Etalase

Buletin Bedug Edisi 29

Assalamualaikum, apa kabar, Sobat Bedug? Semoga selalu diberi kesehatan dan kebahagiaan. Segala puji bagi Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya yang selalu dilimpahkan pada hamba-Nya. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, Sahabat, dan para pengikutnya. Semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di hari akhir nanti. Pada edisi sebelumnya, buletin Bedug menyuguhkan tema Hilangnya Kepakaran. Isu tumpang-tindih yang menyelimuti Ibu Pertiwi dan para “sarjana” medsos mendadak berlomba-lomba menjadi pakar atas segala hal, menyebabkan virus populisme tersebar luas. Meski demikian, para pakar yang berkompeten di bidangnya lebih memilih untuk ‘duduk manis’ di singgasana. Mereka seakan membiarkan fenomena yang terjadi saat ini dengan dalih bukan maqam-nya untuk berkecimpung di medsos. Padahal, kepakaran mereka sangat dibutuhkan untuk persoalan tersebut. Kali ini, buletin Bedug menghadirkan tema Dislokasi Terminologi Kafir. Tema ini bermula dari kegelisahan atas degresi makna kafir yang sering dilontarkan oleh beberapa orang. Kata kafir saat ini sangat gampang keluar dari mulut seseorang, baik di media sosial maupun ceramah publik. Mereka hanya bermodalkan pemahaman dangkal tanpa mengetahui dampak buruknya, khususnya dampak kekerasan teologis. Sebagai contoh, cuplikan puisi dari seorang aktivis gerakan #2019GantiPresiden yang mengundang banyak kontroversi. Entah apa yang dimaksud penutur, cuplikan tersebut cukup menjadi cerminan bahwa akidah dengan segala turunannya masih dipahami secara “kasar”. Di Gorontalo terjadi pemindahan dua makam karena berbeda pilihan calon legislatif (caleg). Suatu hal yang memilukan ketika keislaman seseorang diukur berdasarkan pilihan caleg. Kedua hal tersebut kiranya cukup membuat kita prihatin atas maraknya pemahaman yang prematur atas hal-hal seputar Islam. Jika dibiarkan, hal tersebut akan merusak tak hanya keharmonisan berbangsa, namun juga toleransi dan moderatisme Islam yang dibawa oleh para kiai untuk menjadikan Indonesia tetap aman dan rukun di tengah kemajemukannya. Menanggapi kecamuk fenomena takfiri saat ini, Bedug mencoba menilik ulang terminologi kafir yang benar dari perspektif tafsir al-Quran, fikih dan sastra (adab). Kemudian semampunya, kami berupaya menghadirkan kembali moderatisme Islam dari al-Azhar dan NU yang telah berhasil menjembatani antara Islam dan masyarakat tanpa harus mengorbankan konstruk sosial yang ada. Dengan demikian, agama dapat menjadi instrumen penegak pluralitas dengan seluruh ajaran kemanusiaannya. Wabakdu, fenomena di atas merupakan cerminan dari kondisi keagamaan dalam suatu negeri. Ketika agama menjadi candu mengalahkan kemanusiaan, maka akan timbul perselisihan untuk merebut tahta sosial atas nama agama. Oleh karenanya, mari menjadi manusia sebelum beragama. Selamat membaca!

 

DOWNLOAD GRATIS!

Cek Juga
Close
Back to top button
Verified by MonsterInsights