Humaniora

Tradisi Rajaban ala Keraton

Oleh: Finatih

Pada bulan-bulan tertentu, kita sudah terbiasa dengan pemandangan story WhatsApp Masisir yang dibanjiri dengan pamflet ucapan selamat atas peringatan hari besar Islam. Kala itu, saya teringat dengan budaya yang berasal dari tempat tinggal saya. Kerap kali saya hadir di acara kebudayaan tersebut sembari menikmati serangkaian prosesi adat di dalamnya yang cukup berkesan. Tradisi ini merupakan implemestasi dari upaya pelestarian kebudayaan Indonesia yang menarik antusiasme masyarakat.

Antusiasme masyarakat dalam melestarikan tradisi peringatan hari besar Islam diperkuat oleh keterlibatan para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah setempat. Bahkan, di beberapa kota seperti Yogyakarta, Cirebon dan Surakarta, keraton memiliki peran aktif dalam menjaga tradisi tersebut. Salah satunya adalah tradisi Rajaban; peringatan Isra Mi’raj pada tanggal 27 Rajab yang berasal dari Cirebon. Tradisi rajaban ini diselenggarakan oleh dua keraton yang ada di Cirebon, yakni keraton Kanoman dan keraton Kasepuhan.

Kedua keraton ini memiliki sedikit perbedaan di dalam pelaksanaanya. Rajaban yang terselenggara di keraton Kasepuhan memiliki prosesi yang lebih sederhana. Masyarakat dan keluarga keraton terkesan lebih dekat dalam acara ini. Terebab, masyarakat, keluarga keraton serta abdi dalam menggelar pengajian yang dipimpin langsung oleh ketua atau tokoh agama keraton di tempat yang sama, yaitu Langgar Alit. Kemudian, acara dilanjutkan dengan tradisi berbagi nasi bogana. Biasanya, hidangan khas Rajaban ini berisikan aneka lauk khas Indonesia seperti telur rebus, sayur kacang dan serundeng. Nama bogana sendiri berasal dari bahasa Sunda sabogabogana yang berarti seadanya atau semampunya.

Sementara itu, tradisi rajaban yang terselenggara di keraton Kanoman memiliki lebih banyak serangkaian prosesi dari awal hingga akhir. Setiap hal yang terdapat dalam perayaan Rajaban ini memiliki makna dan nilai filosofisnya masing-masing. Misalnya, ayam bakar yang disembunyikan di dalam nasi tumpeng dimaksudkan agar manusia tidak ceceker, alias terus-terusan mencari hal duniawi. Selain itu, tradisi Rajaban juga mengandung nilai spiritual dalam pembacaan babad. Babad merupakan naskah kuno berisi kisah perjalanan Nabi ketika Isra Mi’raj, topik-topik tentang ketakwaan dan  amar makruf nahi munkar. Naskah ini ditulis dalam bahasa Cirebon kuno dan menggunakan aksara Arab pegon.

Prosesi budaya Rajaban di keraton Kanoman dimulai setelah seluruh elemen keraton memasuki area Rajaban di Langgar Keraton. Kemudian, acara dibuka dengan tawasulan dan disusul dengan pembacaan naskah babad yang menjadi prosesi inti. Setelah itu, masyarakat berdoa bersama sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat dan keberkahan dalam kehidupan mereka.

Selanjutnya, rangkaian tradisi Rajaban disusul dengan kegiatan ziarah bersama ke makam Plangon, yaitu makam Pangeran Kejaksan yang merupakan tokoh penyebar agama Islam di Cirebon. Menariknya lagi, kegiatan ziarah ini dipimpin langsung oleh keluarga keraton yang memiliki garis keturunan langsung dengan Raja. Selepas ziarah, acara dilanjut dengan membagikan hidangan khas Rajaban yaitu nasi bogana kepada keluarga keraton dan masyarakat luas. Selain itu, perayaan tradisi Rajaban juga diwarnai dengan tarian dan musik tradisional Cirebon. Kesenian khas Cirebon seperti tari topeng, tari golek senggéng menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan ini.

