Opini

Memahami Pluralisme Sosial dengan Ketakutan

Belum lama ini saya berkesempatan membaca sebuah artikel di jurnal Nuansa volume 13 terbitan PCINU Mesir. Dalam sebuah artikel yang berjudul “Teologi Pluralisme”, penulis menutup esainya dengan kalimat semakna berikut: Pluralisme merupakan fenomena yang absolut, taken for granted, tidak bisa diganggu gugat dan mainstream dalam Islam. Sampai di sini, saya bertanya-tanya, benarkah demikian?

Pluralisme dalam KBBI merupakan kata benda yang bermakna keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya). Sedangkan secara istilah, pluralisme menurut Murtadha Muthahhari terbagi menjadi dua macam; pluralisme agama dan pluralisme sosial. Di dalam pluralisme agama misalnya, ada yang disebut dengan pluralisme “dalam beragama”, keduanya mempunyai makna yang berbeda sebagaimana akan dibahas dalam tulisan ini. Saya akan mencoba mencari akar pluralisme ini dari teks otoritatif pertama dalam khazanah keilmuan Islam untuk kemudian menjawab pertanyaan di muka.

Dua macam pluralisme yang ditawarkan oleh Muthahhari tadi menarik perhatian saya. Tidak hanya dari Muthahhari, beberapa waktu yang lalu pluralisme agama atau religi, atau teologi dalam konteks modern juga dicetuskan oleh John Hick, seorang kristiani yang taat. Ia melarang adanya pandangan agama Nasrani yang eksklusif. Ia menyatakan bahwa seorang kristiani mestinya meyakini bahwa semua agama dalam cara beragamanya masing-masing merepresentasikan wahyu autentik dari Yang Maha Tinggi.

Menurut saya, apa yang ditawarkan oleh Hick bukanlah suatu yang baru. Dalam konteks agama Islam misalnya, kita diminta untuk mengimani secara wajib 25 nabi dan rasul yang pernah diutus. Jika kita mengimani Nabi Musa, Nabi Ibrahim, dan Nabi Muhammad SAW, tapi kita tidak beriman atas diutusnya Nabi Isa As, maka kita bukanlah seorang muslim—dan ini termasuk hal yang diketahui dalam agama secara pasti. Bahkan mengimani seluruh (dengan berbagai macam sisi pewahyuan dan konteks sosio-historis diutusnya) nabi dan rasul merupakan bagian dari rukun dan esensi keislaman seseorang.

Sampai di sini, apakah pluralisme “dalam beragama” merupakan sesuatu yang terberi, sebagaimana pertanyaan di awal? Bagaimana dengan pluralisme religius? Dua pertanyaan tersebut berbeda makna dan arah jawabannya. Menurut saya, untuk pertanyaan pertama jawabannya adalah iya. Di dalam beragama, kita sering diperintahkan untuk mengamini hal-hal yang begitu saja kita terima; kelahiran-kematian, surga-neraka, setan-malaikat, dan seterusnya. Di sini, pluralisme “dalam beragama” kita pahami sebagai ajaran-ajaran atau pemahaman-pemahaman keagamaan yang tidak biner. Dalam hal fikih misal, kita ada empat mazhab muktamad yang disepakati umat Islam dulu dan hari ini. Di dalam akidah misal, ada paham Asyariyah, Muktazilah, Jabariyah, dan seterusnya. Di dalam keimanan, tasawuf, kesemuaannya menyatakan konsep yang berbeda, pemahaman yang plural dari satu tema pokok di dalam ajaran agama. Sehingga, pluralisme di sini kita maknai secara bahasa sebagai kekayaan pemahaman saja.

Lain halnya dengan soal kedua. Pluralisme agama secara fenomena memang ada. Namun kata ‘agama’ sebagai penanda jalan lurus nan benar yang diletakkan oleh Tuhan tidak bisa berbilang. Secara terang al-Quran menyatakan bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan selainnya tidak akan diterima di sisi Tuhan (lihat Surat Ali Imran).

Berbeda halnya dengan pluralisme sosial, ia berkelindan seputar koeksistensi damai dan toleransi antarsesama dari latar belakang kultur dan agama yang berbeda. Pluralisme jenis ini sering kita perbincangkan dalam masalah kewarganegaraan, kebangsaan dan bermasyarakat. Dalam hal ini, al-Quran telah menyatakan secara terang dalam surat al-Hujurat bahwasanya manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal. Sehingga di sini, kita mendapati bahwa ia terberi, dalam menghadapinya kita mengalami semacam keterlemparan (faktisitas) tanpa ada kesempatan untuk mempertanyakan hal itu.

