Opini

Menyangsikan Efektivitas “Kebiri Kimia”

Komisi Nasional anti kekerasan terhadap perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Catatan Tahunan (Catahu) 2019 bersamaan dengan memperingati  Hari Perempuan Nasional yang jatuh di tanggal 8 Maret. Dalam acara tersebut Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan, menyebutkan, bahwa di tahun 2019 ada kenaikan 14% kasus kekerasan terhadap perempuan , yaitu sejumlah 406.178 kasus. Termasuk kasus kejahatan seksual yang terjadi baru-baru ini. Data tersebut dihimpun dari tiga sumber, yakni Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Agama (PA), lembaga layanan mitra Komnas Perempuan dan Unit Pelayanan Rujukan (UPR).

Belakangan ini memang marak terjadi aneka macam tindak pidana seksual yang menimpa anak-anak di berbagai kota di Indonesia. Kasus Jakarta International School pada tahun 2014 adalah pembuka tabir dari berbagai kasus kejahatan seksual yang pernah ada sebelumnya. Termasuk kasus tersangka asal Jawa Timur yang berhasil mengomersialkan lebih dari 10.000 gambar pornografi anak Indonesia ke mancanegara di tahun yang sama. Setelah semua itu terjadi, banyak suara masyarakat yang menuntut agar pelaku tindak seksual terhadap anak dipidana berat, bahkan ada yang mengusulkan (secara emosional) untuk dikebiri.

Selanjutnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berhasil membuat wacana penetapan hukum kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual anak. Wacana ini memicu perdebatan. Terkini, kebiri kimia kembali menimbulkan pro dan kontra setelah hukuman itu akan dijatuhkan kepada Muhammad Aris, pelaku pemerkosaan Sembilan anak di Mojokerto, Jawa Timur. Aris juga divonis mendapat hukuman penjara 12 tahun dan denda 100 juta rupiah.

Riwayat Hukum Kebiri Kimia
Wacana pemberian pemberatan pidana bagi pelaku kejahatan seksual anak lewat kebiri pertama kali diusulkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pada 2015 lalu. Saat itu, Ketua KPAI, Asrorun Niam Sholeh berharap bisa memutus mata rantai kejahatan seksual dengan hukuman kebiri kimia yamg berupa suntikan antiandrogen. Suntikan Antiandrogen ini berfungsi melemahkan hormon testosterone sehingga menyebabkan hasrat seksual seseorang berkurang atau bahkan hilang sama sekali.

Isu awal didorongnya wacana ini adalah memberikan pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual anak yang seperti tidak ada jeranya. Untuk merealisasikan wacana ini, KPAI mengharapkan pemerintah mengamandemen UU KUHP dan UU Perlindungan Anak Tahun 2002. Namun dengan bantuan dorongan dari berbagai pihak, diusulkanlah percepatan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dengan mengusung isu darurat kejahatan seksual anak. Penerbitan Perppu dimaksudkan sebagai solusi atas lemahnya hukum terhadap kejahatan seksual pada anak.

KPAI mengusulkan dan mengamendemenkan kemungkinan kebiri karena berbagai alasan. Pertama, pelaku kejahatan seksual tidak semuanya dapat diintervensi dengan penyadaran dan jalur pemasyarakatan. Norma yang ada belum cukup memberikan efek jera untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Kedua, tafsir HAM sering kali berfokus pada pelaku, namun melupakan hak korban dan para calon korban. Ketiga, beberapa negara lain telah memberlakukan hukum kebiri. Asrorun menambahkan, bahwa sudah banyak negara yang menetapkan hukuman kebiri kimia. Jerman, Korea Selatan dan Rusia adalah beberapa negara di dunia yang telah menerapkan hukuman tersebut. Dan sistem perundang-undangan di Indonesia memang belum mengatur mengenai adanya hukuman tersebut. Oleh karena itu, pemerintah saat ini semakin bersikeras mendorong pemberlakuan hukuman kebiri.

Perppu kebiri kimia akhirnya ditetapkan oleh DPR menjadi undang-undang lewat pengesahan UU Nomor 17 Tahun 2016. Namun, hingga kini Peraturan Pemerintah (PP) tentang pelaksanaan hukuman kebiri yang menjadi turunan UU 17/2016 belum terbit.

Penolakan Hukum Kebiri
Rencana penerapan hokum kebiri mendapat respon negatif, terutama dari organisasi pembela Hak Asasi Manusia. Saat Perppu masih berupa draft dan wacana menerapkan hukuman kebiri sudah menuai kontroversi.  Sebanyak 99 organisasi sipil membentuk Aliansi 99 Tolak Perppu Kebiri. Dalam kajiannya, Aliansi 99 menuliskan beberapa alasan penolakan hukuman tersebut dalam kajiannya “Menguji Euforia Kebiri: Catatan Kritis atas Rencana Kebijakan Kebiri (Chemical Castration) Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak di Indonesia.”

Pertama, hukuman kebiri tidak dibenarkan dalam sistem hukum pidanan Nasional atau tujuan pemidanaan yang dianut oleh sistem hukum Indonesia. Kedua, hukuman kebiri melanggar HAM sebagaimana tertuang di berbagai konvensi Internasional, di antaranya, Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), dan Konvensi Hak Anak (CRC). Ketiga, segala bentuk kekerasan pada anak, termasuk kekerasan seksual, pada dasarnya merupakan manifestasi hasrat menguasai, mengontrol dan mendominasi terhadap anak. Dengan demikian, hukum kebiri tidak menyasar akar permasalahan kekerasan terhadap anak.

Selain itu, mereka menambahkan bahwa hukuman kebiri juga dinilai berpotensi salah arah. Hukuman tersebut bisa menimbulkan asumsi pada masyarakat, bahwa tidak ada yang perlu dibenahi dari ideologi atau cara hidup bermasyarakat. Sebab, akan timbul anggapan di masyarakat, bahwa kejahatan seksual murni karena kesalahan alat kelamin pelaku. Dengan demikian, masyarakat merasa tidak mempunyai andil apapun dalam menciptakan manusia itu.

Mengebiri pelaku bukan jalan keluar yang adil, tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiri dan berkurangnya kejahatan seksual anak. Belum ada bukti dan efek yang ilmiah. Karena itu, pengebirian merupakan respon emosional yang bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang hakiki. Sementara itu, tidak ada solusi tunggal untuk mengatasi kejahatan seksual. Sebuah kerangka kerja untuk pencegahan, dalam studi penyelidikan penganiayaan terhadap anak cenderung menggunakan model Ekologi Bronfenbrenner dalam Perkembangan Manusia. Sedangkan, Model Heise yang diadaptasi untuk membantu dalam memberikan model konseptual memahami dan menangani kekerasan seksual.

Lalu, solusi mana yang lebih efektif untuk diterapkan di Indonesia? Dari hal itu, Aliansi 99 memberikan beberapa pendekatan yang bisa dilakukan. Di antaranya, dengan membuat rancangan, melakukan diseminasi, dan menegakkan kebijakan berbasis pembuktian dan aturan perundang-undangan. Selanjutnya ditunjang dengan program investasi cara asuh orang tua yang komprehensif; meningkatkan layanan dukungan terhadap korban; dan membangun kemitraan antara pemerintah dan masyarakat sipil di tingkat masyarakat. Jadi, tidak hanya pelaku yang disalahkan atas terjadinya kejahatan seksual yang terjadi. Masyarakat juga mempunya andil dalam membenahi cara hidup masyarakat agar mata rantai kejahatan seksual benar-benar terputus.

Back to top button
Verified by MonsterInsights