Opini

Revisi UU KPK; Cicak vs Buaya Versi Baru?

Nasib KPK kembali terombang-ambing di perjalanan panjang masa tugasnya. Kali ini ia terjegal oleh Revisi Undang-Undang KPK yang konon sudah dikaji dan disahkan oleh DPR. Internal KPK bergejolak, masyarakat pun bereaksi. Bagaimana nasib KPK kedepannya? Akan semakin bertaji atau justru akan kehilangan “gigi” Apakah KPK memang harus selalu menghadapi situasi-situasi penuh tekanan seperti sekarang ini?

Agaknya sudah menjadi resiko bagi isntitusi penegak hukum akan selalu menjadi “bulan-bulanan” bagi mereka yang dalam pengawasannya. Nasib itu pula yang menimpa KPK sebagai Lembaga pemberantasan korupsi terdepan di negeri ini. Kali ini ia dihadapkan langsung oleh institusi yang paling sering terjaring kasus korupsi olehnya, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pihak-pihak yang terancam.

Sebagai lembaga hukum, KPK merupakan lembaga yang memiliki wilayah dan kewenangan cukup besar sekaligus menjadi lembaga super body yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun dan apapun. Dapat dilihat pada UU No. 30 tahun 2002 pasal 12 yang menyatakan bahwa KPK berhak menyadap dan merekam pembicaraan, memblokir visa keluar negeri seseorang, menyita seluruh aset pelaku, memblokir akun perbankan dan seluruh transaksi keuangan pelaku dan lain-lain. Pun pada wilayah kekuasaan yang dapat ditanganinya; meliputi seluruh lembaga tinggi negara (baik eksekutif, legislatif dan yudikatif), bahkan sesama lembaga penegak hukum, semisal kepolisian. Bisa dibayangkan betapa besarnya lembaga tersebut dan akan bisa membuat “bulu kudu” pejabat kita yang mendengar namanya atau berurusan dengannya. Oleh karenannya mereka lantas membuat KPK “sedikit” lemah dan tiada daya.

Syahdan, motivasi lain dari pemerintah dan para anggota DPR untuk merevisi UU KPK ialah membereskan adanya isu penyusupan “Polisi Taliban” pada tubuh KPK. Maksud dari “Polisi Taliban” adalah mereka oknum polisi yang ber-ideologi “kanan” yang menjadi anggota KPK. Pada kesehariannya, mereka bertugas seperti biasa layaknya pegawai lainnya. Akan tetapi, dari setiap kasus yang diselidiki, hanya kasus-kasus dari pihak oposisi Islam yang diberitakan dan didramatisasi seolah terlihat hanya mereka yang menjadi tersangka korupsi. Konsekuensi dari tebang pilih tersebut berakibat pada propaganda kebaikan Islam Kanan yang berlebihan dan menjelekkan kelompok lain, kemudian akan berujung pada penggantian ideologi negara. Pihak-pihak yang menyadari hal itu kemudian meminta komisi pemilihan calon pimpinan (capim) KPK untuk memasukkan unsur anti radikalisme dalam persyaratannya. Bisa dikatakan isu ini sudah tertangani, tanpa harus merevisi undang-undang. Lantas apa signifikansi dari RUU KPK?

Dari sini, saya simpulkan bahwa perseteruan antara KPK dan DPR murni unjuk gigi kekuatan seperti kasus “Cicak dan Buaya” zaman dahulu. Pada saat itu, terjadi perseteruan antara Kabareskrim Susno Duadji dari Bareskrim Mabes Polri serta KPK dalam penanganan kasus Bank Century. Susno Duadji tidak terima telepon genggamnya disadap oleh penyidik KPK dan kemudian terceletuk sebuah pernyataan, “Cicak kok mau lawan Buaya”? Konfrontasi tersebut berakhir saat sang Kabareskrim terbukti terkena suap dan dihukum 6 bulan penjara, sekaligus membayar ganti rugi 4.2 Milyar Rupiah. Kali ini, KPK seperti dejavu mengalaminya kembali, akan tetapi dengan lawan yang lebih hebat lagi, yakni DPR yang memiliki wewenang legislasi undang-undang. Secara otomatis, KPK harus terus melawan dengan segala cara termasuk meminta keputusan presiden untuk meninjau, bahkan menolak RUU tersebut. Jika kalah dalam pertempuran ini, maka hampir bisa dipastikan wajah hukum kita akan kian buruk kedepannya.

Menurut saya, perseteruan antara DPR dan lembaga hukum tidak memberikan efek apapun melainkan kelemahan atas lembaga negara sendiri. Masing-masing memiliki tanggung jawab yang komplementer dari DPR hingga KPK. Pihak DPR melaksanakan tanggung jawabnya sebagai penyalur aspirasi rakyat, sedangkan KPK melakukan check and balance terhadap kebijakan, khususnya persoalan keuangan. Oleh sebab itu, prinsip gotong-royong menjadi tak terelakkan untuk mencapai negara yang stabil secara progres dan hukum. Jika kita menengok sekitar 13 abad yang lalu, Khulafaur Rasyidin telah memberikan contoh dalam dukungannya terhadap lembaga hukum. Dalam buku “al-Mawsu’ah al-Muyassarah fî Târikh al-Islâmî” karya Qasim A. Ibrahim dan Muhammad A. Saleh yang diterjemahkan oleh Zainal Arifin, disebutkan keteladanan Khalifah Umar bin Khattab dalam mendukung keberadaan lembaga hukum. Salah satu bentuk dukungannya tercantum dalam suratnya kepada Abu Musa al-Asy’ari, “… Tidak ada yang mencegahmu untuk mengkaji ulang keputusanmu hari ini berdasarkan akal dan pengetahuanmu. Kebenaran itu sudah ada sejak zaman dahulu dan upaya mencari kebenaran itu lebih baik daripada berkubang dalam kesalahan …”. Dari sini kita dapat meneladani sikap sang khalifah dalam memberikan dukungan penuh pada penegak hukum yang dimilikinya.

Dalam konteks KPK, sebagai lembaga hukum, kebencian sepihak dan pelemahan sistematis merupakan resiko yang juga akan didapatkan dalam upaya menegakkan keadilan di negeri ini. Resiko diincar, dilemahkan dan dicelakakan merupakan pil pahit yang juga harus terus (siap) ditelan sampai akhir nanti demi kemaslahatan bangsa. Semoga saja tidak. Maju terus KPK, keputusan dan kejayaan Anda merupakan salah satu pertaruhan nyawa bangsa ini.

Back to top button