Dari sisi sejarah, belum diketahui dengan jelas kapan pertama kali tradisi ini dilaksanakan di Kesultanan Kanoman, sebab tidak ada keterangan dan data yang valid terkait sejarah dan awal mula tradisi ini.  Jika kita menilik pada sejarah berdirinya keraton Kanoman, keraton ini memiliki garis keturunan dari keraton Kacirebonan yang merupakan kesultanan Islam pertama di Cirebon. Keraton ini didirikan oleh Pangeran Cakrabuana, paman salah seorang Wali Songo yaitu Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Pengaruh sang Sunan dalam penyebaran agama Islam sangat luas, terutama di wilayah Jawa Barat. Dari sini, nilai-nilai keislaman yang diajarkan Sunan Gunung Jati pun turut diwariskan kepada keraton Kanoman, salah satunya tradisi Rajaban ini.

Terselenggaranya Rajaban secara rutin berimbas pada tersebarnya spirit persatuan umat muslim di daerah-daerah sekitaran Cirebon. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan istilah yang Rajaban sebagai istilah umum dalam rangka memperingati Isra Mi’raj Nabi. Kendati rajaban yang dilaksanakan di daerah sekitaran Cirebon berbeda dengan daerah asalnya, tetapi esensinya tetap sama.

Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri masifnya perayaan Rajaban, baik di Ciebon maupun di daerah lain tersebut, tidak terlepas dari hambatan-hambatan yang menghalangi keberlangsungan tradisi ini. Misalnya, hambatan yang berasal dari faktor eksternal umat muslim, yakni arus modernisasi. Perkembangan teknologi yang semakin pesat sedikit demi sedikit dapat melunturkan kecenderungan masyarakat untuk terus melestarikan tradisi yang ada. Bahkan, tradisi dapat terpinggirkan dan mendapat stigma kuno, sebab gaya hidup masyarakat modern yang tidak bisa lepas dari tren terkini dan sosial media. Sehingga, keinginan mereka untuk tetap melestarikan tradisi Rajaban akan tergantikan oleh peran-peran budaya modern yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri.

Lebih dari itu, penyelenggaraan tradisi Rajaban sebagai upaya memperingati peristiwa bersejarah umat Islam ini memiliki hambatan lain yang berasal dari internal umat Islam sendiri. Yaitu, polemik pro-kontra dan anggapan bahwa perayaan tersebut adalah bid’ah sebab merupakan hal baru dalam syariat alias tidak ada di zaman Nabi. Apalagi hal ini bersumberkan pada budaya-sosial masyarakat setempat, yang memang tidak ada tuntunan langsung dari al-Quran serta Hadits. Sehingga mudah sekali untuk melegitimasi peryaan ini sebagai bid’ah oleh kelompok konservatif.

Dari sini, dapat kita lihat, peran vital keraton sebagai pelindung dan penjaga identitas budaya. Secara historis, kedua keraton yang ada di Cirebon, yakni keraton Kanoman dan keraton Kasepuhan memiliki peran penting dalam menjaga tradisi Islam di  Cirebon. Hal ini menjadi salah satu faktor utama terjaganya tradisi-tradisi kebudayaan yang membungkus nilai-nilai agama Islam di Cirebon bahkan hingga ke daerah sekitarnya. Perlu ada peran pemerintah untuk terus memberikan edukasi ke publik terkait nilai-nilai budaya yang ada di dalam keraton atau kerajaan yang masih eksis hingga saat ini kepada publik.

Meski penyelenggaraan tradisi Rajaban tidak lepas dari kesalahpahaman akan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, namun yang perlu digarisbawahi bahwa tradisi ini merupakan warisan budaya dari Wali Songo. Sejatinya, tradisi ini merupakan akulturasi budaya dengan nilai-nilai Islam di dalam kehidupan masyarakat setempat yang senantiasa dilestarikan. Padahal, salah satu rangkaian acara pembacaan babad yang memuat kandungan hikmah tentang sejarah Nabi, tidak menyalahi syariat apapun. Selain itu, keterlibatan keluarga keraton memberikan pemahaman, bahwa fungsi dari keraton tidak hanya sebagai tempat tinggal keluarga raja. Lebih dari itu, keraton memiliki peran vital sebagai penjaga budaya bangsa.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Verified by MonsterInsights