persoalan makrifatullah inilah yang lantas dibahas cukup panjang oleh pakar teologi Islam kenamaan, Imam Abdurrahman al-Iji dalam mahakaryanya; Syarh al-Mawaqif. Secara singkat, kalangan Asya’irah menyatakan, kewajiban penalaran berikut perenungan (al-Nadzr) tentang kekuasaan Tuhan cukup melalui pengetahuan akan dalil-dalil keberadaan Allah SWT secara global (kulli). Pengetahuan itu juga tentunya disertai sikap tunduk dan meyakini akan mutlaknya kebenaran. Saya meyakini, paling tidak proses interaksi yang terjalin sebelumnya antara Om Deddy dan Gus Miftah mampu “menghadirkan” perenungan tersebut. Hingga akhirnya, Om Deddy mendapatkan kemantapan hati untuk mengucapkan kalimat syahadat.

Sekali lagi dari fenomena mualafnya Deddy Corbuzier kita bisa mengambil ibrah. Di antaranya bagi saya pribadi, sebagai motivasi untuk senantiasa mengaji sumber otoritatif teologi Aswaja sebagai pijakan perihal keyakinan mendasar tentang agama Islam. Terutama yang bersumber dari metodologi kalangan Asy’arian sebagai dasar dalam bersikap dan bertindak. Bukan mengapa, lantaran rumusan teologi yang dihasilkan telah melewati penalaran dan penelitian mendalam dari ulama yang memiliki kapasitas serta kapabilitas terhadap tinjauan teks-teks agama. Sehingga buah yang dihasilkan adalah sikap keberagamaan yang mengedepankan prinsip moderat lagi toleran. Lagi pula Imam al-Zabidi dalam Ittihaf al-Sâdatu al-Muttaqîn pernah berkata, “Bila disebutkan kalangan Ahlussunnah wal jamaah, maka yang dimaksudk adalah teologi ala Asya’irah dan Maturidiyah.

Back to top button