Yang Luput dari Metodologi Keilmuan di Pesantren

Turats sebagai warisan dinamika intelektual para ulama dahulu, kini mulai dipertanyakan keautentikannya. Menurut beberapa kalangan sarjana muslim, turats dipandang sebagai teks yang statis ketika dipegang kaum tekstualis. Oleh karenanya, beberapa sarjana muslim mulai menggalakkan wacana tajdid turats (pembaharuan turats) dalam upaya menggali sisi dinamisnya. Yang mana, itu dibarengi dengan spirit merealisasikan ideologi dan nalar berpikir kekinian, agar tidak terjerumus pada kejumudan dan konservatisme.
Namun, angin segar dari spirit tersebut rasanya belum tersiar di kalangan pesantren di Indonesia. Beberapa pesantren, khususnya pesantren salaf masih kekeh mempertahankan turats sebagai pedoman utama dalam metodologi keilmuan dengan sedikit kesadaran untuk melangkah dari yang klasik menuju kontemporer. Padahal, apa yang tertulis di buku-buku produk ulama modern adalah sebentuk reaktualisasi dan kontekstualisasi dari gagasan yang ada di turats.
Di samping itu, saya rasa ada yang alpa dari metodologi keilmuan di pesantren. Acuan metodologi yang dipakai untuk istinbath al-Ahkam, seperti usul fikih, mantiq dan ilmu alat, masih belum dikembangkan untuk menjawab persoalan kontemporer. Entah pengembangan tersebut dalam bentuk kombinasi antara metodologi yang ada dengan ilmu-ilmu aqliyyat (rasional), seperti ilmu kalam dan filsafat, misalnya. Atau dalam bentuk maksimalisasi mustawa dari setiap disiplin ilmu. Kealpaan tersebut berimplikasi pada hipotesa yang sering kali terpatahkan dan dinilai kurang relevan ketika kaum santri mencoba mengurai problematika kekinian.
Pesantren vs Modernitas
Imam al-Suyuti di awal abad 15 telah membuat semacam kerangka disiplin ilmu dalam kitabnya yang bernama Itmâm al-Dirâyah li Qurrâi An-Nuqâyah. Ia memuat 14 disiplin ilmu pengetahuan yang kemudian diadopsi hingga sekarang oleh kebanyakan pesantren di Indonesia sebagai prototipe dalam menjalankan pendidikan. Bahkan, karangan tafsir Imam al-Suyuti, Tafsir al-Jalalain menjadi kitab babon dalam belajar tafsir al-Quran. Kerangka disiplin ilmu di An-Nuqayah dinilai sebagai pedoman yang sakral, tersebab para punggawa pesantren mentradisikan hal itu dari zaman ke zaman. Apa yang direkomendasikan oleh Imam al-Suyuti adalah role model pendidikan di pesantren, begitu kira-kira.
Maka, tak ayal jika pengkajian ilmu kalam masih terbilang minim. Imam al-Suyuti dalam An-Nuqayah pun enggan menyebut ilmu kalam, beliau hanya menyebut ilmu tauhid. Tanpa mengesampingkan maksud Imam al-Suyuti yang tersurat, bahwa beliau ingin menghindari pengkajian suatu ilmu yang sifatnya mengandung perdebatan seperti ilmu kalam. Saya kira, menjadikan An-Nuqayah sebagai role model akan membuat terjatuh pada apa yang saya sebut di atas sebagai sebuah kealpaan. Mengapa, sebab ilmu kalam di zaman ini sepertinya sudah menemukan momentumnya agar menjadi solusi terhadap persoalan takfiri, misalnya. Atau persoalan lainnya, seperti apa yang bisa membuat orang menjadi atheis. Walaupun dalam tulisan ini saya tidak akan membahas terlalu luas urgensitas ilmu kalam, setidaknya contoh tadi bisa menjadi bukti akan pentingnya pengembangan dan implementasi diskursus keilmuan yang selama ini belum tersentuh di pesantren tersebut.
Namun, apakah dengan kealpaan tadi pesantren tidak mempunyai peran di panggung modernitas? Saya rasa pesantren sudah mengupayakan untuk hadir dan memberi sikap terhadap beberapa problem aktual dengan melakukan bahtsul masail. Hanya saja, sering kali beberapa putusan yang dihasilkan masih mengandung polemik. Dan polemik itu hadir sebab kebiasaan orang pesantren sendiri. Misalnya dalam tradisi bahstul masail cenderung mengambil satu simpulan yang (dianggap) paling muktamad, sehingga hipotesa yang tidak berhasil dikonsensuskan terabaikan. Padahal, belum tentu hipotesa yang tidak menjadi kesimpulan akhir adalah yang gagal. Bisa jadi, ia mampu menjawab kemungkinan-kemungkinan realitas yang muktamad direalisasikan dalam kehidupan.