Pluralisme sosial ini terberi dalam artian secara fitrah, kita memang diciptakan untuk berbeda. Dalam tataran ini, perbedaan dengan segala baik dan buruknya dimaksudkan agar manusia saling bersinergi bersama membangun kemanusiaan, memakmurkan bumi dengan akal budi yang juga terberi. Namun, bagaimana jika kita melihat pluralisme sosial ini secara fenomenologis?

Fenomenologi merupakan cabang ilmu filsafat yang konsen (kepada) bagaimana sebuah pengalaman menunjukkan dirinya sendiri, tanpa ada persepsi apapun dari subjek. Ia bersifat rigoris, menurut Husserl. Di antara kata kunci dalam diskursus ini ialah adanya intensionalitas, kesadaran subjek akan sesuatu. Intensionalitas di sini, menurut Husserl pasti ‘tentang sesuatu’, kita tidak mungkin menyadari kekosongan. Namun, di sini saya tidak akan memakai fenomenologi sebagai cabang ilmu filsafat. Saya akan meminta bantuannya sebagai cara memandang pluralisme sosial ini sebagai sesuatu yang memfenomena, sebagai peristiwa yang menyehari. Sederhananya, bagaimana kita memaknai pluralisme sosial yang katakanlah, melingkupi berbagai aspek kehidupan hingga barangkali tanpa kita sadari?

Saya akan berpijak pada ayat al-Quran yang saya singgung terkait pluralisme sosial di atas. Penggalan ayat dari surat al-Hujurat di atas mengandung makna bahwa pluralisme sosial merupakan hadiah, suatu yang terberi bagi manusia. Untuk memaknai pluralisme ini secara fenomena, bukan yang terberi, kita bisa membentuk kesadaran melalui penggalan ayat berikutnya dari surat yang sama. Penggalan itu berbunyi: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian ialah yang paling bertakwa di antara kalian.”

Kata takwa bisa kita maknai dengan takut, sesuai ayat ittaqullâh yangg artinya (maka) takutlah kalian kepada Allah. Barangkali ini makna takwa secara bahasa. Kemudian, “yang paling bertakwa” dari ayat di atas yang disandingkan dengan “yang paling mulia” mengisyaratkan bahwa semulia-mulianya, seadil-adilnya manusia ialah mereka yang bertakwa kepada Tuhannya dalam bergaul dengan sesama.

Asghar Ali Engineer, seorang pemikir India mengatakan bahwa orang yang paling mulia ialah yang paling adil dan saleh. Ayat di atas menurutnya, merupakan konsep pembebasan dalam bidang sosial yang paling liberatif dan tepat. Keterkaitan antara takut, adil dan saleh ini bisa dirangkat dalam laku ketakwaan sosial, atau kita sering menyebutnya dengan kesalehan sosial: takut menciderai hak orang lain, takut merebut atau mengganggu kebebasan orang lain, bahkan takut jangan-jangan keberadaan kita di dalam suatu masyarakat menimbulkan ketidaknyamanan bagi liyan. Ketakutan (atau katakanlah dalam konteks agama; ketakwaan, ketaatan) ini bukan ketakutan sebab fobia atas sesuatu. Ia merupakan bentuk kesadaran paling tinggi yang dapat kita capai untuk menghayati pluralisme sebagai pengalaman yang menyehari. Bukankah setiap dari kita merasa takut akan sesuatu?

Ketakutan kita akan rusaknya tatanan masyarakat yang harmonis inilah yang saya maksud dengan sebuah kesadaran pluralis. Keberagaman kita di banyak hal ialah sesuatu yang terberi, namun menjaganya bukan berarti cukup dengan slogan ulangan yang kian usang semakna: kita plural kita kaya, kita bangsa yang besar dan seterusnya. Kita terlalu sering mengulang ucapan sehingga tak lagi sadar apa yang mestinya kita lakukan. Kewaspadaan akan laku diri di dalam sebuah masyarakat yang tidak homogen, barangkali itu yang mesti kita ejawantahkan untuk benar-benar menghormati keberagaman sebagai karunia Tuhan.

Back to top button