Esai

Apologi(a)

Beberapa hari yang lalu saya mendengar sebuah apologi dari seorang penulis. Intinya, ia minta maaf dan mengatakan bahwa ia tak cukup waktu untuk menulis, sebab banyak referensi yang mesti ia baca. Ia kehabisan waktu. Belum lama ini, kita juga acap membaca berita seseorang yang dengan entengnya meminta maaf secara terbuka di media, setelah sebelumnya ia melakukan kesalahan yang oleh masyarakat dianggap fatal dan luar biasa. Misalnya saja kasus penghinaan terhadap Presiden Jokowi, ujaran kebencian terhadap salah satu kiai, atau kasus pelecehan verbal “Ikan Asin” seseorang terhadap mantan istrinya yang cukup viral itu, atau hinaan bahwa Indonesia adalah negara miskin yang disampaikan pemilik taksi Big Blue Malaysia. Umumnya, mereka yang bersalah lantas menyampaikan apologinya dalam meminta maaf. Entah apa maksud mereka mengutarakan hal itu, namun dalam kondisi seperti ini, saya jadi bertanya, mengapa seseorang membuat permintaan maaf? Atau katakanlah, bagaimana agar kita bisa meminta maaf dengan baik?

Permintaan maaf merupakan hal yang lumrah terjadi. Dalam kondisi tertentu, ia justru seolah menjadi bagian yang wajib, misalnya saat kita telat mendatangi sebuah acara. Mohon maaf ya, saya telat; sebenarnya saya sudah berangkat lebih awal, namun jalanan macet. Atau maaf ya, saya tadi harus antri kamar mandi terlebih dahulu, soalnya kamar mandinya hanya satu. Ataupun berbagai bentuk pernyataan maaf lainnya. Dalam sebuah esai penelitian berjudul What Make A Good Excuse? yang dimuat oleh laman akademis Universitas Cambridge, termaktub bahwasanya permintaan maaf menjadikan seorang penutur lebih diterima oleh komunitasnya secara sosial.

Hal yang membuat saya tertarik ialah bahwa sering kali permintaan maaf yang kita dengar terkesan sebatas sebagai basa-basi. Ia sebagai pemanis kata, sebatas pemantas saja dalam pola interaksi yang baik. Namun, bagaimana bisa kita menilai bahwa permintaan maaf mereka itu tulus, masuk akal dan bisa diterima? Apakah dengan meminta maaf, kita terbebas dari rasa bersalah, atau setidaknya merasa cukup dan baik-baik saja?

Para peneliti dari Universitas Cambridge menyatakan bahwa permintaan maaf (excuse) kita bisa diterima ketika alasan yang mendasarinya cukup etis. Pada pertama kalinya, peneliti dari kampus tersebut mengutarakan teori  The Good Intentional Account yang intinya mengatakan bahwa fungsi permintaan maaf hampir sama dengan pembelaan seorang pengacara di ruang sidang terhadap kliennya. Ia mungkin bisa mengatakan bahwa klien tersebut barangkali melanggar hukum, namun ia tidak melakukannya dengan sengaja, namun hanya karena amarah yang menyebabkannya kehilangan kontrol emosi. Di dalam hal ini, Dr. Paulina Sliwa dari Fakultas Filsafat mengatakan bahwa maksud, tujuan, niat yang etis merupakan anasir yang penting.

Melanjutkan hal tersebut, dalam esainya; The Power of Excuses Paulina menyebutkan ada dua jenis kondisi yang menyebabkan kita meminta maaf. Pertama, paksaan suatu kondisi di luar kuasa seseorang, seperti ketiduran, kecelakaan, dan hal semakna yang tidak memungkinkan ia untuk memilih. Kedua, kondisi sempit, namun seseorang masih berkesempatan membuat pilihan. Untuk contoh kasus yang pertama barangkali mudah kita temukan dalam kehidupan keharian kita. Namun, sering kali, kita mangkir pada kondisi yang kedua. Sebagaimana seorang penulis yang saya contohkan di atas, sebenarnya ia masih bisa menulis dengan lebih baik jika saja ada niat untuk bertanggung jawab secara moral. Jika tidak, maka ia akan pasrah dan sering kali menyalahkan keadaan.

Lantas, apa yang dimaksud dengan permintaan maaf yang baik. Maksud permintaan yang baik ialah ketika kita ada pada kondisi yang pertama. Jika memang kondisinya tidak memungkinkan, dan memang di luar kuasa kita untuk membuat pilihan, lantas harus bagaimana lagi? Pada kondisi demikian, saking baiknya sebuah permintaan maaf, ia justru tidak berhak melakukan itu. Sehingga, permintaan maaf akan ‘diterima’ hanya pada kondisi selain itu. Namun ternyata, setelah meminta maaf pun, ia tidak lantas bebas dari tanggung jawab moral yang mesti ia emban. Belum lagi jika kasus yang menuntutnya untuk membuat pernyataan maaf itu sudah masuk ranah hukum. Tetap ada yang harus diselesaikan, meski seseorang sudah membuat pernyataan minta maaf.

Di sini, saya merasa bahwa apologi politis dalam hal kecil sebagaimana contoh di depan, atau dalam dunia praktis seperti di dalam hukum atau politik tidak lantas membuat kita menjadi ‘baik’ atau membuat kondisi lebih membaik sebagaimana asumsi kebanyakan. Kita hari ini perlu untuk belajar meminta maaf yang baik dan benar, hanya agar keutuhan moralitas kita tidak dipermainkan. Dan yang lebih penting lagi, mari hindari membuat kesalahan sikap atau pernyataan yang pada akhirnya “menuntut” kita untuk harus membuat pernyataan maaf.

Back to top button