Di samping itu, pengkajian turats di pesantren lebih banyak ditekankan pada pemahaman fikih ubudiah, sedangkan pemahaman terhadap fikih muamalah, munakahat, dan jinayah tidak begitu digandrungi untuk dikaji secara intensif. Seorang santri yang paham seluk beluk shalat, zakat dan puasa sudah dianggap sebagai santri yang ideal. Namun, nyatanya realitas begitu kompleks dan tidak bisa diputuskan dengan halal-haram saja. Misal persoalan pembebasan lahan di beberapa daerah oleh kaum pemodal. Jika persoalan tersebut hanya diputuskan dengan halal atau haram tentu akan chaos, tanpa tahu sebab yang melatarbelakangi kenapa peristiwa itu terjadi, bagaimana regulasi permodalan oleh kaum oligarki dan apa motif mereka melakukan itu? Adakah unsur kapitalisme di dalamnya?
Orang pesantren tidak kekurangan untuk menyebut khazanah fikih yang dipelajari, dari yang level pemula seperti Fathu al-Qarîb, hingga ke level karya legenda seperti I’anah al-Thâlibîn. Namun mirisnya, fikih yang membahas problem kekinian, atau kalau meminjam istilah Dr. Hamdi Zaqzuq sebagai Fiqhu al-Wâqi’, seperti fikih siyasah, fikih ahwal syakhsiyah, fikih al–Iqtisad belum terjamah sampai sekarang. Walaupun, beberapa intelektual yang mengatasnamakan dirinya sebagai kaum santri ada yang menguasai salah satu ragam fikih tersebut seperti Prof Mahfudz MD dan almarhum KH Sahal Mahfudz. Namun, mereka tidak menemukannya di pesantren, melainkan di lembaga luar pesantren. Mengapa bisa demikian?
Al-Azhar sebagai Prototipe
Dari uraian di atas, kita bisa membaca peta keilmuan di pesantren yang bisa dibilang belum komprehensif secara metodologis. Terbukti dengan adanya “ketidakseimbangan” dalam beberapa mustawa ilmu. Dalam disiplin fikih pesantren, saya kira sudah terbilang komprehensif dengan pengkajian beberapa kitab dari semua level. Bagaimana dengan tasawuf, nahwu, tafsir, balaghah dan ilmu tauhid? Apakah pengkajian kitab Ihya’ Ulûmu al-Dîn sudah bisa dikatakan komprehensif dalam memahami tasawuf? Cukupkah kitab Syarhu Ibnu Aqîl dan Alfiyah ibnu Malik menjadi standar pemahaman terhadap sintaksis Arab?
Dari ketidakseimbangan metedologi di atas, sebenarnya kita bisa melihat tradisi keilmuan di al-Azhar sebagai protipe. Dimana al-Azhar sudah sejak satu abad yang lalu memproyeksikan metodologi keilmuan yang komprehensif. Di samping adanya dialektika antara para sarjana al-Azhar yang terus menerus dihidupkan melalui semangat literasi. Kita bisa saja menyebut al-Azhar sebagai pesantren, jika ditilik dari spiritnya melestarikan turats. Namun, cara melestarikan turats tersebut dilakukan dengan regulasi yang sistematis. Artinya, semua disiplin ilmu diberikan klasifikasi kelas berikut buku yang harus dipelajari. Misal dalam ilmu tauhid, untuk kelas pemula dianjurkan membaca Syarhu Ummi al-Barâhîn atau Syarhu al-Kharîdah, untuk kelas menengah membaca Tuhfatu al-Murîd ala Jauhartu al-Tauhîd dan untuk kelas tertinggi membaca al-Iqtishâd fi al-I’tiqâd atau Syarhu al-Mawâqif.
Di samping itu, al-Azhar menyadari bahwa turats sebagai teks mempunyai keterbatasan dalam menyesuaikan dengan realitas. Oleh karenanya, upaya tajdid turats (pembaharuan turats) terus digalakkan dengan mengkaji turats secara utuh, kemudian dikontekstualisasikan terhadap problem modern sehingga mengahasilkan wacana-wacana baru yang progresif dan aktual. Ditambah lagi, dalam prosesnya, al-Azhar tidak eksklusif mengkaji produk pemikiran cendikiawan barat. Ia menganggap pemikiran barat bukan liyan, melainkan sesuatu yang mampu menopang khazanah keilmuan Islam.
Dari sini, bisa kita lihat adanya harmonisasi antara turats dan kontemporer yang dilestarikan di al-Azhar. Tak heran, jika al-Azhar sering dijuluki sebagai ka’batu al-‘ilm tersebab dapat mengintegrasikan antara yang klasik secara komprehensif dan sistematis dengan wacana kontemporer yang dinamis. Kira-kira kapankah pesantren di Indonesia bisa melakukan seperti yang demikian?