Membaca Sejarah PKI dengan Paradigma Naturalistik

Sebentar lagi, kita akan kembali menemui tanggal sakral bagi bangsa Indonesia; 30 September. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, bau anyir darah, pembantaian, kekejaman, serta pengkhianatan yang dilakukan PKI (30 September 1965) terhadap NKRI masih begitu lekat hingga saat ini. Trauma dan “hantu” PKI pun masih bergentayangan. Ketakutan serta traumanya menghasilkan sebuah dendam atau kebencian (ressentiment) terhadap antek PKI dan keturunannya. Ressentiment ini syahdan bertambah kuat setiap menjelang atau sesudah tanggal 30 September. Hal itu disinyalir sebab terbukanya kembali luka lama akibat penayangan film pengkhianatan PKI yang dibuat oleh Arifin C. Noer pada 1984. Sebuah film sejarah yang konon merupakan “pesanan” pemerintah yang berkuasa saat itu.
Soal film, ditayangkan atau tidaknya sempat menjadi polemik. Mereka sebagian dari korban PKI dan peduli sejarah pengianatan PKI, akan mendukung ditayangkannya kembali film tersebut. Sementara bagi mereka yang ada di kubu tengah, akan mendukung penayangan film tersebut, namun dengan mengajukan beberapa persyaratan, termasuk pembuatan film baru yang lebih objektif. Sedangkan kubu terakhir, adalah mereka yang kontra akan penayangan film G 30S/PKI tersebut. Mereka ini dari kubu simpatisan dan kubu yang menolak karena semata ingin menutup sejarah kelam bangsa Indonesia. Kelompok kontra ini juga berangkat dari kritik atas film PKI yang sudah ada dan ingin ada film baru yang dihasilkan dari riset-riset mutakhir sejarawan mengenai peristiwa 1965. Tersebab mereka (orang-orang yang menolak penayangan film PKI) berasumsi bahwa film yang ada tersebut hanyalah sebuah film propaganda dari rezim orde baru. Jika demikian, mungkinkah lebih baik film tersebut tidak ditayangkan lagi setiap bulan September, agar ressentiment terhadap anggota bangsa sendiri dapat disembuhkan.
Bagi subjektif saya, ditayangkan atau tidaknya film tersebut, hanya mampu memberi pengaruh sedikit (itupun terkait emosi sesaat) terhadap masyarakat. Apalagi jika masyarakat kita telah mampu lebih berpikir secara terbuka. Karena ressentiment yang ada tidak serta merta lahir akibat penayangan film semata. Hal lebih urgen yang dibutuhkan Indonesia saat ini adala untuk menangani perihal ressentiment yang tak kunjung sirna. Bagi saya, hal pertama yang dibutuhkan bangsa ini adalah menyadarkan masyarakat dari dampak negative adanya ressentiment; yaitu melihat peristiwa enam lima tersebut dengan menggunakan paradigma naturalistik.
Paradigma naturaslistik sendiri adalah sebuah kerangka berpikir yang mengumpulkan data berdasarkan observasi situasi yang wajar, sebagaimana adanya, karena pengamatannya dilakukan pada kondisi alamiah (natural setting). Selain itu, ciri lain dari paradigma naturalistik adalah pengamatan dengan memasuki lapangan yang berhubungan langsung dengan situasi dan orang yang berkaitan. Maka dengan ini, saya mampu mengatakan sebagian besar masyarakat kita menggunakan paradigma tersebut sebab; Pertama, mereka benar-benar hanya mengumpulkan data apa adanya, yakni data yang diambil dari doktrin yang mereka terima dari para generasi tua. Atau sekadar cekokan dari mereka yang tidak akurat sama sekali dalam mengisahkan peristiwa enam lima tersebut. Kedua adalah pengamatan mereka terhadap lapangan hanya sekadar berupa napak tilas. Karena kita sadar, bahwa peristiwa tersebut adalah sebuah sejarah. Sehingga mereka nantinya mencukupkan diri untuk menapak tilas ke museum-museum kemerdekaan dengan sebatas membaca potongan sejarah yang tertera di sana.
