Opini

Dualisme; Logika dan Hati Nurani

Bayangkan kamu adalah seorang wanita yang tengah dihadapkan pilihan antara dua lelaki. Lelaki pertama, menurutmu telah memenuhi standar ideal yang kamu impikan selama ini; tampang rupawan, pendidikan dan akhlak bagus, tajir pula. Sedangkan, lelaki kedua adalah orang yang sudah kamu kencani selama setahun meskipun kamu sadari bahwa ia masih jauh dari representasi standar ideal yang kamu impikan. Tentu hal yang membingungkan, bukan? Dalam kasus ini, setiap orang memiliki jawaban masing-masing, karena tidak ada patokan pasti lelaki mana yang lebih layak untuk dipilih.

Dari kasus di atas, bisa diketahui bahwa manusia memiliki dua instrumen untuk menentukan sebuah keputusan. Yaitu logika dan hati nurani. Menggunakan logika, saya bisa memilih lelaki pertama dengan berpikir bahwa, sangat tidak masuk akal bagi saya untuk menolak sosok lelaki dengan standar yang selama ini saya idamkan. Juga dengan argumen bahwa, bersama lelaki berpendidikan, berakhlak dan tajir lebih cerah serta jelas arah tujuan hidup ketimbang bersama lelaki kedua. Namun, jika saya memberatkan porsi hati nurani maka dengan yakin saya akan memilih lelaki kedua. Tanpa argumen, kebersamaan yang sudah terjalin dan perasaan saya padanya sudah cukup dijadikan alasan atas pilihan saya. Maka, dari sini muncul pertanyaan, bagaimana posisi logika dan hati nurani dalam menentukan sebuah keputusan?

Positivisme
Seiring perkembangan zaman, pola pikir manusia terus berkembang dan melaju pesat. Setiap fenomena mendorong manusia untuk menafsirinya berdasarkan logika. Hal ini, pada akhirnya akan menumbuhkan manusia yang positivistik, di mana mereka hanya akan mempercayai hal yang ril, nyata dan rasional. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua berdasarkan data empiris. Pola pikir semacam ini tidak bisa langsung kita adopsi. Jika manusia hidup menuntut segala sesuatu yang empiris dan rasional maka mereka akan defisit besar-besaran. Karena hal ini juga akan memunculkan pesimisme bagi kalangan beragama. Mereka akan merasa apa yang diyakini selama ini adalah hal sia-sia sebab tidak bisa menemukan bukti empirisnya. Asketisme di Timur akan termarginalkan jika kemajuan peradaban hanya diukur melalui hal empiris dan rasional. Sehingga, faktor-faktor non-materil yang bersumber dari hati nurani berupa perasaan dan emosi mengalami pengikisan yang berakibat manusia seolah-olah bergerak menurut rasionya saja.

Manusia secara kodrat memiliki dimensi ruhani, yang dalam hal ini hati sebagai instrumennya. Dalam berinteraksi dengan Tuhan misalnya. Maka di sini logika memiliki batas sendiri dalam memahami sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa diartikan dengan logika bukan berarti tidak bisa dibenarkan. Hati juga dapat memahami sesuatu sehingga menjadikannya suatu kebenaran yang diyakini. Yang mana hati bisa menjelaskan kebenaran hal tersebut dengan nilai atau norma yang kuat. Oleh karenanya, dengan berpola pikir posivistik, maka sama halnya mematikan kodrat manusia. Sehingga benar perkataan Rousseau bahwa posivitisme mengajarkan anti manusiawi.

Selain itu, jika ditelisik, mengesampingkan hati nurani mampu melahirkan manusia yang tidak sabaran, pemarah, angkuh dan sebagainya. Salah satu contoh kasus yang saya kira cocok dengan permasalahan ini adalah Nenek Sumiati yang dua tahun lalu divonis penjara selama dua tahun karena mencuri tiga buah pepaya—dilansir dari ­Infomenarikindo.com. Nenek Sumiati mengaku sudah lima hari tidak makan karena keterbatasan ekonomi. Sehingga beliau memutuskan untuk mengambil tiga buah pepaya untuk dimakan olehnya dan cucu-cucunya.

Dari kasus tersebut yang menjadi sorotan adalah pihak korban sekaligus pelapor. Secara hukum (baca: logika), memang Nenek Sumiati terbukti bersalah. Namun, menjadi hal yang tidak manusiawi jika korban tega melaporkan pencurian tersebut. Yang patut dikritisi di sini justru pihak pelapor sebagai orang yang mampu, sudah bagian dari norma masyarakat untuk saling menolong antar sesama dengan memaafkan tindakan Nenek Sumiati yang bermotifkan keterbatasan ekonomi. Lebih baiknya lagi jika pelapor sedari awal tidak enggan berbagi dengan tetangganya yang kurang mampu. Di titik inilah yang saya katakan bahwa, dengan hanya berpikir rasional dan mengabaikan hati nurani mampu melahirkan manusia yang egois, angkuh dan pemarah.

Analogi Imam al-Ghazali
Memutuskan perkara apakah berdasar logika atau hati nurani menjadi hal yang sangat dilematis. Menanggapi pergulatan keduanya, Imam al-Ghazali membuat analogi sebuah kota. Jiwa manusia digambarkan dengan sebuah kota yang sangat luas. Menurutnya, hati nurani adalah raja di kota tersebut. Sedangkan akal adalah seorang panglima di kota tersebut. Hati nurani memegang wewenang untuk memutuskan langkah ke depan dari kota tersebut dan akal bertugas menjalankan perintah sekaligus mengatur jalannya. Sehingga, bisa dikatakan logika dan hati nurani keduanya memiliki andil dalam menyukseskan sebuah keputusan. Hati nurani yang memutuskan baru lah akal, dalil dan argumen mengikuti keputusan hati nurani.

Lalu, dari sini muncul pertanyaan, apakah selamanya hati nurani mengajak kepada kebaikan sebagaimana ia dikatakan fitrah? Tidak. Memang sudah menjadi fitrah hati nurani untuk mencintai kebaikan. Namun, seiring berjalannya waktu, kefitrahan tersebut terkikis oleh keberadaan manusia yang lain. Bisa kita lihat, dua anak kecil yang habis bertengkar. Keesokan harinya keduanya sudah berbaikan, bermain bersama lagi seakan tidak ada dendam dan benci. Akan tetapi, menjadi penampakan yang berbeda jika yang bertengkar adalah orang dewasa. Hal ini membuktikan bahwa, seiring berjalannya waktu manusia berkontak sosial dengan manusia lain sehingga kemudian mengadopsi sifat negatifnya dan berakumulasi mengikis kefitrahan tersebut.

Oleh karenanya, al-Ghazali melihat bahwa manusia selalu memiliki kecenderungan di hatinya. Sehingga Akal, dalil dan argumen datang mengikuti kecenderungan tersebut. Maka dari itu, hati sebagi substansi yang mesti diperbaiki dahulu. Sebagaimana akhlak, ia perlu didik dan dibiasakan. Jika hati nurani sebagai raja bertindak buruk, maka komponen dibawahnya pun akan akan mengikuti. Begitupun sebaliknya. Jangan sampai karena ketidakberesan raja dalam memimpin sebuah kota, pada akhirnya justru komponen di bawahnya memberontak dan menggantikan posisi raja, yaitu akal, syahwat ataupun amarah.

Back to top button