Salmafina dan Potensi yang Melingkupinya

Salmafina kembali menjadi perbincangan publik. Dua tahunan lalu, ia diperbincangkan publik dan warganet saat dipinang oleh Taqy Malik pada tanggal 16 September 2017. Ia yang sebelum menikah dicitrakan figur muda gaul penggemar dugem di kelab malam, kemudian berubah menjadi ikon hijabers syar’i atau biasa diistilahkan selebgram hijrah. Ia dielu-elukan “kaum muhajirin” karena berhasil hijrah dan lantas memutuskan nikah muda dengan representasi pemuda hijrah yang dicitrakan saleh dan hafal Quran. Sayangnya, rumah tangga syar’i mereka hanya bertahan seumur jagung. Usai bercerai, publik lantas dihebohkan dengan keputusan Salmafina untuk melepas jilbab. Publik tercengang karena keputusan-keputusan yang diambil itu bertentangan dengan ekspektasi publik, khususnya generasi milenial yang mengidolakannya sebagai representasi pelaku hijrah.
Perpindahan agama memang hal yang tabu dan sensitif untuk dibahas, terlebih lagi karena agama merupakan hal sakral. Tetapi hal ini seolah tidak lagi berlaku di era sekarang. Dimana keberagamaan seseorang tidak lagi menjadi ranah personal, melainkan sudah masuk ke ranah komunal. Apalagi jika menyangkut agama dan keberagamaan orang yang dianggap figur publik. Para warganet dan pemburu berita akan terus mengulik dan mengangkatnya jadi komoditi pemberitaan.
Begitu juga isu perpindahan agama Salmafina dari Islam ke Kristen. Bahkan isu ini lebih ramai dibandingkan dengan isu Om Deddy yang memutuskan masuk agama Islam. Dalam hasil pencarian isu ‘Salmafina pindah agama’ ditemukan 3.520.000 pencarian, sementara untuk isu Deddy Corbuzier hanya 395.000. Perbandingannya hampir sepuluh kali lipat. Dari hasil pencarian, berita mengenai Om Deddy lebih sedikit dan komentar yang ada lebih adem, seperti misalnya ‘mendapatkan hidayah’. Sementara untuk Salmafina, lebih banyak ditemukan komentar negatif, bahkan sarkas.
Dari judul pemberitaan media-media daring pun sudah cenderung negatif. Semisal, pemberitaan “Ibadah di gereja, Salmafina mendadak kabur usai melihat wartawan” (kapanlagi.com), “Usai ibadah di gereja, Salmafina Sunan kabur terbirit-birit”(matain.id) atau “Ibadah di gereja, Salmafina Sunan hindari awak media”(suara.com).
Setelah membaca seputar isu Salmafina yang umumnya berkomentar minor dan negatif, barangkali hal itu dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, karena agama merupakan sesuatu yang sakral dan penting di Indonesia. Keberadaannya sangat diperhitungkan, terutama dalam ruang lingkup sosio-ekonomi-politik. Lembaga survei PEW Research Center menyebutkan bahwa 93% penduduk Indonesia menganggap bahwa agama merupakan hal yang sangat penting bagi mereka. Lebih rendah dibanding Ethiopia yang mencapai 98%, tapi lebih tinggi dibanding Turki yang hanya mencapai 68%. Karena kebutuhan dan tingkat kepercayaan terhadap agama yang tingi inilah, maka urusan perpindahan agama menjadi urusan hajat umat juga. Apalagi jika bersangkut paut dengan keberagamaan tokoh publik atau pemuda-pemudi yang memiliki followers dalam jumlah banyak. Terkesan sangat naif, tapi itulah kenyataan masyarakat Indonesia saat ini.
Kedua, dalam penelitian We Are Social, Indonesia menjadi negara ke lima pengguna internet terbesar di dunia. Dari sisi lain, hasil penelitian Connecticut State University (CCSU) menunjukkan bahwa tingkat literasi di Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Bisa ditebak, dengan tingkat literasi yang rendah, tapi paling banyak kuantitas pengguna internetnya, apa yang akan dibicarakan dan dituliskan warganet menyikapi isu “pembelotan” Salmafina?
Jika mau merunut ke belakang, belum pernah ada cerita Sahabat Nabi yang mengomentari secara sarkas Sahabat lain yang berpindah agama. Ini terlepas realitas pada zaman dahulu belum ada media sosial dan adanya perintah Nabi untuk membunuh orang yang keluar dari Islam. Baik itu keluarnya dengan cara murtad, atau (misalnya) keluar dari Islam usai Nabi menceritakan pengalaman Isra Mikrajnya. Dalam hal ini, tidak ada kesunahan untuk membunuh orang murtad di awal masa kenabian dan tidak juga ada komentar dari Nabi maupun Sahabat terhadap orang-orang yang murtad. Karena kemurtadan murni karena keyakinan dari pribadi masing-masing. Agaknya, upaya yang lebih diprioritaskan pun berupa upaya persuasif dan preventif, bukan represif.
Kembali ke ihwal Salmafina, kiranya tak perlu menyoroti terkait ia adalah ‘Tokoh Hijrah’ yang sempat menjadi panutan generasi milenial, sehingga dikhawatirkan perubahan statusnya akan bisa memengaruhi orang lain. Angap saja ia adalah bukti nyata “bahaya” tren nikah muda dan tren hijrah, serta tren belajar agama secara instan yang sedang marak. Semoga yang ia lakukan bukan akumulasi rasa frustasi dari perwajahan Islam yang ia terima dari Islamnya kaum hijrah. Semoga ia tidak benar-benar pindah agama dan segera menemukan perwajahan dan representasi Islam yang lembut dan ramah. Kalau ia ternyata memang sudah benar-benar memutuskan “hijrah”, ya semoga segera dapat hidayah kembali. Semoga!