
“Berhenti!”
Ia menoleh ke belakang. Kawanan tukang pukul yang mengejarnya tak terlihat, tapi ia mendengar langkah kaki mereka. Ia mencoba mencari tempat berlindung. Ia melihat pohon pinus dan beringin berjejer, daunnya lebat dan saling menutupi. Tapi bersembunyi di atasnya adalah hal yang bodoh. Jika mereka mengetahuinya, mereka akan naik dan menghajarnya, atau bahkan membunuhnya.
Ia terus berlari hingga melihat warung kopi itu. Pada beberapa bagian, dinding warung kopi itu sudah rompal, atap bagian depannya berlubang, ujung tiangnya telah lapuk dikunyah rayap. Ia telah melewati warung kopi itu berkali-kali. Warung kopi itu telah mati, tidak lain karena belakangan ini bermunculan warung-warung kopi baru dengan kemasan baru dan namanya yang kebarat-baratan.
Adul tidak melihat siapapun di sekitar warung itu, ia mulai resah, suara langkah kaki pengejarnya semakin jelas terdengar. Tak jauh dari warung itu ada surau di bawah pohon beringin, ia menoleh ke arah surau. Di teras depan surau tersebut terlihat sandal, rupanya sandal seorang gadis. Suara lantunan ayat suci keluar dari dalam surau. Ia tak punya waktu untuk bertanya-tanya siapa gadis itu, sandal dan gadis itu bisa menjadi penyelamatnya atau bahkan pembunuhnya. Adul berlari menghampiri surau, membuka pintu surau, masuk dan kemudian menutupnya kembali. Di depan Adul duduk seorang gadis menggunakan jilbab putih persegi panjang, rambut bagian dahinya sedikit mencuat tidak tertutupi. Gadis tersebut hampir terpekik, namun ekspresi tangan Adul mengisyaratkan permohonan agar ia tidak berteriak.
Kawanan tukang pukul yang mengejarnya datang tidak lama setelah itu, mereka berteriak memanggil-manggil nama Adul. Adul meringkuk di dalam ruangan kecil tempat menyimpan sapu dan alat pel, sambil menahan napas berharap tikus-tikus yang bersarang di sana tidak kaget karenanya. Dua dari kawanan tukang pukul tersebut melongok ke dalam surau, “Kamu melihat seorang laki-laki berambut gondrong lari ke arah sekitar sini?” Tanya salah satu dari mereka. Gadis dalam surau itu menggeleng dengan polos, menandakan ia tidak tahu apa-apa.
Kawanan tukang pukul tampak yakin, mereka meninggalkan surau dengan menggerutu, menuruni bukit, meninggalkan surau dan kembali ke hutan pinus tempat mereka datang.
“Keluarlah!” kata gadis tersebut. Adul keluar dari tempat persembunyiannya, dengan agak kikuk dan sedikit panik, ia memalingkan muka dan mengintip dari celah bilik, memastikan para pengejarnya memang telah meninggalkan surau. Adul ingin mengatakan sesuatu, tapi mulutnya hanya menganga saja. Perlahan ia berbalik membuka pintu surau, tapi sejenak ia berhenti. Merasa berat hati untuk meninggalkannya.
“Boleh saya tau namamu?” tanya Adul kemudian. Terlontar begitu saja.
———
“Dul, tadi Bos jarwo nanya-nanya saya, sepertinya dia sudah curiga,” Karju masuk begitu saja ke dalam tenda ketika Adul sedang menghitung upah kerja selama seminggu.
“Apa? Curiga?” mendadak Adul pucat pasi.
“Iya, dia nanya-nanya dari mana asal saya, apa hubungannya sama Pak Pram. Sepertinya ada yang membocorkan kalau kita memang bukan saudaranya Pak Pram,” ujar Karju.
Pak Pram adalah pintu masuk mereka bergabung dengan kelompok ini. Adul mengenalnya dua bulan yang lalu melalui media sosial. Adul tidak pernah menceritakan dentitas aslinya kepada siapapun, ia adalah pekerja undercover sebuah perusahaan internasional yang tertarik kepada isu perburuan hewan liar. Dengan latar pendidikan dan idealismenya, Adul dan Karju berusaha mendapatkan pekerjaan ini.
