Etalase

Buletin Bedug Edisi 30

Assalamualaikum. Apa kabar, Sobat Bedug? Semoga senantiasa sehat dan bahagia. Puji syukur kita haturkan keharibaan Allah SWT atas limpahan nikmat dan karunia-Nya sehingga kita bisa menjalankan aktivitas sehari-hari. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhamad SAW, keluarga, Sahabat dan para pengikutnya. Semoga kelak kita mendapatkan syafaat beliau, amin. Pada edisi sebelumnya, buletin Bedug telah menghadirkan tema “Dislokasi Terminologi Kafir”. Hal ini berangkat dari problematika masyarakat yang intoleran terhadap perbedaan pandangan terhadap persoalan agamis. Hal tersebeut sedikit banyak disebabkan oleh karena mereka kurang memahami bahkan belum mengkaji bagaimana sebuah akidah dibangun, utamanya yang terkait makna ‘kafir’ secara utuh. Dari sinilah, sikap intoleran dan kejumudan mereka berakar dan berakumulasi pada tuduhan-tuduhan ‘kafir’ yang sembrono. Ustadz-ustadz sosmed sering kali mengantarkan masyarakat pada gambaran Islam yang instan, yang berujung pada gemar melabeli ‘kafir’ kepada yang tidak sepemahaman. Darinya, pelabelan kafir tidak lagi sakral, terjadilah degresi makna kafir. Selain itu, dampak negatif dari dislokasi tuduhan itu ialah rusaknya interaksi antarmasyarakat, terutama yang awam. Pada edisi kali ini, buletin Bedug menyuguhkan tema “Komplikasi Kebencian”. Rasa benci sebagai keniscayaan bagi manusia merupakan lambang dari rasa ketidaksukaan, permusuhan, antipati terhadap seseorang, suatu hal atau sebuah fenomena. Hingga kini, sejarah menggambarkan bahwa kebencian selalu terlibat atau bahkan menjadi penyebab bagi berbagai permasalahan di seluruh dimensi ruang dan waktu. Kebencian berhasil menciptakan pertikaian antarmanusia, baik dalam urusan sosial, ekonomi, politik, keagamaan maupun pemikiran. Dengan kata lain, kebencian mampu membuat manusia kehilangan akal sehatnya. Oleh karena itu, sebagai representasi dari kebencian, tak heran jika pertikaian menjadi salah satu sumber utama terjadinya kerusakan dan kesenjangan sosial. Seperti kasus penembakan yang menyerang dua masjid di Selandia Baru yang menewaskan 49 orang. Kejadian tersebut bermotifkan kebencian serta keinginan pelaku untuk balas dendam, sebagaimana manifestonya yang diunggah di laman Facebook pelaku. Di Indonesia pun, tercatat sepanjang 2018, polisi berhasil menangkap 122 pelaku ujaran kebencian di media sosial. Selain itu, setidaknya ada 3.000 akun yang terdeteksi Polri secara aktif menyebarkan ujaran kebencian. Meskipun begitu, ketika dibenturkan dengan perintah nahi mungkar, kebencian memiliki sisi positif yang sangat fundamental. Keberadaannya menjadi langkah pertama seseorang untuk bisa mengaplikasikan nahi mungkar. Artinya, ketika seseorang benci akan kemungkaran, maka dengan mudah dia bisa menjauhinya. Kemudian dia bisa mengaplikasikan nahi mungkar dengan mengajak orang lain menjauhi kemungkaran. Kebencian, rasa-rasanya telah mengakar di setiap dimensi kehidupan secara tidak wajar. Oleh karena itu, buletin Bedug mencoba mengupas fenomena kebencian yang ditelisik dari pelbagai sisi, mulai dari kacamata psikologis, agama, pun dampaknya bagi kehidupan sosial. Semoga apa yang kami ulas dapat menjadi bahan introspeksi dan refleksi. Selamat membaca!

Kru Buletin Bedug

 

DOWNLOAD GRATIS!

Cek Juga
Close
Back to top button