Membincang Sistem Zonasi Pendidikan

Sebagai kritik kepada pemerintah yang seakan telah menjadi niscaya, tersebab produk kebijakannya sering kali dinilai tidak bijak bagi sebagian masyarakat. Sebut saja kebijakan yang beberapa waktu lalu mengundang pro kontra, yakni ihwal zonasi pendidikan. Sedianya itu merupakan sebuah solusi yang mulai ditetapkan pada 2018 akhir oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyambut PPDB 2019. Sebagai percobaan, sebenarnya Menteri Muhadjir Efendi telah menerapkan inovasi bidang pendidikan tersebut sejak tahun 2017 lalu.
Meskipun pada tahun 2017 penerapannya masih sekadar coba-coba, sistem ini disempurnakan pada tahun 2018 dalam Peremendikbud Nomor 14 tahun 2018. Hal ini Sebagaimana yang diwartakan media Kompas.com. Ketika zonasi diberlakukan secara nasional pada PPDB 2019 kemarin, reaksi masyarakat berbeda-beda. Namun mayoritas masyarakat, menganggap sistem ini justru mengotakkan serta membatasi opsi dalam memilih sekolah untuk anaknya. Terlebih bagi mereka yang berada di daerah dengan tingkat dan fasilitas pendidikan yang rendah, tentu melancong ke perkotaan dengan fasilitas pendidikannya maju adalah pilihan terbaik.
Alasan penerapan zonasi
Sebelum menerapkan sistem zonasi pendidikan, Muhadjir Effendi beserta Kementerian Pendidikan yang dipimpinnya telah mengaji terlebih dahulu sistem tersebut. Model sistem yang dijadikan contoh pun merupakan negara-negara yang telah maju, seperti Jepang, Australia, Amerika, serta Jerman. Selain demi pemerataan pendidikan sebagai amanat undang-undang dasar, tujuan Muhadjir adalah menghapus sistem favoritisasi sekolah alias sistem sekolah berkasta.
Pandangan masyarakat tentang sekolah favorit atau kasta sekolah perlu diubah. Yang mana, masih adanya mitos anggapan bahwa menyekolahkan anak di sekolah favorit adalah membuka jalan sukses satu-satunya bagi anak mereka. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Muhadjir saat diwawancara Alexander Sudrajat dari Detikcom.
Padahal selayaknya negara lah yang berkewajiban memberikan pelayanan publik kepada masyarakatnya. Maka tidak elok kiranya, bila dalam penerapan pelayan tersebut, terdapat ekslusivitas. Yang mana nanti akan berimbas hanya anak-anak yang pandai dan anak orang kaya saja yang dapat bersekolah di sekolah-sekolah unggulan.
Bila sistem kasta dalam pendidikan terus berlaku, sebagaimana yang dicontohkan di atas, dikhawatirkan ketimpangan pendidikan yang selama ini terjadi antara pendidikan kota dan pedesaan akan terus berlarut tanpa solusi. Jika dalam sistem ekonomi kapitalisme, yang kaya akan semakin kaya, sedang yang miskin semakin melarat. Maka dalam sistem sekolah berkasta ini, kita bakal dihadapkan dengan kumpulan orang-orang kaya berkumpul di satu sekolah dan kumpulan orang-orang miskin berkumpul di satu sekolah lain. Sekolah “mahal” akan menyisihkan mereka yang kurang mampu. Begitupun sekolah-sekolah favorit yang menggunakan standar nilai sebagai syarat penerimaan siswa baru, bakal menyisihkan mereka yang memiliki nilai yang berada di bawah standar. Juga harapan pendidikan pedesaan yang maju semakin jauh, sebab arus urbanisasi akhir-akhir ini pun terus meningkat. Lebih jauh, kita tentu mampu tuk menerka, bila mana hal ini terus dibiarkan. Ketimpangan sosial pendidikan bakal tetap berlanjut di Indonesia. Pertimbangan itulah yang menurut Muhadjir bertentangan dengan amanat UUD 1945, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini, penyamarataan pendidikan.
Akan tetapi, kondisi di lapangan seakan tidak rela dengan perubahan yang mendadak dan besar-besaran, atau istilah Muhadjir; perubahan radikal. Sebab bila yang dicontoh adalah negara-negara maju yang dari sisi fasilitas cenderung merata, maka penyamaan dengan Indonesia tergolog qiyas ma’a al-fariq. Sebab di Indonesia, kebijakan zonasi belum terfasilitasi secara merata di seluruh daerah. Hal inilah yang menjadi problem dan dikeluhkan netizen yang lantas berbondong-bondong memprotes Permendikbud tersebut. Muhadjir berdalih, bahwa fasilitas bakal merata seiring penerapan zonasi yang berkala, namun hal ini tentu beresiko bila berhenti di tengah jalan. Dengan adanya zonasi, tentu di awal-awal, pedesaan atau daerah yang tidak memiliki sekolah favorit mesti merelakan anak-anak cerdasnya sekadar menjadi “tumbal” mengurungkan niat mengenyam pendidikan di sekolahan favorit di luar domisilinya. Dampaknya, bila kebijakan zonasi berhenti di tengah jalan, sekolah yang diwacanakan mendapat suntikan pemerataan fasilitas akan menjadi terhenti. Sedang siswa yang terlanjur menerima PPDB dengan sistem zonasi bakal benar-benar menjadi tumbal kebijakan. Bibit potensial warga daerah yang mestinya dapat bertumbuh dengan benar di sekolah favorit, justru dapat membuatnya layu sebelum berbunga.
Konsistensi dan Evaluasi
Karena bersifat trial and error alias masih dalam masa sosialisasi yang memiliki potensi kegagalan, Permendikbud dengan tujuan mulia ini mesti konsisten dan terus berbenah. Sebab bila tidak, kekhawatiran di atas dengan mudah terjadi. Bila kebijakan yang diambil senantiasa berubah seiring bergantinya penguasanya, kebijakan yang diambil malah tidak akan bijak. Contoh sederhana, bagaimana di era Bambang Sudibyo dulu kita mengenal KTSP, lalu berganti dengan kebijakan Kurikulum 2013 setelah M. Nuh mengeluarkan Permendikbud. Lalu saat Anies Baswedan menjadi menteri pendidikan di era Jokowi, Kurikulum 2013 akhirnya dibatalkan dan mengembalikan KTSP pada posisi semula. Walhasil, kurikulum pendidikannya pun berjalan di tempat.
Hal yang menarik, Permendikbud adalah sebuat peraturan yang walau dibentuk atas dasar dorongan presiden, ia belum memiliki penetapan hukum yang kuat. Dalam hirarki peraturan yang berlaku, Permendikbud tergolong peraturan yang mudah diubah oleh peraturan di atasnya. Seperti yang terjadi pada tahun 2017, dimana Permendikbud yang mengatur hari sekolah sebanyak lima hari, batal dengan adanya Perpres pendidikan karakter yang menuntut hari sekolah selama enam hari berlaku.
Wabakdu, inovasi reformatif Muhadjir Effendi dengan penerapan zonasi pendidikan, bakal bisa menjadi satu dari sekian kebijakan yang tidak bijak ataupun dapat sebaliknya. Semua akan dijawab oleh waktu. Tergantung konsistensi dan evaluasi dari kebijakan tersebut agar terus selalu dikembangkan oleh menteri pendidikan selanjutnya.