Jubir Tuhan Era Kekinian

Nabi Muhammad SAW adalah pembawa risalah terakhir bagi seluruh umat manusia yang diberi mukjizat berupa nas-nas syariat yang bisa dialektikakan dalam lintas tempat dan waktu. Selanjutnya, nas-nas syariat itu terklasifikasi atas nas qath’i dan dzanni. Dr. Abas Syuman dalam Nadzarât fi al-Tajidîd lantas menjelaskan bahwa nas qath’i ialah nas wahyu yang hanya memiliki satu interpretasi hukum, sebagaimana nas-nas yang berisi perintah shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan nas dzanni ialah nas yang memiliki kemungkinan-kemungkinan interpretasi hukum yang berbeda.
Hukum yang diambil dari nas-nas qath’i bersifat statis; tidak menerima perubahan. Ia hanya bisa diubah melalui jalur nasakh yang telah ditutup bersamaan dengan berakhirnya masa kenabian. Sedangkan hukum dari nas-nas dzanni bersifat dinamis; bisa menerima perubahan interpretasi melalui jalur ijtihad.
Jika divisualisasikan dengan sebuah bangunan rumah, nas qath’i adalah pondasinya, sedangkan nas dzanni adalah bangunan di atasnya. Sebagai sebuah pondasi, Tuhan tidak membuka pintu ijtihad pada nas-nas qath’i. Pintu ijtihad hanya dibuka pada nas-nas dzanni. “Bangunlah bangunan yang bagus di atas pondasi, namun jangan sampai mengubah pondasinya!” seperti itu kira-kiranya.
Pada titik ini, peran mujtahid murni dibutuhkan. Karena ia yang tahu wilayah tugasnya dan tahu bangunan seperti apa yang harus ia dirikan di atas pondasi tersebut. Singkatnya, mujtahid adalah jubir Tuhan dalam menjawab permasalahan umat manusia di setiap masa, sekaligus untuk membuktikan bahwa syariat Islam memang bisa terus mengayomi umat manusia.
Kenapa Harus Mujtahid?
Mungkin kita pernah mendengar bahwa pintu ijtihad sudah ditutup. Namun sejatinya, hal itu tidak tepat. Sebab nas keagamaan terbatas (tidak ada tambahan lagi), sedangkan permasalahan umat manusia semakin hari semakin kompleks. Jika pintu ijtihad memang ditutup, permasalahan-permasalahan yang terus bertambah itu akan terbengkalai dan tidak menemu solusi. Lantas, kenapa pula harus seorang mujtahid?
Setiap bidang, apapun itu, pasti membutuhkan pakar untuk mengelolanya. Begitu juga dalam menginterpretasikan wahyu Tuhan, mujtahidlah yang berhak memangkunya. Seseorang dikatakan mujtahid jika memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah dirumuskan dalam ilmu usul fikih, yang jika dibahasakan secara sederhana adalah ia telah paham teks dan konteks.
Paham teks berarti ia punya perangkat untuk membedah kandungan teks, sedangkan paham konteks berarti ia punya ketrampilan membahasakan isi teks dalam bahasa yang sesuai dengan masanya. Memahami konteks sangatlah penting. Tersampaikan dan tidaknya pesan Tuhan tergantung ketrampilan mujtahid (sebagai jubir Tuhan) dalam membahasakan pesan tersebut. Paham maksud nas, tapi penyampaiannya tidak sesuai konteks, maka pesan Tuhan tidak akan tersampaikan.
Jubir Tuhan Kekinian
Semakin jauh dengan masa kenabian, semakin sulit menemukan ulama yang mencapai derajat mujtahid sekaliber emapat imam mazhab. Selain karena faktor lingkungan keilmuan yang sudah berubah, makin luas dan kompleksnya bidang kehidupan juga mempengaruhi.
Dahulu, bahasa Arab fusha adalah bahasa ibu orang Arab, sekarang sudah bukan lagi. Sampai-sampai ada kata-kata ‘Arabi alân ashbaha ka al-‘ajam; orang Arab sekarang, sudah seperti orang non-Arab. Sealin itu, dulu bidang kehidupan masih terbatas, kini sudah meluas. Sekarang, seorang ulama yang paham betul masalah agama, belum tentu ia peka masalah ekonomi, politik dll. Padahal bidang-bidang kehidupan itu menunggu respon dari agama juga.
Hemat penulis, tugas mujtahid sekarang juga harus diemban oleh lembaga-lembaga keagamaan. Tanggung jawab sebagi jubir Tuhan sudah beralih pula kepada lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), badan fatwa NU dan badan fatwa Muhammadiyah. Ulama dan cendikiawan yang berada dalam naungan lembaga tersebut, penulis kira bisa saling mengisi syarat-syarat mujathid.
Di samping karena hampir mustahil menemukan ulama level mujtahid, permasalahan umat sekarang juga sudah mengambil bentuk yang berbeda mengikuti perkembangan akal manusia. Dahulu perbudakan dilakukan oleh individu kaya, tapi sekarang perbudakan dilakukan oleh korporasi-korporasi besar. Dulu Islam datang menguatkan identitas suatu bangsa, kini Islam didatangkan untuk mengubah budaya bangsa. Dulu Islam datang untuk menyuntikan nilai etika dalam berpolitik, kini Islam dijadikan tunggangan politik. Paradoksikal.
Syariat datang bukan hanya untuk memberikan label halal dan haram, akan tetapi ia juga datang dengan membawa solusi bagi permasalahan hidup seperti di atas. Sehingga momentum yang pas sekarang adalah membagi atau menyematkan tugas mujtahid pada lembaga keagamaan yang kompeten. Selain karena sulitnya mencapai level mujtahid, permasalahan umat pun perlu diselesaikan secara tepat dan terorganisir. Jangan sampai lembaga atau ormas abal-abal justru yang kemudian mengambil alih tugas menjadi jubir Tuhan di era kekinian. Seperti pada kasus persekusi Ninoy Karundeng baru-baru ini. Yang mana, tubuh Ninoy mereka fatwakan halal dibunuh hanya karena ia adalah simpatisan atau relawan Jokowi.