Ihwal Kemunduran Islam

Setelah menyimak perbincangan Prof. Ismail Fajrie Alatas, M.A., Ph.D dalam salah satu talkshow di sebuah kanal YouTube, saya tertarik untuk mengulasnnya dalam tulisan ringan ini. Acara yang bertajuk “Belajar dari Zaman Keemasan Islam” itu dipublikasikan oleh akun Geolive ID dengan pembawa acara Cania Citta Irlanie. Prof. Ajie, begitu sapaan akrabnya adalah sosok akademisi yang sukses berkarir sebagai Asisten Guru Besar bidang studi Timur-Tengah di Universitas New York, Amerika Serikat. Salah satu poin pembicaraan yang ingin saya angkat dalam esai ini adalah terkait era keemasan Islam yang sebenarnya menurut Prof. Ajie masih problematik. Oleh karena klaim tentang zaman keemasan Islam itu pada hakikatnya masih berupa wacana ideologis.
Bagi saya, fakta dan data yang disampaikan oleh Prof. Ajie sangat menarik dan cukup membuat dahi saya mengernyit. Pasalnya, sepanjang pembacaan saya terhadap teks-teks sejarah klasik, semisal Tarikh Thabari, jarang sekali penulis menyimpulkan dengan lugas bahwa rekaman peristiwa yang terjadi di masa lalu itu tidak lepas dari persoalan ideologis. Pun terkait tarik ulur masa kejayaan Islam, rata-rata sejarawan sepakat bahwa masa keemasan Islam terjadi di era Dinasti Abbasiyah. Khususnya saat pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid yang berhasil menjadikan Baghdad sebagai pusat peradaban intelektual.
Menariknya, menurut Prof. Ajie, klaim tentang masa kejayaan Islam itu dipertentangkan oleh kalangan sufi. Kita mengenal kelompok sufi cenderung defensif dalam menyikapi berbagai perkembangan politik atau keduniawian secara umum. Menurut kelompok mereka, sebagaimana Imam Qusyairi menuturkan di dalam mahakaryanya Risalah Qusyairiah tentang perubahan pola gaya hidup para pemimpin Dinasti Umayyah hingga Abbasiyah. Gaya hidup yang cenderung hedonis dan materialistis menjadi pangkal dari kemunduran Islam. Menurut kalangan sufi, hal itu bertolak belakang dengan sikap dan kepemimpinan era khulafa al-Rasyidin yang dikenal zuhud, egaliter dan menghindari perkara-perkara keduniawian. Otomotis perubahan yang demikian dianggap sebagai era keterbelakangan Islam.
Terkait latar belakang kemunduran Islam inilah topik yang sebenarnya ingin saya ulas lebih lanjut. Oleh karena kita seolah selalu dinina-bobokan oleh narasi kejayaan Islam yang problematik itu, tanpa berusaha menginstropeksi diri agar setidaknya menjadi pribadi yang lebih optimis, kreatif dan progresif. Syakib Arslan, sesorang cendekiawan sekaligus sastrawan berkebangsaan Libanon berusaha merumuskan beberapa faktor yang menyebabkan umat Islam menjadi terbelakang. Ia dalam bukunya “Limadza taakhara al-Muslimun wa taqaddama gayruhum” berusaha mendeskripsikan tentang kelemahan-kelemahan kaum muslim yang seharusnya dibenahi.
Pertama, ia mengatakan bahwa kaum muslimin masih kikir dengan hartanya sendiri. Sehingga susah untuk menyatukan dan membuat kekuatan ekonomi yang nantinya dapat memberdayakan kalangan muslim tertindas di negara masing-masing. Pendapat Syakib Arslan ini saya rasa cukup realistis. Sebab, kita bisa melihat bagaimana pola kepemimpinan oknum pejabat muslim di Indonesia masih saja sering tertangkap kasus korupsi demi mengisi pundi kekayaannya.
Kedua, Syakib Arslan mengatakan faktor paling krusial dari kemunduran Islam juga disebabkan keengganan berpikir dan berinovasi. Sehingga umat Islam terjebak dalam ranah kejumudan dengan obsesi keinginan untuk kembali membangun kejayaan Islam, tanpa memperbaiki kualitas pribadinya terlebih dahulu. Bahkan ia berpendapat bahwa seorang muslim yang memiliki ilmu pengetahuan pas-pasan lebih berbahaya dari seorang yang bodoh. Sebab menurutnya, muslim yang berilmu pas-pasan tidak akan mampu menjawab setiap realita dan akan selalu dihantui oleh keragu-raguan. Sedangkan orang yang bodoh bisa jadi lebih baik bila ia mengakui akan ketidaktahuannya.
Selanjutnya, faktor ketiga dari keterbelakangan umat Islam adalah rusaknya moral. Moral atau etika menurut penjabaran Syakib Arslan adalah varian yang tidak bisa dipisahkan dari ajaran Islam. Contoh etika tentang kejujuran, kedisiplinan, tanggung jawab dan lain sebagainya, sudah terkikis di tiap-tiap individu muslim. Anehnya, rumusan moral yang terangkum dengan baik di dalam al-Quran dan Hadits itu justru diterapkan oleh selain muslim. Maka, sudah saatnya umat Islam untuk mengimplementasikan nilai-nilai ajaran kitab suci itu di dalam kehidupan sehari-hari.
Nah, ketiga faktor utama itulah yang hendaknya menjadi bahan instropeksi umat Islam saat ini. Secara subjektif, saya menekankan pada adanya ghirah untuk terus menggali ilmu pengetahuan agar peradaban Islam kembali jaya. Oleh karena mengaca kepada klaim tentang era keemasan Islam yang disinggung sebelumnya adalah hasil usaha para cendekiawan muslim dalam mengolah dan menyusun data-data yang berbentuk literasi. Maka, pendidikan adalah kunci dan modal awal kita menjadi sosok muslim yang berkarakter, inovatif dan progresif.