Dalam membuat penawar bagi paradigma naturalistik, seorang filsuf Jerman kenamaan, Edmund Husserl pernah mengkritisi perihal paradigma naturalistik. Dalam hal ini, Husserl menawarkan sebuah reduksi dengan tiga tahapannya sebagai sebuah solusi. Pertama adalah reduksi fenomenologis. Dalam reduksi tahap pertama ini, seorang peneliti diharapkan mampu menyisihkan atau melakukan filterasi terhadap setiap pengalaman inderawi dan subjektif terhadap suatu objek. Dengan kata lain, pada reduksi pertama ini, seorang peneliti dituntut untuk menyisihkan pra-persepsi, pra-sangka, serta pra-anggapan ketika bertemu objek. Termasuk di dalamnya adalah menyisihkan segala anggapan buruk tentang PKI yang bersemayam dalam mindset-nya. Sehingga, diharapkan peneliti mampu untuk menemukan freshperspective (gambaran murni) ketika mengamati objek (red; peristiwa 1965). Hal tersebut ditujukan agar hasil penelitian tidak terdistorsi adanya penilaian subjektif.
Tahap kedua adalah reduksi Eidetic. Reduksi ini ditujukan untuk menemukan eidos atau esensi hakekat atau makna yang tersembunyi dari fenomena yang diamati. Proses ini dilakukan dengan melalui pengamatan yang seksama dan interaktif antara subjek dan objek, bukan melalui proses yang linear (Bertens, 1990). Jika tujuannya adalah menemukan esensi, maka sudah sepatutnya bagi seorang peneliti mampu untuk menyaring semua hal yang tidak termasuk inti sari dari fenomena yang diamatinya. Maka dalam reduksi ini, seorang yang siap untuk meneliti peristiwa 1965, sudah sepantasnya bagi dia untuk bisa melepaskan diri dari hal-hal yang tidak ada keterhubungan dengan pelaku ataupun korban peristiwa tersebut. Misalnya adalah melepaskan diri dari segala persepsi yang berkaitan dengan keturunan para pelaku PKI ataupun keturunan para korban kekejamannya. Sehingga dia mampu tetap fokus terhadap apa yang diamati untuk mendapatkan inti sari atau makna peristiwa tersebut.
Pada tahap akhir, dilakukanlah reduksi transendental. Inilah yang merupakan tahapan kunci. Dalam bahasa mudahnya, reduksi ini adalah reduksi yang menuntut kita agar mampu melampaui diri kita sendiri. Mengapa demikian? Karena pada reduksi ini, seorang peneliti diharapkan untuk mampu menekan keinginan atau hasrat pribadinya ketika dia meneliti objeknya. Seorang pakar yang memutuskan dirinya untuk membuka kabut sejarah 1965, maka hasrat pribadinya tidak diperkenankan untuk ikut campur. Dalam tahap ini, dia tidak diperkenankan untuk meneliti peristiwa enam lima atas keinginannya untuk menjatuhkan PKI atau memaksakan hasil penelitiannya untuk membenarkan ideologi ideologi tersebut, serta ragam hasrat lainnya. Karena proses pada tahap ini dilakukan dengan cara seksama, iterasi, dan intuitif.
Setelah seorang peneliti mampu dengan sempurna membuka kabut sejarah dengan tahapan reduksi tersebut, maka kita sebagai masyarakat (kedua belah pihak, khususnya) sudah menjadi kewajiban untuk mampu membuka mata dengan hasil penelitian yang disuguhkan oleh para pakar. Sehingga, ketika masyarakat sudah mampu menerima dan meraih kesadaran makna sesungguhnya dari peristiwa yang menjadi catatan hitam yang membayangi bangsa kita selama puluhan tahun tersebut, barulah usaha rekonsiliasi digadangkan. Pencapaian kesadaran inilah yang dituju oleh Husserl dalam fenomenologinya. Dengan adanya hasil penelitian, kemudian dilakukannya rekonsiliasi, maka ressentiment tersebut diharapkan mampu terkikis sedikit demi sedikit. Semoga.