Laku Ideal Para Organisator

Mahasiswa adalah pemuda yang bakal berperan di setiap lini sosial masyarakat. Termasuk di dalamnya, mengemban amanah di segala lini yang ada dalam masyarakat. Baik di bidang politik, ekonomi, budaya, maupun agama. Bila melihat sisi antropologi, orientasi masyarakat di Indonesia setelah kuliah adalah kerja atau karir. Maka, masa kuliah dapat disebut sebagai langkah akhir dalam mempersiapkan diri untuk mengemban peran-peran sosial di masyarakat.
Sebagai mahasiswa yang memiliki minat berorganisasi, saya memandang bahwa organisasi kemahasiswaan kelak bakal menjadi faktor yang mempengaruhi laku seseorang dalam mengemban amanah di masyarakat. Kendati begitu, organisasi kemahasiswaan yang sifatnya sukarela, terkadang membuat pelaku organisasi merasa sudah melakukan berbagai kebajikan untuk orang lain dan merasa berhak mendapatkan “imbalan”. Yang mana, imbalan tersebut bersifat variatif dan di luar ketetapan anggaran dasar organisasi. Hilirnya, berdampak kepada disabilitas dinamika organisasi. Misalnya melakukan tindakan-tindakan amoral dengan memakai uang ornganisasi untuk pribadi, mencari materi, popularitas atau fasilitas. Mereka berlindung di balik premis yang berbunyi “Toh kita juga tidak digaji”.
Dari sini, saya akan mencoba mendedah penyebab prilaku-prilaku tersebut, kemudian mencari laku ideal bagi para organisator dalam mengemban amanah organisasi dengan meminjam konsep deontologi Immanuel Kant.
Terkait penyebab seseorang melakukan sebuah kebaikan, Kant dalam teorinya membagi dorongan dasar seseorang berbuat kebaikan menjadi tiga jenis. Pertama, dorongan untuk mencapai keuntungan, yang mana pelaku tidak akan lepas dari timbangan untung maupun rugi. Dalam konteks organisasi kemahasiswaan, anggotanya memiliki tujuan-tujuan tertentu dalam melaksanakan tugasnya. Ada yang mengincar jabatan yang lebih tinggi dengan predikat baik yang disandangnya setelah melakukan berbagai macam kebaikan. Ada pula yang bergabung untuk sekadar menambah pengalaman keorganisasian. Tak jarang pula yang mencari keuntungan berupa materi. Hal ini secara psikologi adalah wajar. Di mana manusia senantiasa bekerja untuk memenuhi kebutuhannya.
Namun dalam organisasi, resikonya justru berbahaya bagi kelangsungan dinamikanya. Bila tujuan individu tersebut gagal dicapai dalam sebuah organisasi, tidak menutup kemungkinan ia bakal bertindak menghianati kebaikan yang ia perbuat sebelumnya. Fenomena gagal nyaleg menjadi contoh hal tersebut. Di Jawa Barat, seorang caleg menarik kembali aspal yang ia berikan kepada daerah-daerah pemilihannya lantaran kecewa setelah gagal terpilih. Di daerah Tidore, karpet masjid yang telah disumbangkan oleh salah seorang caleg dikembalikan warga lantaran caleg tersebut mengungkapkan kekecewaannya di mimbar Jumat setelah ia gagal lolos menjadi anggota legislatif. Dan beberapa contoh lain menunjukkan kebaikan yang didorong untuk mencari untung acap kali berdampak pada perilaku amoral. Yang mana pada fase selanjutnya, perilaku tersebut dapat memicu distabilitas dinamika organisasi.
Berbeda dengan yang pertama, dorongan kedua berasal dari rasa kasihan atau empati. Di mana seseorang memilih untuk berbuat kebaikan karena dorongan hati atas apa yang ditangkap oleh indera yang dimiliki. Kant mencontohkan bagaimana seseorang yang melihat sesamanya dilanda musibah akan tergerak oleh hatinya untuk membantu. Hal ini berlaku pada kebanyakan kejadian yang bersifat insidentil. Sebab, sebagaimana yang diterangkan di dalam surah Ali Imron, hati manusia mudah berubah. Membuat dorongan kebaikan yang berasal dari hati, jarang yang bersifat konsisten. Maka, bila dorongan tersebut digunakan dalam berorganisasi, saya rasa kurang tepat. Sebab organisasi sifatnya periodik, menuntut keistikamahan dalam kurun waktu tertentu.
Dan yang terakhir adalah kebaikan yang didorong dari kewajiban melaksanakan suatu hal yang telah diwajibkan tanpa embel-embel mengharap untung. Dari konsep moral Kant, kebaikan yang semata didorong oleh kewajibanlah yang dapat dikatakan sebagai sebenar-benar moral. Dalam konteks ini, saya sebut sebagai dorongan ideal untuk mengemban amanah. Hal ini disebabkan oleh pandangan Kant yang menilai tindakan moral seseorang bukan pada hasil atau hasil yang dimaksud oleh pelaku. Tetapi pada pelaku yang kehendaknya ditentukan semata oleh kenyataan bahwa perbuatan itu adalah kewajibannya.
Kendati demikian, sifat dasar manusia yang senantiasa mencari imbalan untuk kebutuhan pribadi merupakan hal yang kontradiktif bila dibenturkan dengan dorongan yang ketiga. Sifat dasar itu yang mengharuskan seseorang murni melakukan kebajikan semata-mata atas dorongan melaksanakan kewajiban. Sebagaimana Dr. Hamdi Zaqzuq menjadikan cinta yang paling dasar adalah cinta terhadap diri sendiri, manusia senantiasa mengharapkan balasan untuk setiap perbuatannya.
Oleh karenanya, saya kira dorongan di atas perlu disertai dengan teori ikhlas milik Imam al-Gazali. Yang mana dalam berbuat, pelaku boleh memiliki tujuan. Akan tetapi tidak diperkenankan menentukan tujuan suatu perbuatan. Melainkan suatu perbuatanlah yang menentukan tujuan pelaku. Di sini, Imam al-Gazali mencontohkannya dengan seseorang yang beribadah. Pelaku ibadah tidak diperkenankan untuk menentukan tujuan perbuatannya. Melainkan ibadahlah yang menentukan tujuan pelaku ibadah. Yaitu semata untuk menyembah Tuhan. Bila ibadah digandengkan dengan tujuan pribadi, semisal agar kaya, agar populer atau agar memperoleh kesenangan yang tidak berkaitan dengan penyembahan kepada Tuhan, maka keikhlasan dapat dianggap cedera.
Nah, berangkat dari konsep Kant dan Imam al-Gazali, idealnya seorang organisator melaksanakan amanah yang ia emban dengan dorongan melakukan kewajiban yang berasal dari amanah tersebut. Dan hendaknya berorientasi kepada pencapaian tujuan yang telah digariskan. Dengan begitu, kecenderungan untuk merasa kecewa yang berujung pada tindakan amoral dan berdampak kepada distabilitas dinamika organisasi tersebut dapat kita hindari. Lantas dengan konsep ikhlas, organisator dapat fokus dalam mengemban amanahnya tanpa dicedarai oleh kepentingan pribadi.