Di balik Pembelajaran Fikih yang Struktural

Sering kali orang mengeluh di saat mempelajari fikih, karena selalu diharuskan dari dasar. Bermula dari mempelajari bab air, bersuci, hingga jinayah (pidana) secara berurutan, tanpa diperkenankan untuk me-mbelenjati-nya. Pun, karena saat mempelajarinya, diharuskan melalui jalur sanad dari para ulama yang memiliki lisensi transmisi keilmuan yang jelas. Tujuannya agar terhindar dari kesalahan pemahaman (interpretal fallacies) sebagaimana dikatakan oleh Ibn Sirrin, “Kalau tidak melalui sanad, manusia akan berkata (mengenai agama) dengan semaunya.”
Melihat betapa strukturalnya belajar fikih, sering terlintas beberapa pertanyaan dalam benak kita, apa maksud atau hikmah dari strukturalisasi pembelajaran fikih dalam Islam? Apakah setiap orang yang hendak masuk Islam diharuskan belajar fikih?
Jika ditelisik dari usul fikih, terdapat pembahasan mengenai 5 jenis hukum mengenai perbuatan maanusia seperti, wajib, sunnah (mandub), makruh, haram dan mubah. Nah, dalam pembahasan bab wajib terdapat beberapa jenis yang salah satunya ialah mengenai pelaksanaan kewajiban, baik bersifat ‘ain (pribadi) maupun kifayah (komunal). Melalui bab tersebut, saya akan berusaha menjelaskannya lebih lanjut dan menarik benang merahnya untuk menjawab pertanyaan yang tertera pada prolog.
Dalam buku “Maharah Ushûliyah” karya Dr. Sa’duddin Mus’id Hilaly, pembahasan pelaksanaan (mukhôtob) kewajiban memiliki dua jenis, wajib ‘ain dan wajib kifayah. Wajib ‘ain adalah sesuatu yang diminta oleh Pemilik Syariat (Allah) untuk dikerjakan bagi setiap individu tanpa terkecuali. Jika tidak mengerjakannya tanpa alasan syar’i, maka seseorang akan dikenakan “ganjaran dosa” seperti dalam hukum shalat lima waktu, puasa Ramadlan dan lain-lain. Kalau saya perhatikan, sifat dari jenis wajib tersebut ialah individual yang tanggung jawabnya berada pada tangan masing-masing mukallaf, tanpa boleh diwakilkan. Hal tersebut secara otomatis mengharuskan mukallaf untuk mempelajari juga wajib ‘ain secara menyeluruh, mulai dari sebab, syarat dan rukunnya.
Wajib kifayah adalah sesuatu yang diminta oleh Pemilik Syariat (Allah) kepada seluruh individu yang bersifat komunal untuk dikerjakan dan pengerjaannya boleh diwakilkan pada beberapa individu untuk menggugurkan kewajiban. Akan tetapi, jika tidak ada satupun yang mengerjakannya di suatu komunitas, maka akan dikenakan ganjaran dosa kepada seluruhnya, tanpa terkecuali. Contohnya seperti memandikan mayat seorang muslim yang meninggal, atau contoh yang lainnya. Kalau saya perhatikan, sifat dari jenis wajib tersebut adalah komunal yang mengikat seluruh individu pada sebuah komunitas yang sering menyangkut kemaslahatan bersama. Jika terdapat seseorang yang telah melaksanakannya, maka sudah dianggap terlaksana. Contohnya ialah profesi dokter. Pada suatu komunitas dibutuhkan seorang dokter untuk menangani persoalan kesehatan di lingkungannya. Ketika terdapat seseorang yang berprofesi tersebut atau sedang mempelajarinya, maka sudah terpenuhi kebutuhan komunitas tersebut. Akan tetapi, jika tidak ada, maka mereka akan celaka oleh persoalan-persoalan kesehatan yang ada. Oleh sebab itu, masyarakat harus memastikan kewajiban tersebut terpenuhi, demi terciptanya kemaslahatan bersama.