Siapa yang menyangka bahwa kunjungannya ke desa di pinggiran hutan Sumatera ini ternyata adalah salah satu pusat kegiatan perburuan hewan liar. Dengan bantuan Pak Pram, mereka berdua diterima bekerja sebagai penembak jitu. Mereka berhasil menyusup dan mencatat data jumlah hewan langka yang berhasil diburu.
Tiba-tiba sosok tubuh kerempeng menyeruak begitu saja. Ulun, anak Mbok Sri ketua bagian dapur memberi isyarat untuk diam.
“Saya nggak tau Abang berdua ini siapa. Tapi saya tahu abang-abang ini pasti orang baik-baik. Saya menguping pembicaraan Bos Jarwo dengan para tukang pukulnya, kata mereka, kalian ini mata-mata, kalian akan dibunuh secepatnya. Saya enggak mau kalian mati, segera tinggalkan desa ini!” perintah Ulun.
Dengan sigap, Adul dan Karju menyiapkan semua baju mereka, berpamitan kepada Mbok Sri dan Ulun yang menjadi teman mereka selama dua minggu ini. Mereka berlari menembus hutan Sumatera yang lebat dan tidak bersahabat. Sayangnya, mereka tidak dapat mengingat jalan setapak yang mereka beri tanda dua hari yang lalu. Dari kejauhan, suara derap langkah anak buah Bos Jarwo semakin mendekat, mereka berpisah di ujung jalan. Adul merapat ke surau dekat warung kopi berdinding rompal itu.
———
Adul adalah seorang anak bangsawan kopra yang pernah sukses. Usaha ayahnya bangkrut karena ditipu kolega bisnis, semua kemewahan dan kemegahan hancur dalam sekejap. Semenjak itu, ayahnya stroke. Mau tidak mau, Adul yang baru tamat SMA menjadi tulang punggung keluarga dan hidup sederhana.
Adul menunjukan kegemarannya terhadap satwa sejak ia SMA. Adul sering menghabiskan malam minggunya sendiri, berteman nyanyian alam dan angin malam. Bagi Adul, menghabiskan malam minggu bersama kawanan jangkrik lebih keren daripada malam minggu sendirian, karenanya ia tidak pernah merasa jomblo.
Sebenarnya Adul punya alasan valid kenapa ia setia menjomblo. Alasan itu bernama Wafa, nama yang paling sering ia tulis dengan huruf tegak bersambung berdampingan dengan namanya sendiri. Gadis manis bermata bening itu menjadi idaman para guru dan sesama teman karena pembawaannya yang ramah dan suka tersenyum.
Akan selalu teringat di kepala Adul, hari ketika karnaval malam takbiran digelar. Ketika kesenangan melingkupi desa mereka, beduk bertalu-talu digebuk dengan irama berbagai rupa. Ada juga sedikit kasidah menyerupai orkes melayu, bahkan irama di masjid sebelah rumah Adul menggunakan gaya jazz full-swing.
Malam itu, Adul bertanya kepada Wafa, “Apa yang paling ingin kamu lakukan di dunia ini?” Tanya Adul setengah berteriak, suaranya kalah lantang dengan speaker masjid.
“Aku ingin melindungi hewan-hewan langka, kau tau? Indonesia ini kaya dengan berbagai ragam jenis hewannya. Sayangnya, banyak dari mereka yang mulai punah karena kekejaman manusia,” bebernya.
“Kau tahu? Ada begitu banyak kekejaman manusia. Beberapa sengaja membuat berbagai bentuk eksperimen sedemikian rupa untuk dijadikan santapan manusia. Berbagai korporat perusahaan menempuh segala cara demi mengeruk laba bisnis makanan dan kalangan aktivis yang berusaha menciptakan harmoni dengan hewan,” lanjutnya.
