Opini

Mengulik Fenomena Endorsemen

Entah didasari julid, peduli atau sekadar pengin berkomentar, yang jelas warganet adalah makhluk hidup di dunia ini yang paling responsif atas realitas di sekitaran mereka. Misalnya belum lama ini, warganet ramai-ramai membincangkan seputar fenomena “endorsemen selebritas” di jagat maya. Mereka heboh usai melihat perayaan ulang tahun Rafathar, anak Raffi Ahmad dan Nagita yang hampir seluruh propertinya dari hasil ngendors. Mulai dari minuman, makanan, hingga perabot-perabotannya, mayoritas endorsemen dari label-label kenamaan. Cukup banyak yang berkomentar unik. Misalnya saja akun @Finda Norma Fitriana yang mencuit, “Kayaknya enak deh jadi Rafathar, mulai dari makanan, minuman, sampek goodie bagnya yang diendorse Xingfutang_Indonesia, gak ngerti lagi.Ada lagi semisal, “Aku (mau) jadi ceweknya Rafthar aja, biar bisa ngerasain nikmatnya teh xingfutang tanpa ngantri.”

Cuitan warganet itu (seolah) dikuatkan dengan unggahan instastory akun milik kelurga Rans yang memberi tanda “@” atau tagar kepada masing-masing akun pemilik produk yang diiklankan. Berangkat dari fenomena tersebut, ada hal menarik terkait sistem endorsemen yang mempunyai relasi erat dengan ayat-ayat ekonomi kini yang dirasa mulai renggang. Belum lagi jika mengulik sisi ketidakadilan, ketimpangan sosial dan tekanan dalam persaingan bisnis yang ada.

Endorsement vs Ayat-ayat Ekonomi
Belakangan, strategi endorsemen menjadi sistem influencer marketing paling primadona pada dunia Industri. Pada tahun 2018 saja, survei dari Socialbuzz mencatat bahwa praktisi pemasarannya bukan saja diiklankan dari kalangan artis, namun juga selebriti dadakan di Instagram atau biasa disebut selebgram. Bahkan kuantitasnya tercatat hampir mencapai 59 persen. Kemudian persentase kedua adalah dari kalangan artis yang juga terkenal di dunia nyata yang mencapai 22,9 persen. Socialbuzz mencatat bahwa sistem marketing model ini berhasil mencapai angka 83 persen dalam pencapain pemasaran produk. Tentu saja hal ini menjadi perhatian “serius” bagi kalangan produsen. Terutama dari sisi efektivitas pemasaran, tekanan persaingan penawaran kualitas dan pemasaran produk, tersebab mahalnya bayaran untuk endorser.

Pada fenomena ini, tidak sedikit artis yang konfiden dengan kepopulerannya, lantas melambungkan harga tarif endorsemen untuk dirinya. Tidak saja berlaku untuk para artis, perang tarif secara tidak sehat ini juga meluas hingga ke para atlet pesohor. Tidak saja berlaku bagi para pesohor olahraga di dunia sepak bola, namun juga ke jenis-jenis olahraga lain.

Hingga saat ini saja, tarif endors untuk selebgram yang memiliki folowers jutaan, kisaran biayanya bisa sampai 5 juta-an untuk satu produk, dengan estimasi waktu postingan selama 2 bulan. Hal ini tentu tidak selaras dengan harga barang yang akan dipasarkan, jika barang itu bukan merupakan produk unggulan dan kuantitas produksinya belum berjumlah besar. Belum lagi, sang produsen juga harus menyerahkan produknya secara gratis, untuk diiklankan, sekaligus kepemilikannya dialihkan menjadi hak milik sang artis. Padahal ini masih tarif harga selebgram dadakan, belum tarif untuk artis atau atlet yang memang sudah popular, bahkan mendunia.

Berbicara mengenai endorsemen, tentunya kita sebagi muslim mempunyai relasi dengan ayat-ayat ekonomi yang dijelaskan Dr. Ruslan sebagai pondasi kegiatan ekonomi. Apalagi jika melihat sisi kita sebagai makhluk ekonomi yang selalu berhasrat untuk menuhi kebutuhan hidup. Namun hal ini juga tidak lepas dari sifat manusia yang diciptakan mempunyai hasrat lebih untuk menguasai harta. Kecenderungan manusia kepada harta adalah sebuah keniscayaan, seperti fenomena dunia industri pada sistem dan strategi marketingnya. Pada ayat-ayat ekonomi, ada satu ayat “Hierarki Nilai” yang mendiskusikan tentang prinsip keseimbangan. Pada bukunya, Dr. Ruslan menyikapi Surat Ali Imran ayat 14, bahwa manusia (memang) diberi kecenderungan pada kekayaan dengan berbagai  macam bentuknya; Tuhan menjadikan indah dalam pandangan manusia kecintaan kepada apa saja yang diingini, yaitu wanita, dan banyaknya harta. Selain itu, surat al-Taubah ayat 24 juga mendominasi tentang anjuran waspada terhadap kekayaan yang diusahakan manusia.