Menurut hasil pengamatan saya, perbedaan dari keduanya merupakan konsekuensi dari dua fungsi manusia yaitu sebagai hamba (âbid) dan pemimpin/pengelola (khalîfah). Wajib ‘ain mengambil sisi kehambaan dalam memproyeksikan dirinya kepada manusia. Persoalan kehambaan diibaratkan sebagai hubungan budak dan tuan. Setiap budak harus mematuhi seluruh perintah tanpa terkecuali dan tidak boleh diwakilkan, karena dikhawatirkan akan menyelisihi perintah dan dituduh membangkang. Oleh sebab itu, biasanya setiap budak yang hendak melayani pembelinya akan mempelajari seluruh kebiasaan dan kesukaan tuannya agar tidak terjadi kesalahan selama masa ngaewulo (mengabdi). Berbeda dengan wajib kifayah yang mengambil fungsi pengelola/pemimpin dari diri manusia dan memandangnya sebagai sebuah komunitas.
Pandangan sebagai sebuah komunitas berarti memandang manusia sebagai individu yang memiliki tanggung jawab pada dirinya dan sekitarnya, sebagaimana Hadist, “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpin.”
Oleh karenanya sifat perintah dari wajib kifayah tak lain adalah pemenuhan hak sesama manusia sebagai anggota dari sebuah komunitas. Perbedaan pengambilan sudut pandang fungsi manusia tidak menjadikan keduanya saling bertentangan, melainkan saling melengkapi bahkan menjadi tingkatan proses menjadi manusia. Siapapun yang telah dewasa dalam mengurusi kehidupannya sendiri maka dipastikan ia siap untuk bergabung untuk mengambil peran pada sebuah lingkungan sosial. Siapapun yang sudah mampu menjalankan wajib ‘ain dengan sempurna dan mandiri maka dipastikan dia mampu menjalankan wajib kifayah bersama hamba-hamba yang lain.
Dari sini, saya memahami ayat al-Quran yang berbunyi, “Allah tidak membebani hambanya melainkan sesuai dengan kemampuannya.… (Q.S. al-Baqarah: 286)” bahwa satu bentuk kasih sayang Allah adalah tidak membebani hambanya di luar kapasitasnya. Seorang hamba yang masih pada tingkat mempelajari dan men-istikamah-kan wajib ‘ain yaitu persoalan ibadah beserta syarat dan rukunnya tidak dibebani wajib yang lain, sebelum benar-benar menguasainya. Ibarat anak-anak yang tidak akan dihukum oleh orang tua akibat kesalahannya, mereka pun belum bisa membedakan mana yang benar dan yang salah. Atas dasar tersebut, para kiai ketika mendidik santri-santri pasti akan memilih kitab fikih serta bab air dan bersuci sebagai pelajaran pertama sebagai bentuk pendasaran pertama sebagai manusia yaitu bisa mengurus dirinya sendiri. Kemudian di sela-sela pelajaran diadakan praktik agar semakin menguasai sekaligus melatih kemandirian mereka. Hal ini kemudian berlaku pula bagi para mualaf untuk mempelajari wajib ‘ain terlebih dahulu sebagai proses menjadikannya sebagai hamba yang baik di hadapan Allah, kemudian beranjak untuk belajar menjadi muslim yang baik. Tidak seperti si “FS” yang baru masuk Islam langsung ceramah tentang Islam, kemudian merasa agama paling Islam di antara muslim yang lain.
Berproses merupakan sunnatullah bagi manusia, sebagaimana tokoh wayang Bima yang harus berlatih di Kawah Candradimuka. Di bawah naungan Ki Lurah Nayantaka/Semar sebelun menjadi pemimpin kaum, Pandawa menggantikan Yudisthira. Siapapun yang mengingkarinya, maka dipastikan dirinya mendapat cela/cacat dalam mengarungi hidupnya