Sejak saat itu, ia gemar membahas tentang berbagai ilmu kehewanan, tertarik memperdalam zoologi, mempelajari struktur, fungsi, perilaku, serta evolusi hewan. Puncaknya, ia terjun menjadi pekerja undercover sebuah perusahaan internasional yang tertarik kepada isu perburuan hewan liar dan langkah preventifnya.
———
Selepas karnaval malam takbiran itu, ia bertekad akan memberanikan diri menyatakan cintanya kepada Wafa, setelah seumur-umur hanya berani mengaguminya dari kejauhan. Hari itu, hari setelah karnaval malam takbiran digelar, merupakan hari terakhir sebelum ujian semester pertama. Adul meminjam buku catatan Wafa yang terkenal rapi. Dengan tulisan tegak bersambung paling indah, Adul menorehkan segenap rasa dengan pensil biru 2B yang khusus ia siapkan untuk ujian semester. Buku itu kemudian dikembalikan ke laci meja Wafa dengan hati-hati.
Dengan dada berdegub kencang, Adul menunggu Wafa kembali ke mejanya dan membuka buku catatan. Akhirnya, saat yang dinantikan tiba juga, kata Adul dalam hati. Wafa diam tak bergeming. Tidak ada sepatah kata yang ia keluarkan dari mulutnya. Ia merobek halaman terakhir buku catatanya, lantas membuangnya ke tempat sampah. Setelah ujian semester berakhir, Adul tidak pernah mendapati Wafa kembali ke sekolah. Kabar terakhir yang ia dengar, ia dinikahkan dengan juragan karet kampung sebelah.
Si gadis diam beberapa saat, dan Adul kembali kehilangan keberanian untuk memandangnya lagi, bahkan untuk memandang ujung hidungnya.
“Untuk mendapatkan namaku, aku ingin bertanya padamu, apa yang telah engkau dapatkan dari pekerjaanmu itu?” tanya gadis itu.
Adul semakin bingung, kegiatan yang selama ini ia lakoni tidak ada yang bisa memberikannya pelajaran tentang binatang. Tidak dari kasus perburuan liar yang ia selidiki, juga dari berbagai ilmu hewan yang ia dalami. Adul keluar dengan langkah gontai, ia memutar otak. Aku tidak boleh kehilangan gadis yang aku cintai untuk kedua kalinya.
———
Semenjak malam itu, Adul sering mengunjungi surau itu untuk bertemu gadis tersebut, tapi tak pernah dijumpainya gadis tersebut di surau. Ia bertanya kepada setiap orang yang lewat dan penduduk setempat. “Tidak ada gadis manis bermata bening yang pernah terlihat di sekitar surau ini, Dul,” kata seorang dukun kampung. “Mungkin itu adalah jin penunggu pohon beringin, atau mungkin ia mantan pelayan warung kopi yang mati diperkosa beberapa tahun yang lalu,” sambung yang lainnya. Tentu hal ini dibenarkan oleh yang lainnya. Tapi tidak untuk Adul.
Malam lebaran, ketika takbir dilafalkan berdasarkan versi masing-masing sesuai dengan logat asal muasal mereka, semua wajah mengekspresikan kebahagiaan. Malam kemenangan, semua berlomba menggemakan nama besar Allah. Adul berjalan sendirian sambil takbiran sendirian, tidak dijumpainya karnaval malam takbiran. Ia menaiki bukit, dari kejauhan, ia melihat surau itu diterangi bias cahaya. Adul mendekat, lalu ia mendengar suara orang mengaji, hatinya berdegub kencang dan setengah berlari ia mendatangi pintu surau. Di dalam, ia melihat gadis itu duduk dengan kaki terlipat, mengaji membelakanginya. Semakin Adul mendekat, bias cahaya itu kian menyilaukan, membuat Adul nanar dan tidak sadar, hingga ia terlelap ke dalam alam mimpi.
———
Keesokan harinya, Adul mendapati dirinya terbangun di teras warung kopi, dengan kepala berat, ia menoleh sana-sini. Tidak ia temukan gadis itu, tidak ada siapa-siapa. Ia pun belum mendapatkan nama gadis itu!