Dari dua ayat ekonomi di atas, tersirat makna bahwa bisnis merupakan orientasi kelangsungan hidup, asal tidak terlalu bermegahan pada kebutuhan yang fana tersebut. Selanjutnya prinsip keseimbangan akan mengantarkan pada pencegahan segala bentuk monopli dan pemusatan kekuatan ekonomi hanya pada satu tangan atau kelompok. Lantas apakah prinsip keseimbangan pada sistem endorsemen sudah mendasari prinsip itu? Tentu belum. Buktinya, sebagian produsen tingkat I justru banyak terfokuskan dan menghabiskan income mereka semata untuk endorser.  Sementara produsen tingkat II fokus dengan “menjual nama” sebagai produknya, daripada fokus menawarkan kualitas terbaik dari produk yang akan ia jual. Sehingga, kuantitas angka pendapatan pada kedua produsen juga tidak merata, dan terbilang berat sebelah.

Seperti yang sudah saya jelaskan, kenaikan harga endorser yang melambung tinggi secara tak wajar, pada akhirnya mengikis prinsip keseimbangan. Padahal, kualitas produknya berstandar bawah, semntara para artis dan selebgaram “lepas tangan” hanya menjual nama. Lalu, mengapa konsumen dipaksa untuk melihat kualitas produk pada endorser, bukan pada kualitas barang, testimoni pembeli yang mungkin bisa lebih dipercaya, atau beriklan sebagaimana mestinya?

Silogisme yang dipaksaan
Dari pertanyaan di atas, saya coba uraikan dan kaitkan dengan rumus silogisme. Kenapa, karena logika yang dibangun oleh produsen tingkat I terhadap praktisi pemasaran (endors) di era ini, adalah sebuah paksaan. Mengapa begitu? Saya di sini akan mendeskripsikan logika tersebut. Logika yang mereka bangun adalah silogisme atau Qiyas pada ilmu mantik (yang dipaksa). Yaitu logika yang tersusun oleh dua keputusan atau premis yang menghasilkan sebuah konklusi. Dimana  premis pertama disebut muqadimah sughra, yang kedua adalah muqadimah kubra. Nah, silogisme ini mereka ( produsen tingkat I) bangun dengan dua premis, tanpa melalui kaidah logika yang menyangkut kualitas atau kaifiyah.

Premis pertama yang mereka (produsen tikat I) bangun bahwa “Setiap produk yang mereka jual memiliki kualitas“, premis keduanya bahwa “Setiap yang berkualitas harus diendorse oleh artis terkenal”. Setelah itu dibuatlah silogisme lanjutan yang dipaksaan kepada para konsumen. Premis pertama, “Setiap konsumen memilih atau membeli barang yang diendors oleh artis atau selebgram”. Premis kedua “Setiap yang diendorse oleh artis atau selebgram pasti memiliki kualitas tinggi“. Konklusinya, “Setiap konsumen telah membeli barang berkualitas tinggi“.

Kemudian, kesalahan silogisme yang biasa dipakai oleh produsen tingkat I adalah menghilangkan kaidah yang menyangkut kualitas atau kaifiyah agar bisa membentuk logika Qiyas. Dalam ilmu Mantik, logika ini dibangun oleh dua proposisi yang wajib diperhatikan, yaitu salah satu proposisi harus menduduki negatif dan positif. Maka, tidak boleh dalam suatu kaifiyah terbangun atas dua proposisi yang sama, baik itu negatif keduanya atau positif. Nah, lalu kesalahannya seperti apa? Yaitu dalam kenyataanya, mereka (produsen tingkat I) memakai dua premis berkedudukan negatif. Premis pertama, “tidak ada satu pun  produk penawaran yang benar-benar dipakai oleh endorser dalam kesehariannya”. Premis kedua, “tidak ada satupun produk produsen yang melalui endorser itu berkualitas”, maka konklusinya, “tidak ada satupun produk produsen yang dipakai itu berkualitas“. Pernyataan inilah yang mereka tutupi dan akhirnya memaksakan serta membangun logika silogisme kepada konsumen, yang mana dapat disimpulkan adalah setiap konsumen harus melihat endorser dari artis atau seorang selebgaram terdahulu, untuk bisa meyakini bahwa produk tersebut berkualitas.

Itulah yang saya maksud sebuah paksaan, mengapa? Karena nyatanya semua barang yang diendors bukanlah produk berkualitas tinggi. Bahkan, pernah dialami oleh (misal) Via Vallen sebagai endorser yang menerima produk kosmetik palsu, sementara produsen berani membayar hingga 7 sampai 15 juta. Sang endorser tidak tersentuh. Padahal tidak sedikit para konsumen yang kemudian tertarik oleh apa yang diiklankan Via Vallen, sebelum pada akhirnya terbongkar. Dilansir dari Suara.com, kasus ini memang sudah disidak oleh aparat kepolisian, dan pihak terkait ikut mengalami penyelidikan. Strategi licik yang hanya ingin meningkatkan jumlah peminat produk seperti inilah yang oleh para “marketing endorsemen” menjadi hal yang harus diperbaiki. Maka, optimalisasi produk berkualitas tinggi-lah yang justru seharusnya diperhatikan.

Terkait hal ini, kebanyakan produsen tingat I sebenarnya sudah menyadari, namun keinginan manusiawi untuk terus tumbuh dan besar akhirnya membuat mereka mengabaikan prinsip keseimbangan. Terkait ideologi produsen yang mengesampingkan proses kewirusahaan, seperti ingin laku keras pada waktu singkat, ingin cepat kaya, lalu mengabaikan kualitas produknya. Maka, hal itulah yang mempengaruhi influencer marketing terhadap sistem endorsemen, sehingga menjadikannya minor dan dinyinyiri, meski telah menjadi primadona.

Back to top button