Arah Keberpihakan Fikih Kontemporer

Bermula dari keterlibatan dalam sebuah diskusi tematik fikih yang mengangkat pembahasan tentang hukum muamalah atau transaksi, saya mengajukan sebuah pertanyaan kepada pemateri. Perihal jual beli lahan masyarakat yang tidak jarang berujung sengketa antarwarga dan aparat bersenjata. Sekalipun nantinya pemerintah atau pihak korporasi mengklaim dan berjanji akan memberikan kompensasi terhadap warga terdampak, nyatanya bentuk penolakan (pasti) tetap saja ada. Realitas sosial seperti ini banyak ditemui dan ironisnya terkadang kita masih kurang tanggap, bahkan seolah acuh tak acuh—setidaknya perhatian dan keberpihakan melalui wacana tulisan. Lalu saya menanyakan dalam kesempatan diskusi itu, apakah praktik jual beli lahan semisal kasus di atas termasuk dari transaksi yang batal? Sebenarnya saya tidak benar-benar ingin mengajukan pertanyaan ini, hanya saja saya ingin menggiring opini dan membuka diskusi terkait arah keberpihakan kita sebagai pelajar terhadap kasus-kasus konflik agraria.
Ya, bisa ditebak, lantas pemateri menjawab, transaksi semisal di atas masuk dalam kategori jual beli gagal atau batal. Sebab tidak ada unsur kerelaan dari pihak penjual. Demikian singkat pemateri menjawab dan cukup membuat saya lega. Realitanya, pemaksaan dan penindasan terhadap penjual; yakni warga pemilik lahan sering kali terjadi. Sebut saja konflik agraria di Langkat, Sumatera Utara; Kendeng, Jawa Tengah, dan Tumpang Pitu, Banyuwangi. Atau semisal tindakan represif aparat terhadap para petani di Desa Suka Mulya, Majalengka dan Urut Sewu, Jawa Tengah. Persoalan ini kemudian akan semakin kompleks ketika masuk ranah pengadilan. Rakyat akan dihadapkan dengan persidangan yang belum tentu mereka cakap dan mampu melontarkan dalil-dalil hukum pembelaan. Maka diharapkan peranan dan keberpihakan kalangan terpelajar terhadap masyarakat tertindas ini sangat penting menjadi perhatian utama.
Jika kembali membaca literatur fikih terkait hukum jual beli yang mengandung unsur paksaan, sebenarnya ada pendapat yang memperbolehkan dengan syarat dan ketentuan tertentu. Semisal dalam kasus jual beli lahan secara paksa demi mencapai kemaslahatan umum, contohnya perluasan areal masjid atau jalan raya, maka ulama membolehkan. Selain atas dasar kemaslahatan umum, jual beli dengan disertai unsur pemaksaan diperbolehkan semisal pada kasus hutang piutang. Misalkan seseorang yang memberikan pinjaman atau hutang berhak untuk memaksa penjualan suatu barang yang dimiliki peminjam sebagai ganti pelunasan. Contoh yang dikutip dari ensiklopedia kosa kata fikih kontemporer (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah) itu tentunya masih belum menjangkau dan menjawab persoalan konflik agraria semisal yang terjadi di tanah air.
Salah satu konsepsi yang bisa menjadi pedoman keberpihakan kaum terpelajar terhadap persoalan konflik agraria adalah rumusan fikih prioritas (aulawiyyat). Dr. Yusuf Qaradlawi merumuskan prinsip yuridis ini sebagai pemandu amal yang berdasarkan pemahaman dan pengetahuan komprehensif. Sekalipun tujuan awal fikih prioritas dikhususkan kepada kalangan muslim minoritas yang tinggal di negara mayoritas non muslim, tapi menurut saya hal ini relevan untuk menumbuhkan keberpihakan kita terhadap masyarakat tertindas sebagai representasi minoritas. Kalau boleh saya merumuskan, persoalan konflik agraria termasuk dalam skala prioritas keberpihakan kalangan terpelajar, sebab menyangkut tentang nilai fundamental dalam ajaran Islam. Di antaranya nilai keadilan atau egaliter yang selayaknya dijunjung tinggi oleh setiap orang yang mengaku muslim terpelajar.
