Opini

Ihwal Eksklusivitas Hari Santri Nasional

Rasanya cukup menggelitik ketika menyadari bahwa saya termasuk orang yang mengidentikkan bulan Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN) dibanding mengingatnya sebagai Hari Kesaktian Pancasila, Hari PBB atau Hari Batik Nasional. Barangkali karena saya mencintai status saya sebagai santri, dan juga karena hari santri diperingati dan dirayakan secara meriah setiap tahunnya. Misalnya pada 2018 lalu, diadakan acara pembacaan satu miliar shalawat Nariyah dan aneka perlombaan di sejumlah kota besar guna menyambut HSN. Perayaan besar-besaran tahun ini, semisal peringatan HSN yang digelar selama satu bulan penuh di Boyolali, Jawa Tengah.

Peringatan HSN yang ramai di Indonesia itu sangat kontras jika dibandingkan dengan beberapa acara peringatan HSN di Mesir. Padahal di Mesir, mayoritas mahasiswa al-Azhar (Masisir) adalah alumni lintas pesantren di seantero Indonesia. Selama kurun waktu 2015-2018, saya mendapati sejumlah opini yang merujuk pada konklusi bahwa peringatan HSN di Mesir dianggap milik satu golongan, satu kelompok tertentu atau milik satu afiliasi sahaja. Entah disebabkan opini tersebut atau ada sebab lain, Masisir tampak ‘lesu’ dan ogah-ogahan meramaikan peringatan hari santri. Pada peringatan HSN di tahun 2019 kemarin saja, rasa kepemilikan para alumni pesantren-pesantren modern di luar pesantren berbasis NU masih terlihat sangat minim. Imbasnya, perayaan HSN di Mesir masih jauh dari semarak. Peringatan HSN masih dianggap tidak lebih penting dari kuliah, talaki atau kegiatan organisasi lain bagi Masisir. Dari fakta itu, saya justru bertanya-tanya, apa alasan seseorang merayakan hari peringatan? Bagaimana HSN terbentuk? Apakah opini yang mengatakan bahwa peringatan HSN bersifat eksklusif dapat dibenarkan?

Peringatan dan Perayaan
Secara sederhana, maksud dari peringatan yakni mempertahankan dalam ingatan, membangun komitmen pada ingatan, peristiwa dan orang-orang di masa lalu. Saat seseorang, atau katanlah sebuah nasion, menandai suatu hari sebagai hari peringatan, maka yang dimaksud dengan hal tersebut ialah pemaknaan mendalam pada suatu peristiwa, kejadian, kehidupan individu atau kelompok di masa lalu yang dianggap penting. Wujud peringatan bermacam-macam; perayaan, pawai, perlombaan, melalui pameran karya seni dan banyak hal lainnya.

Di satu sisi, peringatan (seyogianya) menjadi sebuah pengalaman menyenangkan sebab membuka peristiwa bersejarah dengan cara-cara yang dapat memberikan dampak pribadi. Di sisi lain, peringatan akan dianggap berbahaya, jikalau digunakan untuk memperjelas sekat maupun mempertebal ‘tembok’ antar kelompok. Barangkali karena ini, beberapa orang menganggap suatu hari peringatan ‘hanya’ dimiliki suatu kelompok.

Saya akan menyorot salah satu wujud peringatan, yaitu perayaan. Dalam sebuah artikel berjudul Why Do We Celebrate? yang dimuat oleh web bernama Taking IT Global, tertulis alasan sekelompok orang menghabiskan waktu berjam-jam merayakan suatu peringatan. Misalnya, pergantian tahun baru atau peringatan hari-hari istimewa dan bersejarah lain, untuk membangun ‘jembatan’ antara satu sama lain. Alasan seperti itu saya rasa cukup klise, sesaat sebelum saya membaca keseluruhan artikel tersebut.

Contoh dalam artikel tersebut ialah perayaan khusus untuk tahun baru yang lebih spesifik. Yakni ketika anak-anak yang umumnya dilarang mendekati kerumunan besar dan bising pada malam hari, bahkan diharuskan tidur pada jam tertentu. Namun, pada 31 Desember, larangan tersebut diabaikan, mereka bisa tidur tengah malam dan ikut menyalakan kembang api. Saat berkumpul merayakan dan memperingati sesuatu, manusia cenderung mengabaikan prasangka buruk. Perayaan menjadi alasan untuk menyatukan tanpa memandang status sosial, ekonomi, bahkan umur seseorang. Hal itulah yang mendasari manusia untuk senantiasa merayakan sejumlah hari penting.

Seputar HSN
Empat tahun silam, Keppres Nomor 22 tahun 2015 mengenai Hari Santri Nasional telah ditandatangani dan dibacakan langsung oleh Presiden Jokowi. Dilansir dari Kompas.com, penetapan tersebut merupakan bentuk penghargaan pemerintah kepada para santri yang turut andil memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pemilihan tanggal 22 Oktober sebagai HSN tentunya tidak semulus yang dibayangkan. Banyak pro-kontra mengenai penetapan tanggal tersebut, bahkan penyelenggaraan hari santri pun menjadi problematis selama setahun sejak ide tersebut digadang-gadang.

Pada 27 Juni 2014 atau tepatnya tiga hari menjelang pencoblosan pilpres, Jokowi menyetujui kontrak politik dengan seorang pengasuh Ponpes Babussalam Malang bernama Kiai Thoriq Darwis. Kontrak politik itu diadakan di Pesantren Babussalam bersamaan dengan haul KH Hasyim Asyari. Saat itu, Jokowi berjanji menetapkan tanggal 1 Muharram sebagai hari santri, apabila ia terpilih menjadi presiden. Perjanjian ini dinilai cukup mempengaruhi elektabilitas terhadap Jokowi, khususnya dari sejumlah Nahdliyin yang semula mendukung paslon Prabowo-Hatta. Sikap sebagian Nahdliyin itu bukan tanpa alasan, mereka mengusung peristiwa deklarasi Resolusi Jihad 1945 yang terjadi di Surabaya sebagai dorongan ditetapkannya HSN pada 22 Oktober. Sederhananya, Resolusi Jihad merupakan seruan KH Hasyim Asyari kepada santrinya untuk ikut berjuang mencegah tentara Belanda menguasai Indonesia kembali.

Dari histori di atas, saya memaklumi jika keberadaan HSN seolah bersifat eksklusif dan identitasnya melekat pada salah satu ormas, yaitu NU. Latar belakang pengadaan hari santri sebagai bentuk penghargaan terhadap spirit KH Hasyim Asyari bukan lantas menjadi alasan HSN semata ‘milik’ NU. Hal lain yang disayangkan justru ketika sepinya perayaan memperingati HSN oleh ormas atau pesantren lain di luar NU. Meskipun unsur politis ketika proses pengadaan HSN tak bisa ditampik, kesepakatan atas penyelenggaraan maupun tanggal hari santri merupakan kesepakatan bersama. Sebagaimana dilansir dari Tirto.id, pada dasarnya peristiwa mana saja yang perlu diingat dan diperingati secara nasional ialah hasil persaingan politik dalam suatu nasion. Mari mengingat kembali bahwa ritual semacam memperingati hari kemerdekaan, hari pahlawan, bahkan hari santri, mestinya menjadi ‘media penghubung’ suatu negara dengan seluruh masyarakatnya.

Back to top button