Sikap adil dalam ajaran Islam erat kaitannya dengan ketakwaan. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Maidah (5/8): …”Berlaku adillah kalian, sebab keadilan mendekati ketakwaan…”. Grand Syekh Azhar, Prof. Dr. Muhammad Sayyid Thantawi menjelaskan dalam Tafsir al-Wasith, bahwa perintah untuk berbuat adil berlaku di setiap situasi dan kondisi. Oleh sebab keadilan tersebut, maka seorang muslim telah meniti tangga ketakwaan atau penghambaan sejati terhadap Sang Pencipta. Bahkan Imam al-Zarkasyi dalam Tafsir al-Kasyaf menyebutkan, bilamana kewajiban berbuat adil juga berlaku terhadap non muslim, maka keadilan juga patut diperjuangkan jika menyangkut hak-hak kaum muslim. Sedemikian esensial nilai keadilan di dalam Islam, hal itu juga yang menjadikan Dr. Muhammad Abu Zahrah mengklasifikasikan keadilan secara khusus berkenaan dengan keadilan sosial sebagai perkara elementer dalam pensyariatan (maqashid al-Syari’ah).
Uraian tentang urgensitas keadilan atau egaliter tersebut dirasa cukup sebagai pedoman, berikut landasan kaum terpelajar muslim untuk membela hak-hak saudaranya yang tertindas. Syariat seolah memberikan perintah kepada kita untuk memperhatikan dan peduli terhadap konflik sosial yang terjadi. Tujuan utamanya tentu untuk memberikan rasa aman, tatanan kehidupan yang egaliter dan akses kejahteraan terhadap masyarakat luas tanpa terjebak sekat dan isu-isu benturan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Jika kaum terpelajar muslim mampu melihat persoalan konflik agraria dengan kaca mata keadilan sosial ini, saya rasa tidak perlu lagi khawatir dengan anomali keberpihakan mereka. Namun bilamana hal ini tidak menjadi aspek prioritas dalam pembacaan mereka dan hanya bertumpu pada literatur fikih klasik, saya menjadi pesimis. Alasannya mungkin saja kapasitas dan keberpihakan mereka mudah diintervensi oleh kepentingan kalangan pemodal atau pro kapitalis. Maka pengetahuan akan dinamika sosial, ekonomi dan politik hendaknya menjadi aspek prioritas pembelajaran kita juga.
Sosok yang bisa menjadi panutan kita terkait konsistensi keberpihakan terhadap problematika keumatan adalah Presiden keempat RI, KH. Abdurrahman Wahid. Konsistensi Gus Dur selama menjabat sebagai Ketua PBNU dan Presiden RI dapat diakui cukup progresif dan responsif menyikapi konflik berikut perbaikan kondisi umat. Sebagaimana dicatat oleh Van Bruisen, sebelum menjabat sebagai Ketua PBNU, Gus Dur bersama generasi muda NU lainnya aktif menyuarakan dan terlibat langsung dalam upaya perbaikan dan pemberdayaan umat. Bukan tanpa alasan, konsistensi Gus Dur sebagai sosok cendekiawan muslim ini tentunya dilandasi atas semangat memperjuangkan nilai-nilai keadilan dalam ajaran Islam.
Selain memang diakui, gagasan serta perjuangannya terhadap persoalan toleransi dan pluralisme juga banyak mendapatkan apresiasi. Salah satunya, Frans Magnus Suseno dalam sebuah acara diskusi publik di UGM beberapa waktu lalu juga menyebut Gus Dur sebagai sosok bintang segala tokoh perubahan di Indonesia. Sudah saatnya kita meneladani peranan dan sepak terjang Gus Dur dalam memperjuangkan masyarakat tertindas. Bukan terjebak pada ritme teks, sehingga mengabaikan kontekstual untuk berdiri dan membela hak-hak rakyat yang ditekan, ditindas dan diintimidasi oleh penguasa atau pihak koporasi.